Kegiatan Produksi di PT Morodadi Prima Naskah dan foto: ABDI PURMONO |
BELASAN pria sibuk mengelas sambungan potongan-potongan besi sampai
terbentuk rangka empat buah bus besar pesanan perusahaan otobus Rosalia Indah. Puluhan
pria lainnya sibuk mendempul dan mengecat bus-bus besar pesanan dari beberapa
perusahaan otobus.
Mereka bekerja dalam pengawasan Wakil Presiden Direktur PT Morodadi Prima David Lie. Sang bos sesekali menyapa dan mengajak bicara beberapa pegawai, lalu melihat lini produksi lainnya.
“Saya sangat jarang mengawasi pegawai yang sedang bekerja karena saya
percaya pada kompetensi dan komitmen mereka,” kata David kepada saya pada Selasa siang, 19 Maret 2013.
Morodadi merupakan perusahaan karoseri tertua di Malang yang berdiri pada 1964 dan berlokasi di Desa Randuagung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Rata-rata tiap bulan Morodadi memproduksi 20-30 unit bus berukuran
sedang dan besar. Bus berukuran sedang (medium
bus) dirakit di atas sasis (chassis)
buatan Mercedes-Benz alias Mercy, Hino, Hyundai, Mitsubishi, Toyota Dyna, dan
Isuzu.
Morodadi paling sering menggunakan sasis Mercy (OH 1518, OH 1521, dan OH
1526), serta Hino R260, dan Mercedes-Benz, Hino, dan Hyundai Aero Space, untuk
membuat bus besar. Sedangkan berdasarkan modelnya, ada dua jenis model yang
umum diproduksi, Patriot dan Ventura.
“Dua model ini merupakan desain paten dari kami. Tapi, kami selalu
mengutamakan kepuasan pelanggan, di mana pelanggan dapat meminta penyesuaian
desain,” kata pria 42 tahun itu.
Semua produksi digarap di atas lahan seluas 5 hektare. Jalur produksi di
Morodadi tertata sederhana dan efektif, menggambarkan manajemen produksi yang
sangat memperhatikan efisiensi. Dibutuhkan kurang dari 20 menit untuk memutari
jalur produksi yang berbentuk tapal kuda itu.
Rata-rata bodi bus digarap selama 45 hari. Tiap proses produksi (membuat
rangka, mengelas, mendempul, pengecatan, dan uji mutu) melibatkan 10-15
pekerja. "Bos sangat jarang mengawasi pekerjaan
kami karena beliau sudah percaya pada komitmen dan kemampuan kami," ujar
seorang pekerja yang sedang mendempul, agak berbisik.
“Ayah saya (Lie Bambang Gunawan,
pendiri Morodadi Prima) sudah seperti bersaudara kandung dengan pemilik ANS,”
ujar David sambil menunjuk sebuah bus ANS yang akan dipermak.
David menjelaskan, ciri khas utama produk Morodadi bisa dilihat dari
keluwesan garis lurus dan lengkung di semua aspek bus: sisi atas, samping
kanan-kiri, depan, dan belakang.
Ciri khas itu, misalnya, bisa diamati pada Patriot dan
Ventura. Mayoritas model ini jadi bus pariwisata untuk memenuhi kegairahan
industri pariwisata setelah perusahaan karoseri lain mengeluarkan desain-desain
bus pariwisata. Namun, David menegaskan Morodadi bukan latah sebagai pengekor.
Kedua model diproduksi setelah Morodadi melakukan riset pengembangan produk
pada 2010.
Patriot berbodi besar yang diproduksi berdasarkan permintaan konsumen.
Desainnya menggunakan atap kaca demi mengunggulkan keleluasaan dalam kabin.
Bus Ventura berukuran sedang. Seperti bus-bus produksi Morodadi lainnya, ada ciri khas produk yang tak mudah ditiru oleh karoseri lain, yaitu keberanian membuat kaca runcing di kaca samping bagian belakang bus. Kaca samping bagian depan, bagian atas hingga ke kaca belakang, dilihat sekilas, seperti selendang yang menutup atap. Jika diteliti hasil kamuflase desain yang luwes ini menyisakan tingkat kesulitan di kaca belakang.
Desain luwes diciptakan desainer Morodadi, dengan membuat kaca
khusus produk Ventura dengan sudut
runcing dan kontur garis yang menyatu dengan lengkung desain. Sepintas, kaca
itu dibentuk oleh cutting sticker
yang sekarang lagi ngetren.
Banyak lagi keluwesan pada produk-produk Morodadi. Selain
pada kaca, keluwesan itu dapat dilihat di bagian pintu yang umumnya menggunakan
aksen desain lengkung yang sederhana tapi elegan dan berkarakter kuat.
“Kami tak terlalu senang dengan desain yang aneh-aneh. Kami senang
desain produk yang elegan khas bus-bus Eropa. Dari dulu hingga sekarang, kami
tetap fokus dan konsisten pada kualitas produk. Itulah kiat sederhana kami
untuk bertahan dan berkembang,” ujar David.
Tak banyak industri karoseri bus yang bertahan. Kejayaan industri karoseri berlangsung sepanjang kurun 1970 sampai 1990-an. Semasa itu ada ribuan industri karoseri bus dan truk. Jumlah industri karoseri berkurang drastis saat Indonesia dilanda krisis ekonomi, keuangan, dan politik pada kurun 1996-1999.
Tak banyak industri karoseri bus yang bertahan. Kejayaan industri karoseri berlangsung sepanjang kurun 1970 sampai 1990-an. Semasa itu ada ribuan industri karoseri bus dan truk. Jumlah industri karoseri berkurang drastis saat Indonesia dilanda krisis ekonomi, keuangan, dan politik pada kurun 1996-1999.
Ketidakpastian usaha saat
itu, ditambah suku bunga yang melambung dan nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat yang terus merosot, memukul telak dunia usaha. Industri
karoseri makin nelangsa setelah
pemerintah mengeluarkan regulasi yang membolehkan agen tunggal pemegang merek
(ATPM) mengerjakan sendiri (in-house)
perakitan body. ATPM pun boleh
mengimpor mobil jadi atau mobil utuh (completely
built-up).
Padahal, sebelumnya, ATPM seperti Daihatsu, Mitsubishi, Toyota, dan
Suzuki, menyerahkan produk-produknya kepada industri karoseri. Contoh hasil
karya karoseri terkenal adalah Toyota Kijang dan Suzuki Carry.
Pada 2010 Asosiasi Karoseri Indonesia merilis jumlah anggota sebanyak 375
industri karoseri yang tersebar di Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Yogyakarta, Jawa Timur, serta Sumatera Utara dan Lampung. Namun, baru 105
industri karoseri yang bersertifikat dan selebihnya belum bersertifikat.
Khusus di Jawa Timur terdapat 79 perusahaan karoseri—28 perusahaan sudah
bersertifikat. Mayoritas perusahaan karoseri berlokasi di Surabaya dan Malang.
Di masa kejayaan industri karoseri, di Malang terdapat 30-an perusahaan
karoseri. Kini tinggal 5-6 perusahaan karoseri yang mampu bertahan. Selain
Morodadi Prima, PT Adiputro Wirasejati dan PT Tentrem memproduksi bus reguler pengangkut
penumpang dan bus pariwisata. Gunung Mas dan KIM Putra setia memproduksi bodi truk. Sedangkan Piala Mas membangun
bus dan kadang juga membuat bodi truk.
Morodadi mencapai masa puncak permintaan pada kurun 1989-1992, dengan
rata-rata per bulan mengerjakan 40 unit bus kelas eksekutif. Produksi sebanyak
ini melibatkan 600-an pekerja, 40 persen di antaranya pekerja borongan.
Di masa krisis, jumlah order merosot 70 persen. Jumlah pekerja menciut
tinggal 300-an orang pada 2003 dan turun lagi jadi sekitar 250 orang pada 2004.
Rata-rata tiap bulan Morodadi menerima 5-10 pesanan dengan ongkos pengerjaan
per order Rp 120 juta.
Jumlah order anjlok, biaya produksi meningkat. Sepanjang 2003-2004,
harga material naik lebih dari 70 persen. Besi menjadi material utama. Morodadi
biasa belanja sebanyak 15 ton besi seharga Rp 11 ribu per kilogram atau Rp 1,5
miliar. Beruntung, Morodadi suka menyimpan stok besi dan material lainnya.
Selain belanja bahan, tiap bulan di masa itu Morodadi harus merogoh kocek Rp
250 juta untuk menggaji pegawai. Itu belum termasuk untuk membayar biaya
listrik dan biaya operasional lainnya.
Keadaan diperburuk semakin murahnya harga tiket pesawat. Perusahaan
otobus terpaksa menurunkan harga tiket. Ketika harga tiket pesawat malah di
bawah harga tiket bus, pengusaha bus tak lagi berani mengambil risiko dengan
menurunkan harga tiket. Alhasil, orang lebih suka naik pesawat ketimbang naik
bus sehingga banyak perusahaan otobus bangkrut. Order yang didapat perusahaan
karoseri pun tergerus.
Perusahaan karoseri makin sulit berkembang setelah pemerintah
mengeluarkan beberapa regulasi yang tidak mendukung eksistensi mereka, semisal
pemberlakuan pajak barang mewah dan impor bus bekas.
David terkenang, “Pernah, saking susahnya dulu, pekerja kami sampai rela
menerima order pengecatan helm agar bisa bertahan.”
Morodadi
pernah berkerjasama dengan ATPM selama 10 tahun lebih. Kerja sama tidak
diteruskan karena Morodadi merasa rugi, terlebih ketika ATPM menggarap sendiri
kendaraan jadi.
Di masa booming, era 1980-an, ATPM sudah seperti berhala. Sebelum memberikan order ke perusahaan karoseri, ATPM menerima permintaan dari dealer kendaraan di banyak daerah. Permintaan dealer sama dengan permintaan konsumen. Kendaraan yang dipesan baru bisa diserahkan ke konsumen lewat ATPM beberapa bulan kemudian setelah perakitan di karoseri selesai.
Di masa booming, era 1980-an, ATPM sudah seperti berhala. Sebelum memberikan order ke perusahaan karoseri, ATPM menerima permintaan dari dealer kendaraan di banyak daerah. Permintaan dealer sama dengan permintaan konsumen. Kendaraan yang dipesan baru bisa diserahkan ke konsumen lewat ATPM beberapa bulan kemudian setelah perakitan di karoseri selesai.
“Namun,” kata David, “dalam kenyataannya, ketergantungan yang
begitu besar itu dimanfaatkan oleh beberapa ATPM untuk memaksakan harga pada
karoseri. Bahkan, disinyalir mereka suka mengadu antara karoseri yang satu
dengan karoseri yang lain. Takutnya, karoseri hanya dijadikan sebagai kelinci
percobaan, sebelum mereka merakit mobil sendiri.”
Selain itu, bekerja sama dengan ATPM tidak bisa membuat Morodadi mandiri 100 persen terutama dalam penentuan harga dan berkreasi. Umumnya ATPM bertabiat mencari untung sebesar-besarnya dengan membeli dari perusahaan karoseri dengan harga semurah-murahnya.
Sejak bercerai dengan ATPM, Morodadi menyasar langsung
perusahaan otobus menengah ke atas. Pangsa pasar utamanya adalah perusahaan
otobus pariwisata dan bus penumpang umum yang berbasis di Bali, Jawa Tengah,
dan Sulawesi. Namun,
perusahaan otobus belum sepenuhnya bangkit sehingga Morodadi pun menerima order
membuat kendaraan-kendaraan berukuran kecil dan sedang.
David
menegaskan, Morodadi sangat ketat menjaga mutu produksi meski teknologi
karoseri yang dipakai tidak sepenuhnya modern, seperti teknologi full pressed body dan serta docking system—rumah-rumah kendaraan
sudah 60-100 persen sudah jadi, tinggal tunggu unit sasisnya. Satu orang
karyawan biasa menangani dua-tiga pengerjaan sekaligus, semisal mengelas,
mendempul, dan mengecat. Mereka bekerja laksana seniman.
Standar
ketat yang diterapkan Morodadi dirintis mulai 1980-an dengan melengkapi jalur
produksi dengan mesin-mesin yang bisa menghasilkan komponen pendukung. Dengan
menggunakan mesin, Morodadi bisa mempercepat pembuatan beberapa bagian bus,
seperti pemotongan pelat untuk bumper,
serta rangka untuk handle pintu.
Di tiap bagian ada ada penyelia (supervisor) yang
khusus mengawasi kualitas pekerjaan. Di tiap bagian itu pula ada papan yang
ditempel tata cara, prosedur dan gambar teknis atas standar yang harus
dipenuhi. David sempat memperlihatkan standar pengelasan rangka sebelum ditutup
pelat bodi bus. “Di bagian ini, pekerjaan pengelasan harus sesuai standar untuk
mengelas rangka sepeda. Hasil pengelasan harus terlihat sangat halus dan rapi.”
Kesabaran
dan ketekunan Morodadi mulai berbuah manis. David bilang, kegiatan produksi
Morodadi mulai membaik dan stabil dalam tiga tahun terakhir. Order bertambah.
Sekitar 20 perusahaan otobus menjadi pelanggan Morodadi. Dalam sebulan Morodadi
bisa menyelesaikan 20 bus besar (big bus)
serta 15 bus ukuran sedang dan kecil. Seluruh rangkaian produksi melibatkan 600
sampai 700 orang pekerja, 20 persen di antaranya pekerja borongan.
Ongkos
pengerjaan satu bus besar di atas Rp 200 juta, sedangkan pengerjaan bus ukuran
sedang berongkos Rp 150 juta sampai Rp 200 juta. “Besar-kecilnya ongkos
pengerjaan tergantung opsi atau selera konsumen. Opsi ini biasanya menyangkut aksesoris
bagian dalam atau interior bus. Semakin banyak opsi yang dimau, semakin besar
pula ongkos kerjanya.”
Varian
produksi makin banyak. Selain menggarap bus besar, sedang, dan kecil, Morodadi
juga memproduksi shuttle van, kendaraan
khusus (contoh: ambulans, mobil jenazah, mobil reklame, dan mobil radio).
Hampir semua desain dan model kendaraan yang diproduksi Morodadi dibuat
berdasarkan selera konsumen.
“Banyak pelanggan kami yang menginginkan tampilan busnya diubah sesuai
keinginan mereka. Sepanjang bisa dilakukan kami juga akan menyesuaikan
keinginan pelanggan.”
Soal
harga, David mengibaratkan harga produk Morodadi sebagai harga kelas restoran
cepat saji, bukan kelas warung. Memang relatif lebih mahal dibanding produk
dari perusahaan karoseri lain, tapi mutu produk dijamin memuaskan. “Kami
benar-benar ketat menjaga standar mutu dengan terus menyempurnakan prosedur
produksi.”
Penghargaan lain didapat dari PT Mercedes-Benz Indonesia. Morodadi mendapat dua sertifikat dari Mercy sebagai body builder yang mampu memenuhi standar global pabrikan ternama asal Jerman itu. Pada Maret 2010 Mercy menyerahkan sertifikat pembuatan bodi bus bersasis OH 1526 EIII. Sertifikat sejenis diterima pada 31 Agustus 2012 untuk pembuatan bodi bus bersasis OH 1626 LEIII.
Sertifikat itu mencakup kategori rekayasa desain (design engineering),proses produksi (production process), dan sign-off
complete bus.
Bus Mercy bersasis OH 1526, misalnya, berwujud bus milik PO Blue Star
(Jakarta), PO Safari Dharma Raya (Jakarta), dan bus karyawan PT Petrokimia
Gresik. Sedang bus Mercy bersasis OH 1626 berwujud bus yang dipakai PO Rosalia
Indah (Solo), Karya Jaya (Semarang), dan Safari Dharma Raya.
Sebenarnya,
kerja sama antara Morodadi dengan Mercedes-Benz sudah berlangsung lama, sejak
era kepemimpinan Lie Bambang Gunawan, ayah kandung David. Namun, baru pada 2010
dan 2012 Mercy mengakui kemampuan Morodadi.
Saat ini Morodadi sedang fokus menggarap bus besar model baru bersasis OH 1836 yang memiliki panjang sekitar 13 meter. Ditargetkan model terbaru ini selesai digarap pada Juni mendatang dan diharapkan berbuah sertifikat lagi dari Mercedez-Benz. ABDI PURMONO
0 Komentar