Foto-foto: ABDI PURMONO |
Catatan lama, Sabtu, 7 Januari 2006
TIGA orang Jepang meninggal dan 30
orang lainnya terpaksa dibawa ke beberapa rumah sakit di Tokyo setelah tersedak
dan sulit bernapas sewaktu makan mochi selama perayaan Tahun
Baru 2006.
Dari 30 orang yang dirawat, sembilan orang di antaranya dalam kondisi gawat. Kondisi mereka diketahui dalam insiden terpisah di Tokyo, mulai 26 Desember 2005 hingga 4 Januari 2006 kemarin.
Seperti diberitakan Japan
News Network (Rabu, 4 Januari 2006) dengan mengutip keterangan dari
Departemen Pemadam Kebakaran Tokyo (Tokyo Shobocho), korban tewas
semuanya pria yang masing-masing berusia 80, 81, dan 91 tahun. Yang dalam
kondisi gawat berusia antara 60 sampai 90 tahun. Seorang anak berusia lima
tahun, serta dua remaja 20-an tahun juga dikabarkan tersedak mochi.
Itu bukan berita baru dan
menggemparkan bagi rakyat Jepang lantaran hampir saban tahun ada saja orang Jepang,
terutama kakek-nenek, yang dilaporkan dalam kondisi kritis dan bahkan meninggal
lantaran jalan pernapasannya tersumbat mochi.
Pemerintah Jepang memang prihatin tapi
tentu mustahil melarang rakyatnya menikmati mochi. Tindakan
paling masuk akal untuk mencegah berulangnya insiden serupa adalah senantiasa
mengingatkan rakyatnya untuk berhati-hati sewaktu menikmati kue tradisional
Jepang nan kenyal tersebut.
Departemen Pemadam Kebakaran Tokyo,
misalnya, rajin mengingatkan warga agar jangan asal main telan. Warga sangat
disarankan untuk memotong mochi kecil-kecil, dikunyah pelan-pelan,
serta sebaiknya “disorong” dengan seteguk air. Bagi para orang tua lanjut usia
yang hidup sendiri, sebaiknya mengundang kerabat atau tetangga untuk bersama
menikmati mochi, biar ada yang “mengawasi” dirinya saat makan.
Otsuka Hatsuo |
Mochi masuk ke Jepang dari Asia Tenggara, semasa sistem penanaman
padi baru saja dikenal Jepang. Teknik menanam padi dari daratan Asia telah
dikenal Jepang sejak 2.300 tahun silam, serta peradaban pertanian padi dimulai
sejak periode Yayoi (300 SM sampai 300 M). Diperkirakan, padi pertama kali
ditanam di bagian utara Pulau Kyushu. Beberapa ratus tahun kemudian dari
periode Yayoi, padi sudah dikenal luas dan ditanam di seluruh kepulauan Jepang,
kecuali di bagian utara Pulau Hokkaido.
Tapi, karena penelitian sejarah
penanaman padi hingga kini masih berlanjut, maka ada saja pakar pertanian
Jepang yang ngotot menyatakan Negeri Matahari Terbit sudah
mengenal teknik menanam padi sejak periode Jomon (10.000 SM sampai 300 SM).
Entahlah. Yang sudah pasti, pada awal sejarahnya, perekonomian Jepang
bergantung pada kegiatan berburu dan meramu sehingga mereka memakan apa saja
yang dapat diperoleh di daerahnya.
Sedangkan sejarah tradisi
membuat mochi (mochitsuki) masih lebih gampang dilacak.
Di luar literatur, beberapa orang Jepang yang ditanya kompak menyebut
bahwa tradisi membuat mochi untuk merayakan tahun baru (shogatsu)
berakar pada periode Heian (794-1185). Waktu itu Jepang masih menggunakan
kalender versinya sendiri.
Citra mochi menjadi
“kue kebangsaan” makin kukuh sejak Jepang makin memodernkan diri, terutama saat
menyambut sekaligus merayakan pergantian tahun. Boleh dikata, perayaan tahun baru melembaga sejak Jepang memakai kalender Gregorian, persisnya sejak
1 Januari 1873 atau mulai tahun keenam periode Meiji (1869-1912).
Sebelumnya, hingga akhir tahun
kelima priode Meiji (1872), Jepang masih menggunakan sistem kalender Tenpo
Reki, yang merupakan kalender lunisolar, perpaduan sistem kalender matahari
dan kalender lunar. Uniknya, selain menggunakan tahun Gregorian, Jepang juga
menulis tahun berdasarkan nama masa kekaisaran Jepang (Gengo).
Ambil contoh begini. Penulisan
tanggal dalam kalender Jepang diurut dari tahun, bulan, dan tanggal (hari),
dengan huruf Kanji. Samalah dengan sistem kalender Barat, tapi penulisannya
diimbuhi huruf Kanji untuk tahun, bulan, dan hari. Berhubung di komputer saya
tidak ada huruf Jepang, maka diganti saja penulisannya jadi Latin: 2006/1/7.
Dengan menggunakan nama zaman kekaisaran, maka penyebutan tahun diganti dengan
angka 18/1/7 atau dibaca Heisei juhachinen ichigatsu nanoka). Heisei
adalah sebutan untuk masa pemerintahan Kaisar Akihito yang dimulai sejak 8 Januari
1989.
Otsuka Hatsuo dan Otsuka Kisah |
Hatsuo-san dibantu
Otsuka Kisah, istrinya. Suami-istri ini sebaya, sama-sama berumur 72 tahun.
Menurut Hatsuo-san, sebaiknya mochitsuki ditangani
sendiri oleh si empunya hajat. Bukannya Hatsuo-san pelit berbagi
ilmu dan pengalaman, tapi dalam keyakinan dia, campur tangan orang lain dapat
mengurangi aliran rezeki dan mengundang bala. Kalau dikerjakan keroyokan dengan
berganti-ganti orang, katanya tegas, “Itu seperti soshiki (upacara
orang meninggal).”
Kalaupun akhirnya dia bersikap
moderat dengan membolehkan orang lain terlibat dalam mochitsuki,
tak lain karena dia juga ogah dicap kolot oleh generasi zaman
sekarang. Dia berdalih lagi, “Menyenangkan banyak orang juga perbuatan mulia.
Kalau tak ada lagi orang yang peduli pada mochitsuki, yang rugi
kami juga.”
Anggota keluarga dan tamu-tamunya
manggut-manggut. Sebagai bukti dia bersikap “sadar zaman”, mochi pertama
dan keenam dikerjakan sendiri oleh Hatsuo-san dan istrinya.
Yang penting, kata dia, niat mulia
membuat mochi tak berubah: sebagai persembahan bagi para dewa
(kami). Dari dulu mochi telah menjadi sesajian bagi kami sehingga mochi selalu ada dalam upacara
keagamaan dan pesta rakyat (matsuri).
Mochi khusus buat kami disebut osonae mochi,
yang berbentuk dua tingkat. Tingkat bawah berbentuk bulat pipih, sedangkan
tingkat atas berbentuk bulat dalam ukuran lebih kecil, yang di atasnya
diletakkan mikan (jeruk keprok) dan dihias dengan daun-daunan
dan tali kuning merah. Osonae mochi atau kagamimochi biasanya dipamerkan di rumah-rumah tradisional dan kuil-kuil. Tapi
ada juga yang meletakkan di sudut ruangan dalam rumah pribadi dan kantor.
Sama dengan di Indonesia, mochi juga dibuat dari ketan putih (mochigome). Beras Jepang banyak jenisnya. Beras
Jepang termasuk jenis japonica yang bentuknya lebih pendek dan
lebih bulat daripada jenis indica, beras yang biasa dimakan di
Indonesia. Jenis japonica lebih lengket sehingga nasinya mudah
dimakan dengan sumpit (hashi).
Osonae mochi |
Secara tradisional, ketan yang sudah dimasak kemudian diuleni dengan cara ditumbuk dengan kine (alu khusus)
dan dibolak-balik dalam sebuah usu (lesung kayu) dengan diberi
tambahan air. Lama penumbukan 15-20 menit. Kulit mochi—sebutan untuk
permukaan mochi—yang halus
dan kenyal menandakan penumbukan selesai dan siap diangkat, lalu ditaruh di
atas wadah yang lebar dan ditaburi tepung beras. Asal tahu saja, kulit mochi (mochi
hada) juga acap diucap sebagai kiasan untuk pipi bayi yang halus atau pipi perempuan nan mulus. Nah!
Pembuatan mochi kini
lebih merupakan sebuah ritual perayaan tahun baru, yang umumnya dilakukan
serentak pada 30 dan 31 Desember, ketimbang murni sebagai ritual mochitsuki.
Karena mochi bisa diproduksi massal dengan mesin modern,
maka mochi siap santap kini banyak dijual di toko-toko kue
dalam pelbagai rupa dan rasa, serta untuk serbaneka keperluan.
Sebagai camilan, isi mochi bervariasi
tapi kebanyakan berisi kacang merah olahan (ogura). Bentuknya
juga beragam, tapi kebanyakan bulat, atau bundar pipih, atau dipotong-potong
menjadi bentuk persegi. Kendati mochi sudah menjadi penganan
tersendiri, tapi bisa saja mochi dijadikan sebagai bahan masakan Jepang.
Ada banyak variasi mochi. Yang populer antara lain ozoni (sup khusus untuk Tahun Baru, yang berisi potongan mochi dan sayur-sayuran), yakimochi (mochi panggang yang diberi kecap, parutan lobak, dan dibalut dengan rumput kering), daifuku (mochi lunak berisi selai kacang merah manis), oshiruko (sup kacang merah dengan potongan-potongan mochi, yang merupakan hidangan di musim dingin), dan es krim mochi yang justru terkenal di California, Amerika Serikat.
Ada banyak variasi mochi. Yang populer antara lain ozoni (sup khusus untuk Tahun Baru, yang berisi potongan mochi dan sayur-sayuran), yakimochi (mochi panggang yang diberi kecap, parutan lobak, dan dibalut dengan rumput kering), daifuku (mochi lunak berisi selai kacang merah manis), oshiruko (sup kacang merah dengan potongan-potongan mochi, yang merupakan hidangan di musim dingin), dan es krim mochi yang justru terkenal di California, Amerika Serikat.
Rupa dan rasa ozoni hampir
selalu berbeda di masing-masing daerah. Di kawasan Kanto (Tokyo dan
sekitarnya), umumnya ozoni dibuat sebagai sup bening yang
berisi potongan mochi berbentuk persegi-persegi. Di kawasan
Kansai (Osaka dan sekitarnya), kaldu sup ini diberi miso (sejenis
tauco) dan bulatan-bulatan kecil mochi. Bumbunya berlainan menurut
daerah dan kesukaan keluarga.
Mochi di Indonesia punya sebutan khas di tiap daerah. Orang Jawa Timur mengenal tethel atau gemblong. Kue uli terkenal
di Jawa Barat. Kue mochi khas Jawa Tengah bernama jadah,
orang Bali menyebutnya jaja.
Ada sedikit perbedaan antara mochi versi
Jepang dan Indonesia, kendati bahan dan cara mengolahnya sama. Di Indonesia,
ketan yang hendak dikukus dicampur kelapa yang diparut, serta hasil
tumbukkannya pun tidak sehalus mochi Negeri Sakura.
Satu perbedaan lagi, kemampuan kita
dalam mengemas dan mempromosikan keragaman makanan dan kue-kue tradisional
belumlah sebagus dan “seheboh” orang Jepang. Mereka sangat jago mengemas apa
pun menjadi tampak indah, mengundang kekaguman, dan membuat orang penasaran.
Namun, jangan persoalkan rasanya karena rasa menyangkut selera dan selera tak bisa
diperdebatkan.
Akemashite omedeto gozaimasu. Selamat menikmati masa Tahun Baru!
0 Komentar