DUA pria bertato ligat mengayak serbuk kayu. Dibantu seorang perempuan, mereka mengemas serbuk kayu ke dalam ratusan kantong pelastik bening, lalu memasukkannya ke ruang pemanas bersuhu 100 derajat Celsius untuk diseterilkan selama delapan jam.
“Ini namanya baglog atau media tanam jamur. Cara membuat baglog sepertinya gampang, padahal susah," kata Sujianto, 24 tahun, seorang pekerja di Usaha Kecil Menengah (UKM) Jatiman Food di Dusun Bulukandang, Desa Bulukandang, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Selasa, 4 Desember 2012.
Sujianto dan kawan-kawan sedang membuat baglog jamur tiram dan jamur kuping. Kaiman, pemilik Jatiman, mengawasi dan memberi arahan saja. Menjelang waktu makan siang, Kaiman pergi membeli nasi bungkus untuk anak buahnya.
Baglog merupakan media
tanam jamur yang terdiri dari campuran serbuk kayu, dedak, bekatul, tepung
jagung, dan kalsium yang dibungkus pelastik berbobot satu kilogram. Tiap minggu
Kaiman mendatangkan 24 truk mini serbuk kayu dari Lumajang dan Malang setelah
sebelumnya mengandalkan pasokan dari pusat industri mebel Kota Pasuruan. Harga
satu truk serbuk kayu Rp 1,25 juta.
Kaiman
menjelaskan, proses pembuatan baglog
dimulai dari proses penyampuran dan pengayakan, dilanjutkan dengan proses
pengemasan bahan baglog, diteruskan
dengan proses penyetiman (sterilisasi), lalu ke proses pembibitan, dan diakhiri
dengan proses inkubasi di dalam kumbung. Kumbung biasa disebut kandang jamur, tempat penumbuhan jamur.
Bangunan kumbung berdinding bambu berukuran 5 x 10 meter persegi.
PENAMPILAN
pria 52 tahun itu sangat sederhana. Saat ditemui, Kaiman bercelana pendek, berkaos,
dan tidak beralas kaki. Gaya bicaranya pelan dan halus, dengan aksentuasi agak “mengayun”
bak sedang bersyair.
Tapi
jangan salah sangka. Pria tinggi besar itu dulu seorang preman yang disegani.
Setelah insaf, Kaiman kini menjadi juragan jamur terkenal di Jawa Timur. Hampir
semua jamur yang beredar di beberapa kota besar di Jawa Timur, terutama
Surabaya, berasal dari kampung Kaiman.
Jamur
tiram yang paling banyak dibudidayakan, sekitar 80 persen dari jamur kuping. Menurut
dia, menjual jamur tiram lebih menguntungkan ketimbang jamur kuping atau jamur
siap olah karena jamur tiram cepat tumbuh. Per tiga hari bisa dipanen satu
sampai 1,5 ons jamur dari tiap baglog,
dengan rata-rata total panen 1 kilogram.
“Dari
produksi sampai tumbuh jamur 35 hari. Setelah itu, jamur bisa tumbuh lima kali
lagi atau bisa dipetik lima kali selama lima bulan,” kata Kaiman kepada saya. Ini
panen dari satu kumbung. Kaiman masih punya 29 kumbung lagi yang tersebar di
Bulukandang.
Jamur
Kaiman tidak hanya terkenal di Jawa Timur. Dalam dua tahun terakhir ia berhasil
mengeskpor jamur ke Cina dan Korea Selatan sebanyak 6 ton sampai 10 ton per
bulan. Sekarang ia dikontrak pembeli dari Korea Selatan untuk mengirim 16 ton
jamur ton per bulan. Tentu saja Kaiman kewalahan. Ia baru mampu mengirim satu
kontainer berisi 4,2 ton jamur tiram kering siap olah.
“Usaha
saya baru mampu berproduksi maksimal 10 ton per bulan. Sekarang saya bertekad
menaikkan jumlah produksi agar dapat memenuhi permintaan pembeli. Untungya,
sang pembeli orangnya sangat baik dan pengertian,” kata pria kelahiran
Pasuruan, 17 Agustus 1960, itu.
Bahkan
sejak awal 2012 ia dikontrak setahun oleh Departemen Pertanian dan Peternakan Timor
Leste dengan nilai kontrak Rp 1,5 miliar. Nilai kontrak ini di luar biaya
transportasi dan akomodasi yang ditanggung pemerintah negeri jiran itu.
Kaiman
bagai bermimpi saat diundang pemerintah Timor Leste. Ceritanya, pada
pertengahan 2010, kantor Jatiman Food kedatangan 30 warga Timor Leste yang
ingin belajar budidaya jamur. Mereka menelepon dulu dari Timor Leste. Kaiman
terheran-heran karena merasa tak pernah berhubungan dengan mereka.
“Entah
dari mana mereka tahu nomor telepon dan tempat tinggal saya. Yang saya ingat,
setelah mereka balik ke Timor Leste, saya malah ditelepon Menteri Pertanian
mereka untuk diundang ke sana. Tapi waktu itu tak langsung saya terima. Baru
awal tahun ini saya mau ke sana,” kata pria yang tak tamat sekolah dasar itu.
Kaiman putus sekolah di kelas lima.
Karyawan UKM Jatiman Food membuat baglog. |
Tiap
bulan Kaiman ke Timor Leste untuk mengajarkan teknik membudidayakan jamur.
Bukan cuma budidaya jamur, ia pun diminta menularkan pengetahuan dan pelatihan
mengenai cara membuat tahu dan tempe, beternak lele, dan sejumlah usaha
agrobisnis lainnya. Nah, untuk mengajarkan pengetahuan dan keahlian lain di
luar jamur, Kaiman merekomendasikan pakar dari Indonesia dan pemerintah Timor
Leste tidak keberatan untuk menanggung uang saku, transportasi, dan
akomodasinya.
“Saya
dikontrak untuk melakukan 12 kali pertemuan. Pertemuannya tiap bulan. Sekali
datang, seminggu saya di sana. Tapi, dua bulan terakhir saya tak ke sana karena
kondisi politik di Timor Leste sedang tidak bagus,” kata bapak dua anak, yang
juga menjadi pembimbing UKM Mamin Sukma, itu.
Di dalam negeri pun ia terus menularkan pengetahuan budidaya jamur
kepada siapa saja yang meminta. Pembicaraan kami pun sempat disela oleh Kaiman
untuk menelepon dan menerima panggilan telepon. Ia sempat berbicara serius saat
merundingkan lokasi pelatihan budidaya jamur yang akan diikuti sejumlah pegawai
negeri dari Bali.
Kiprah Kaiman di bisnis jamur cukup berliku dan “dramatis”. Ia
mengaku tidak sengaja berbudidaya jamur. Kemiskinan menyebabkan Kaiman putus
sekolah dasar di kelas lima dan bekerja apa saja untuk membantu kedua
orangtuanya menghidup kelima adiknya. Ia pernah merasakan jadi buruh tani,
buruh pengangkut batu dan pasir, dan juga bekerja di peternakan penggemukan
sapi.
Di usia 19 tahun ia menjadi kernet truk jurusan Surabaya-Bali.
Setahun kemudian ia malah jadi sopirnya. Pekerjaan sopir dilakoni Kaiman selama
10 tahun dari tahun 1980. Setelah itu ia berpindah kerja menjadi sopir bus
selama tiga tahun.
Pada 1997 Indonesia dilanda krisis moneter akut. Kehidupan rakyat
semakin payah. Kaiman pun makin kesulitan membiayai kehidupan keluarganya
sampai kemudian ia terpaksa menjadi preman. Ia menjadi orang kepercayaan salah
satu kelompok penjahat terkenal di salah satu pusat grosir di Surabaya. Kaiman
menjadi sopir pembawa barang-barang hasil curian dan rampokan kelompoknya. Banyak
teman Kaiman yang ditangkap atau tewas setelah ditembak polisi.
“Waktu itu, siang hari saya bekerja di perusahaan ekspedisi. Kalau
malam kerjanya yang enggak-enggak
jelas begitu. Saya sendiri sebenarnya bukan preman yang tegaan. Kami memang mencuri atau merampok barang, tapi pantang
menyentuh atau melukai korban. Ada teman yang jadi ‘raja tega’ karena sanggup
membunuh dan memperkosa. Saya dan beberapa teman malah mendoakan dia ditangkap
atau mati ditembak polisi,” saat menuturkan cerita ini, mata Kaiman sempat
berkaca-kaca.
Hanya tiga tahun Kaiman berkiprah di dunia hitam. Ia mengaku
insaf karena kasihan pada orangtua dan keluarga sendiri. “Saya waktu itu
benar-benar tak ingin membantu orangtua dan adik-adik, terutama keluarga saya,
dari uang haram.”
Pada 2002, Kaiman sempat kabur ke Ciwidey, Kabupaten Bandung,
untuk menyelamatkan diri. Ia menolak memperjelas penyebab pelarian ke sana. Ia
bersembunyi selama tiga bulan di rumah salah seorang temannya. Di Bandung ia
berkenalan dengan seorang petani jamur. Kaiman pun berguru budidaya jamur tiram
putih (Pleurotus ostreatus).
Sepulang
dari Bandung, sepanjang 2003-2004, Kaiman berbudidaya jamur di Bulukandang.
Usaha ini diselingi dengan bekerja sebagai sopir angkutan desa. Namun, usaha
budidaya jamur gagal gara-gara teknik budidaya jamur yang diterapkan Kaiman
masih “primitif”, selain kekurangan modal usaha.
Berkat
informasi dari rekannya, pada awal 2005 Kaiman dan 19 tetangganya mengajukan
proposal pelatihan usaha jamur ke Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna
(sekarang Pusat Pengembangan Kewirausahaan Sampoerna), yang dekat dengan kampung
mereka. Waktu itu Kaiman dan kawan-kawan berpikir bahwa daripada mengeluarkan
anggaran besar untuk pengamanan, lebih baik Sampoerna mengeluarkan biaya corporate social responsibility atau CSR
untuk membina warga miskin di sekitar Sampoerna.
“Waktu
itu kami tidak punya apa-apa, selain semangat dan kenekatan. Kami juga ingin
kampung kami bercitra baik. Untung manajemen Sampoerna sangat bijak. Mereka
langsung menerima usulan kami dan kami diminta membentuk kelompok kerja dari
delapan RW (rukun warga). Kami mendapat pelatihan budidaya jamur secara modern selama
sebulan. Sampoerna sediakan uang dan tenaga instruktur.”
Habis
latihan, Sampoerna memberi modal usaha Rp 30 juta kepada Kelompok Kerja Duta
Mitra Sampoerna, plus bantuan 100 bibit baglog.
Bantuan modal dari Sampoerna cuma satu kali tapi Sampoerna tetap mendampingi
Kaiman dan kawan-kawan berbudidaya jamur. Sampoerna pun ikut membantu
mencarikan pasar. Sayang sekali, dari 20 peserta pelatihan, hanya Kaiman dan
dua temannya yang bertahan. Cita-cita menjadikan Bulukandang sebagai sentra
jamur pun gagal di akhir 2005.
Secara
jujur Kaiman mengaku, kegagalan itu bukan karena Sampoerna salah mengajari atau
tak serius membantu, tapi lebih karena karakter masyarakat. Mayoritas teman
Kaiman tidak sabar dan telaten. Malah, banyak temannya menggunakan modal usaha
dari Sampoerna untuk beli perabotan rumah tangga atau ambil kredit sepeda motor.
Selain
karakter, membudidayakan jamur memang sangat tidak gampang sehingga pelaku
usaha jamur masih sedikit. Ia mengaku sering gagal. Jamur tak bisa dipanen.
Pembibitan gagal. Pernah membibit 1.000, yang tumbuh hanya 500 jamur. “Secara
teknis, kegagalan yang sering saya alami karena terjadi kontaminasi antara
bibit dan hama.”
Namun
Kaiman pantang menyerah. Ia bangkit lagi untuk mewujudkan tekad mengubah Bulukandang
jadi kampung jamur andalan di Jawa Timur. Kebangkitannya dimulai di atas lahan
seluas 240 meter persegi. Upaya yang ia lakukan adalah memperkerjakan tetangga,
saudara, kerabat, dan teman dalam UKM Jatiman Food. Siapa saja orang di desanya
yang menganggur dan mau bekerja diajak Kaiman. Bahkan, banyak bekas preman yang
direkrut Kaiman.
“Karena
saya mantan orang nakal,” Kaiman berkata, “yang saya ambil preman-preman
kampung yang masih muda dan mau bekerja. Awalnya sepuluh anak yang saya ajak
tapi sekarang sudah lebih banyak lagi dan mayoritas memang bertato. Tapi,
jangan khawatir, mereka semua sudah jadi anak baik dan kampung sini pun sudah
lebih aman setelah mereka mendapat pekerjaan tetap.”
Kaiman
mengaku berkoordinasi dengan Kepolisian Sektor Prigen saat merekrut para
preman. Ada juga preman yang tak kapok setelah ikut dirinya. Kalau sudah
begitu, Kaiman tak segan-segan melaporkan anak buahnya ke polisi. Ada anak buah
Kaiman yang ditangkap dan ditahan polisi selama tiga bulan.
“Itu
buat pelajaran. Sekarang anaknya janji bertobat sepenuhnya. Saya yakin, dengan
melibatkan preman-preman di sini, kampung kami bisa aman”
Untuk
melanjutkan usaha jamur, Kaiman sempat meminjam buku pemilik kendaraan bermotor
(BPKB) sepeda motor dari temannya untuk dijadikan agunan di Bank Rakyat
Indonesia (BRI) agar ia mendapat kredit usaha. Pada 2006 usaha jamur Kaiman
mulai berkembang.
Selama
setahun Kaiman berkeliling dengan sepeda motor bututnya ke sejumlah kota di
Jawa Timur untuk menjual jamur. Surabaya, Sidoarjo, dan Malang menjadi kota
sasaran utama. Ritme kerjanya dimulai sehabis subuh. Pukul 5 pagi memetik
jamur, sejam kemudian berjualan. Kaiman membuat brosur berisi informasi manfaat
jamur.
Kaiman
merasakan betul susahnya berjualan jamur. Semula kebanyakan orang menganggap
produk jamur yang ditawarkan beracun. Padahal, ia menegaskan, jamur yang
diproduksinya aman dikonsumsi, bergizi tinggi, dan bisa diolah dengan berbagai
variasi. Ia pun memberi resep masakan berbahan jamur. Upaya ini dilakukan untuk
menarik minat pembeli yang bingung akan dimasak jadi apa jika jamur mereka
beli.
“Darah
preman saya pernah naik gara-gara saya tak tahan saat ada orang yang bilang
jamur saya beracun. Tapi orang itu tidak saya apa-apakan kecuali saya ceramahi.
Saya pastikan jamur yang saya produksi aman bagi kesehatan,” ujar suami dari
Husnia itu. Pasangan Kaiman dan Husnia menikah pada 1983.
Kesabaran
dan keuletan Kaiman mulai berbuah manis pada 2007. Usahanya berkembang pesat. Permintaan
jamur mulai booming. Ia mendapat
pesanan 1.500 baglog. Karena
kekurangan modal untuk mengembangkan usaha, Kaiman meminjam BPKB mobil milik
kerabatnya untuk mendapatkan kredit Rp 10 juta di BRI.
Kaiman
tak lagi perlu berkeliling karena pembeli yang langsung datang ke Bulukandang
atau memesan jamur lewat telepon. Pembeli yang datang biasanya seorang
tengkulak atau pengepul. Dalam sehari Kaiman bisa memanen 3 kuintal jamur.
Bibit
jamur ia buat sendiri setelah sebelumnya beli dari Balai Teknologi Pertanian di
Lawang, Kabupaten Malang. produk bibit andalan Jatiman Food bermerek F1, F2,
dan PDA. Bibit jamur buatan Kaiman berasal dari Belanda. Ceritanya, pada akhir
2007 ia menghadiri sebuah pelatihan yang diadakan sebuah pondok pesantren di
Pekanbaru, Riau.
Secara
kebetulan, di waktu rehat, ia bertemu seorang pria dari Kediri yang menjadi
penerjemah bagi seorang pebisnis jamur dari Belanda. Teman baru itu
memperkenalkan Kaiman dengan sang pengusaha. Gayung bersambut. Melihat
kesungguhan Kaiman, pengusaha Belanda itu mengajari Kaiman cara membibit jamur.
Contoh bibit jamur pun dikirim dari Belanda. Kaiman diminta memperbanyak bibit
dengan metode kultur jaringan. Metode ini harus dirahasiakan oleh Kaiman sesuai
permintaan si Belanda.
“Metode
ini harus saya rahasiakan sesuai amanat dari orang Belanda itu. Tapi kalau soal
media tanam, teknik tanam, dan lain-lain, saya mau ajarkan. Sampai sekarang
hubungan kami masih bagus. Setiap kali orang Belanda itu berlibur ke Bali, ia
sempatkan ke Bulukandang untuk lihat usaha saya.”
Sejak
2007 hingga sekarang Kaiman tak lagi fokus pada penjualan jamur, melainkan
lebih gencar menjual baglog seiring
makin pesatnya usaha budidaya jamur. Begitu pun, Kaiman tetap kewalahan
melayani pesanan dan permintaan yang tak sebanding dengan jumlah produksi.
Kendala
itu disiasati Kaiman dengan mendatangi orang-orang yang mau bekerjasama
membudidayakan jamur di sekitar desa. Yang berminat cukup menyediakan lahan.
Modal dan teknik budidaya dari Kaiman. Kaiman ikut membantu memasarkan jamur
dari para mitra. Mereka berbagi hasil sesuai kesepakatan.
Walau
sudah banyak pesaing, sampai pertengahan 2009 Kaiman belum memikirkan merek
dagang sampai kemudian ia mendapat kesempatan melakukan presentasi di depan peserta
program best student Sampoerna di
tahun itu. Mereka mengusulkan kepada Kaiman untuk menggunakan merek Jatiman,
akronim dari “Jamur Tiram Kaiman.” Kaiman setuju dan berkibarlah bendera
Jatiman Food.
Fulus
yang lancar mengalir ke kantong Kaiman tidak hanya dari usaha jamur, tapi juga
dari kegiatan mengisi banyak acara seminar, pelatihan, dan acara sejenis lainnya
di banyak daerah di luar Pasuruan, seperti Bandung, Pekanbaru, dan Bontang.
Semua kegiatan itu kebanyakan dihelat oleh dinas pertanian atau dinas UKM
setempat.
Ada
kejadian lucu di Bandung pada 2010. Kaiman sempat ngambek saat panitia pelaksana memperkenalkan dirinya sebagai
seorang profesor dari Jawa Timur.
“Saya
waktu itu jadi enggak mau masuk
ruangan gara-gara disebut profesor. Itu kan
tak benar. Saya lebih senang tak ada gelar apa pun disebutkan karena faktanya
SD saja pun saya tak tamat,” kata Kaiman, yang mengaku mendapat uang saku Rp 15
juta dari panitia.
Kaiman
menegaskan tak memburu rupiah dari kegiatan-kegiatan itu. Tak pernah ia mematok
harga untuk kehadirannya. Hampir semua kegiatan yang ia hadiri diketahui
Sampoerna karena sampai sekarang ia masih tercatat sebagai pengusaha binaan
Sampoerna. Ia justru ingin beribadah dengan berbagi ilmu dan pengetahuan
tentang budidaya jamur agar makin banyak orang Indonesia yang bisa mandiri dan
terbebas dari kemiskinan.
“Bukti
saya tidak menjadikan uang sebagai tujuan utama saya mengisi acara-acara
seperti itu, salah satunya ya kejadian di Bandung itu.”
Kegigihan
Kaiman pun berbuah banyak penghargaan. Dua penghargaan di antaranya adalah
penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai pembudidaya jamur dan
pemberdayaan masyarakat dengan jamur, serta Sampoerna Award sebagai UKM jamur
unggulan di Jawa Timur.
Bahkan,
pada tahun ini, berkat keberhasilannya, Kaiman diundang menghadiri acara yang
diadakan Komite Ekonomi Nasional (KEN). Acara ini dihadiri oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Kaiman pun diminta oleh Ketua KEN Chairul Tanjung untuk
terlibat dalam proyek besar “Indonesia Maju 2013-2030”.
Berawal
dari lahan 240 meter persegi, kini Kaiman punya lahan budidaya jamur seluas 5
hektare, 3,5 hektare di antaranya milik sendiri. Jatiman Food bisa menjual baglog sebanyak 2.500 unit per hari ke
pasar lokal, seperti ke Bali dan Tarakan, Kalimantan Utara.
Omzet
pendapatan Kaiman pun meningkat. Pendapatan terbesar, sekitar 70 persen,
berasal dari penjualan baglog,
sisanya dari penjualan jamur dan penjualan bibit. Pada 2007, misalnya, terjual
840 ribu baglog atau rata-rata 70
ribu baglog per bulan. Jumlah
produksi baglog itu masih bertahan
sekarang. Harga satu baglog Rp 2.250.
Rata-rata
tiap bulan Kaiman meraup omzet Rp 200 juta dari penjualan baglog. Dari 30 kumbung jamur bisa dipanen 10 ton jamur dengan
nilai jual Rp 100 juta. Dan dari penjualan bibit F1 dan F2 diperoleh Rp 50
juta. Bibit jamur F1 dan F2 masing-masing dijual Rp 150 dan Rp 10.000 per
botol. Total omzet yang dibukukan Kaiman per bulan Rp 350 juta atau Rp 4,2
miliar setahun.
Kesuksesan
usaha Kaiman tercermin dari kekayaan yang ia punya kini. Kaiman mengaku sudah
punya tiga rumah pribadi, empat unit angkutan desa, usaha penggemukan sapi.
Bisnis terakhir ini mulai dijalani Kaiman pada 2011, terinspirasi dari
pengalaman masa kecilnya dulu. Ada 100 ekor sapi yang ia punya.
Setiap orang bisa menjadi pengusaha asal mau bekerja keras dan
disertai kejujuran. Prinsip inilah yang dipercaya Kaiman untuk sukses. Kerja
keras ia jabarkan sebagai kemauan untuk terjun langsung bekerja dan membuka
jalan pemasaran. Kejujuran sangat diterapkan Kaiman dalam proses kerja dan
pascaproduksi. Ia mengaku seorang perfeksionis sehingga ia ketat mengontrol
proses kerja dan juga mengontrol kualitas produksi agar konsumen tidak kecewa.
Menurut Kaiman, mayoritas konsumen masih setia membeli jamur
darinya karena kualitasnya sangat terjaga. Kelebihan jamur Kaiman bersumber
dari peggunaan bahan organik. Kadar air rendah, ketebalan jamur bagus dengan
rata-rata tebal 2 sentimeter—jamur lain tebalnya rata-rata 1 sentimeter—dan
berwarna putih cerah, serta enak dan kenyal. Enaknya berasa harum, agak manis,
dan kesegarannya bisa bertahan selama seminggu dari rata-rata tiga hari. Jamur
yang menggunakan pupuk kimia biasanya masih menyisakan bau kayu.
Kelebihan itu diakui Dahlan, salah seorang pelanggan setia Kaiman
yang bertempat tinggal di Simo, Surabaya. Ia telah menjadi pembeli baglog buatan Jatiman Food sejak tiga tahun
silam. Tapi Dahlan juga menjual jamur. Menurut dia, kelebihan jamur Jatiman
terletak pada rasanya yang asli tanpa bau kayu atau obat-obatan karena jamur
Jatiman diolah secara organik. Rasanya juga agak manis dan gurih, selain
bentuknya yang bagus.
“Kalau soal harga relatif murah. Kalau dibilang mahal pun masih
sesuai dengan kualitasnya. Saya beli jamur dari Pak Kaiman dengan harga Rp 9
ribu per kilogram dan saya jual Rp 12.500 per kilogram. Jamur ini saya pasarkan
ke restoran dan depot-depot, tidak saya jual bebas ke pasar-pasar,” kata
Dahlan.
Dahlan berani menjamin jamur made
in Kaiman paling disukai konsumen di Surabaya, mengalahkan jamur-jamur yang
dijual empat pedagang lainnya. “Bukan mau sombong, tapi boleh dibilang jamurnya
Pak Kaiman itu rajanya jamur di Surabaya,” begitulah Dahlan memuji.
Kesuksesan Kaiman ikut dicicipi 50 karyawannya—di awal usaha
Kaiman hanya dibantu 5-7 karyawan—yang terdiri dari 30 pria dan 20 wanita. Kaiman
tak ingat pasti berapa sebenarnya jumlah karyawannya. Yang dia ingat, sudah
banyak anak buahnya yang mandiri di sejumlah daerah, seperti Bali, Tarakan, dan
Timor Leste. Mereka ini yang menjadi penyambung jaringan usaha Jatiman Food.
“Saya sudah bilang kepada seluruh karyawan saya, terutama yang
masih muda-muda, bahwa saya tak ingin mereka seterusnya jadi kuli, tapi harus
jadi pemimpin. Saya sangat gembira bila ada bekas anak buah saya ikut sukses
dan kalau bisa lebih sukses dari saya. Tapi bila ada yang ingin terus bersama
saya, saya tak bisa menolak,” kata dia.
Sujianto salah satu karyawan Kaiman yang ingin mandiri. Pria asal
Sepanjang, Surabaya, ini sudah ikut Kaiman sejak 2008. Ia dulu seorang preman
yang diajak Kaiman ke Bulukandang.
Sujianto mendapat pekerjaan dengan gaji Rp 1 juta per bulan, plus
makan-minum dan rokok. Ia tak terlalu memikirkan gaji. Ilmu pengetahuan
berbudidaya jamur dari Kaiman jauh lebih berharga. Hidup Sujianto sekarang
lebih tertib. Ia sudah bisa beli sepeda motor dari uang halal, serta menikahi
gadis Bulukandang setelah dicomlangi
Kaiman. Semasa jadi preman, Sujianto tak berani mencari calon istri.
Dulu ia gampang mendapat uang Rp 1 juta dan bahkan lebih, tapi
hidupnya sangat tidak tenang. Dulu tahunya berkelahi, sekarang Sujianto tahu
berbudidaya jamur. “Dulu saya nol pengetahuan tentang jamur. Pak Kaiman yang
membuat saya pintar. Kalau dulu saya suka ngisruh,
sekarang saya diem saja, manut (menurut) saja apa kata Pak
Kaiman. Kelak suatu saat, jika modal uang dan pengetahuan saya sudah cukup,
saya ingin mandiri dan Pak Kaiman setuju,” kata Sujianto.
Pengakuan senada disampaikan Bambang Irawan, 32 tahun. Lajang asal
Nguling, Kabupaten Probolinggo, ini ikut Kaiman sejak 2010. Sebelumnya, ia
kerja serabutan di kawasan Tanjungperak, Surabaya, selama delapan tahun. Penghasilan
besar di Tanjungperak tetap membuatnya tak tenang.
“Sejak kenal Pak Kaiman, sekarang saya jadi punya tujuan hidup
yang jelas, selain bisa mendapat uang halal dan juga pengetahuan membudidayakan
jamur. Saya merasa hidup saya sekarang lebih berarti setelah 15 tahun umur saya
terbuang sia-sia. Kelak suatu saat, saya pun ingin mandiri. Pak Kaiman siap
mendukung saya dan kawan-kawan,” kata bekas anggota komunitas vespa gembel itu.
Pujian juga diberikan oleh Ihwan, Kepala Dinas Pertanian Tanaman
Pangan. Menurut Ihwan, kehadiran Kaiman memperpanjang riwayat perjamuran di
Pasuruan yang dimulai sejak 1995 di Kecamatan Sukorejo. Di awal-awal budidaya,
ada lima kelompok tani yang berbudidaya jamur. Mereka tersebar di Sukorejo,
Purwodadi, dan Prigen, yang notabene daerah dataran tinggi.
Namun, belakangan, kelompok tani ini berguguran sampai akhir
Sampoerna ikut membantu menghidupkan lagi bisnis perjamuran Pasuruan.
Kebangkitan usaha perjamuran didukung oleh posisi sentra-sentra jamur yang
dekat daerah wisata kuliner, seperti Prigen, Pandaan, dan Tretes.
“Seingat saya, Sampoerna itu turun tangan sejak 6 tahun silam.
Setelah itu bisnis perjamuran bangkit lagi. Tapi, memang, saya akui, pamor
jamur Pasuruan kembali dikenal luas setelah Pak Kaiman dan kawan-kawannya
hadir,” kata pria yang sudah menjadi Kepala Dinas Pertanian selama dua periode
itu.
Fakta pembeda dari usaha jamur Kaiman adalah keterlibatan para
bekas preman. Ihwan menyebut Kaiman berjasa mengangkat harkat mereka dari
orang-orang yang dianggap sebagai sampah masyarakat menjadi orang-orang yang
berguna dan mandiri. Kehadiran Kaiman dan kawan-kawan juga turut mengubah citra
negatif Pasuruan di dunia kriminal.
Ihwan mengaku, beberapa daerah di Pasuruan, terutama Prigen dan
Rembang dulu sangat terkenal sebagai “daerah merah”. Tapi sekarang Prigen dan
Rembang menjadi daerah yang aman. Rembang, misalnya, kini terkenal sebagai
sentra penghasil mangga dan bunga sedap malam.
“Kalau orang-orang yang dulu kita anggap sampah masyarakat
benar-benar kita bina dengan tulus dan diberi pekerjaan, saya yakin mereka bisa
jadi orang baik lagi dan berguna. Itu yang sudah dilakukan Pak Kaiman.
Bayangkan, kami butuh 18 tahun untuk mengubah image dari daerah rawan kriminalitas menjadi salah satu daerah
pangan andalan Jawa Timur,” kata dia.
Begitu pun ia mengaku masih dibutuhkan waktu panjang untuk
mengubah seluruh citra negatif semacam itu. Dan untuk itu, dibutuhkan lebih
banyak Kaiman di Pasuruan. ***
Catatan:
Artikel lebih pendek bisa dibaca di halaman sisipan Jawa Timur Majalah Tempo edisi 17-23 Desember 2012 yang berjudul Mantan Preman Pengusaha Jamur.
Catatan:
Artikel lebih pendek bisa dibaca di halaman sisipan Jawa Timur Majalah Tempo edisi 17-23 Desember 2012 yang berjudul Mantan Preman Pengusaha Jamur.
5 Komentar
wah,,,,bisa d contoh ini ... :)
BalasMencontoh perbuatan Pak Kaiman lebih baik daripada mencontoh preman politik. Makanya, dari kuliah tak tamat-tamat, mending berhenti dan berwirausaha saja. Setuju, Rud? :)
Balassetuju banget pak..... :)
Balashalo...sy dg ibu iin, sy mencari petani jamur kancing dengan kebutuhan harian 300 sd 800 kg, ada informasi petani langsung yg bisa sy hubungi ? mohon hubungi ke 087889677396 ibu iin jakarta.
Balasmakasih