Gita dan suaminya, Paul (keturunan Cina), kelabakan. Mereka tahu kunang-kunang di Kota Malang nyaris hilang. Berbekal harap yang belum putus, Gita melayangkan surat pembaca ke koran untuk menanyakan di mana kunang-kunang mudah dijumpai. Surat Gita ditanggapi Ibu Indri, bekas dosen yang tinggal di sebuah taman kota bernama Lemah Tanjung.
Ibu Indri mempersilakan Gita membawa Bonet ke
Lemah Tanjung selagi sempat. Pasalnya, kunang-kunang di tempatnya pun sebentar lagi menghilang bersamaan
berubahnya lahan Lemah Tanjung menjadi kawasan perumahan mewah. Padahal, kunang-kunang di Kota Malang tinggal tersisa di Lemah Tanjung.
Ratna Indraswari Ibrahim, sastrawan nasional dari Malang, menuliskan cerita berdasarkan kisah nyata itu ke dalam novel Lemah Tanjung.
Warga Kota Malang mengenal Lemah Tanjung atau Lambau—dari kata Belanda, landbouw, yang berarti pertanian—sebagai lahan bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP) seluas 28,5 hektare. Sejak tahun 2000 APP menjadi Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang yang sekarang berlokasi di Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.
Hutan Lemah Tanjung menjadi satu-satunya
paru-paru kota yang tersisa, sekaligus
menjadi buffer zone Kota Malang. Di dalamnya terdapat hutan heterogen, kebun kopi,
kakao, sawit, ladang jagung, hamparan sawah, pun lapangan rumput terbuka. Hidup pula sedikitnya
128 spesies tanaman, yang beberapa di antaranya belum teridentifikasi; menjadi tempat bernaung 36
spesies burung langka.
Dalam hitungan DPRD, dengan luas Kota Malang 110 kilometer persegi, sementara jumlah penduduk berkisar 800 ribu hingga sejuta jiwa, maka dibutuhkan oksigen sebanyak 1.103 ton per hari. Nah, untuk memenuhi kebutuhan oksigen sebanyak itu, idealnya dibutuhkan 40 persen ruang terbuka hijau (RTH) dari total luas kota. Sedangkan saat ini RTH yang tersisa cuma 28,9 persen.
Tahun 1994 terjadi ruislag (tukar guling) lahan kampus APP dengan PT Bangun Karsa Bentala, yang kini berubah menjadi PT Duta Perkasa Unggul Lestari. Perusahaan ini bernafsu menyulap Lemah Tanjung menjadi tambang fulus lewat penjualan rumah-rumah mewah ke pembeli berkantong tebal.
Namun, proses ruislag mendapat tentangan dari kalangan aktivis lingkungan, akademisi, dan masyarakat setempat, karena diduga kuat telah terjadi proses jual beli yang tidak transparan dan sarat kebusukan. Bangun Karsa memenangi tender dengan bandrol harga sekitar Rp 23 miliar. Padahal, tahun 1989, PT Gudang Garam pernah menawar Lemah Tanjung seharga Rp 56 miliar. Sialnya lagi, lahan pengganti Lemah Tanjung amat jauh dari kelayakan.
Begitupun, hingga kini rencana pembangunan perumahan itu belum sepenuhnya terwujud karena terganjal Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Dalam perda jelas dinyatakan bahwa lahan eks APP hanya diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau dan , pendidikan. Belakangan, pengembang ditengarai berkongkalikong dengan sejumlah anggota dewan untuk merevisi perda tersebut. Pemerintah Kota pun cenderung berpihak pada developer.
Toh, penentang lantang memprotes, buldoser milik pengembang garang bekerja. Beberapa bentrokan terjadi di antara mereka. Pemerintah Kota Malang pusing, polisi apa lagi. Sedangkan anggota legislatif yang setuju dan menolak revisi perda nyaris baku hantam. Memang tak ada anggota dewan yang menjadi petinju, tapi sejumlah aset ruang sidang dewan berantakan.
Diselesaikan dalam dua tahun, kini novel Lemah Tanjung diangkat menjadi cerita bersambung di Jawa Pos. Boleh dikata, Lemah Tanjung merupakan karya Ratna yang paling komplet. Pergulatan batin dan emosinya begitu kental, pergolakan cintanya amat kentara, kesadaran sejarahnya demikian kuat.
Pada Senin, 20 Januari 2003, malam yang baru diguyur hujan, Ratna berkata, “Sungguh, karena saya Arema (arek Malang), saya enggak rela Lemah Tanjung hilang. Saya sangat sedih. Makanya, liku-liku hidup, cinta, dan nafas perlawanan dalam novel Lemah Tanjung sedemikian kuat dan gampang terbaca. Saya melawan tidak secara fisik, tapi lewat sastra.”
Pembelaan total Ratna pada Lemah Tanjung dialirkan lewat
tokoh perempuan separo baya bernama Indri. Biarpun bertubuh mungil, Ibu Indri memiliki braveheart. Indri tak lain adalah Ir.
Hindrarsih Carnadi, pensiunan dosen APP, yang memang bersahabat karib dengan Ratna.
Sekalipun fiksi belaka, seperti tokoh Indri, tokoh lain dan setting cerita Lemah Tanjung benar-benar bukan fiktif. Mereka para aktivis, seniman, jurnalis, buruh, terutama mereka yang aktif di Forum Pelangi. Alhasil, membaca Lemah Tanjung tak ubahnya menyimak kehidupan sehari-hari orang-orang di sekeliling Ratna.
Ratna Indraswari Ibrahim, sastrawan nasional dari Malang, menuliskan cerita berdasarkan kisah nyata itu ke dalam novel Lemah Tanjung.
Warga Kota Malang mengenal Lemah Tanjung atau Lambau—dari kata Belanda, landbouw, yang berarti pertanian—sebagai lahan bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP) seluas 28,5 hektare. Sejak tahun 2000 APP menjadi Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang yang sekarang berlokasi di Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.
Lemah Tanjung kini berwujud perumahan Ijen Nirwana Residence milik Grup Bakrie. |
Dalam hitungan DPRD, dengan luas Kota Malang 110 kilometer persegi, sementara jumlah penduduk berkisar 800 ribu hingga sejuta jiwa, maka dibutuhkan oksigen sebanyak 1.103 ton per hari. Nah, untuk memenuhi kebutuhan oksigen sebanyak itu, idealnya dibutuhkan 40 persen ruang terbuka hijau (RTH) dari total luas kota. Sedangkan saat ini RTH yang tersisa cuma 28,9 persen.
Tahun 1994 terjadi ruislag (tukar guling) lahan kampus APP dengan PT Bangun Karsa Bentala, yang kini berubah menjadi PT Duta Perkasa Unggul Lestari. Perusahaan ini bernafsu menyulap Lemah Tanjung menjadi tambang fulus lewat penjualan rumah-rumah mewah ke pembeli berkantong tebal.
Namun, proses ruislag mendapat tentangan dari kalangan aktivis lingkungan, akademisi, dan masyarakat setempat, karena diduga kuat telah terjadi proses jual beli yang tidak transparan dan sarat kebusukan. Bangun Karsa memenangi tender dengan bandrol harga sekitar Rp 23 miliar. Padahal, tahun 1989, PT Gudang Garam pernah menawar Lemah Tanjung seharga Rp 56 miliar. Sialnya lagi, lahan pengganti Lemah Tanjung amat jauh dari kelayakan.
Begitupun, hingga kini rencana pembangunan perumahan itu belum sepenuhnya terwujud karena terganjal Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Dalam perda jelas dinyatakan bahwa lahan eks APP hanya diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau dan , pendidikan. Belakangan, pengembang ditengarai berkongkalikong dengan sejumlah anggota dewan untuk merevisi perda tersebut. Pemerintah Kota pun cenderung berpihak pada developer.
Toh, penentang lantang memprotes, buldoser milik pengembang garang bekerja. Beberapa bentrokan terjadi di antara mereka. Pemerintah Kota Malang pusing, polisi apa lagi. Sedangkan anggota legislatif yang setuju dan menolak revisi perda nyaris baku hantam. Memang tak ada anggota dewan yang menjadi petinju, tapi sejumlah aset ruang sidang dewan berantakan.
Diselesaikan dalam dua tahun, kini novel Lemah Tanjung diangkat menjadi cerita bersambung di Jawa Pos. Boleh dikata, Lemah Tanjung merupakan karya Ratna yang paling komplet. Pergulatan batin dan emosinya begitu kental, pergolakan cintanya amat kentara, kesadaran sejarahnya demikian kuat.
Pada Senin, 20 Januari 2003, malam yang baru diguyur hujan, Ratna berkata, “Sungguh, karena saya Arema (arek Malang), saya enggak rela Lemah Tanjung hilang. Saya sangat sedih. Makanya, liku-liku hidup, cinta, dan nafas perlawanan dalam novel Lemah Tanjung sedemikian kuat dan gampang terbaca. Saya melawan tidak secara fisik, tapi lewat sastra.”
Menentang alih fungsi lahan APP, September 2002. |
Sekalipun fiksi belaka, seperti tokoh Indri, tokoh lain dan setting cerita Lemah Tanjung benar-benar bukan fiktif. Mereka para aktivis, seniman, jurnalis, buruh, terutama mereka yang aktif di Forum Pelangi. Alhasil, membaca Lemah Tanjung tak ubahnya menyimak kehidupan sehari-hari orang-orang di sekeliling Ratna.
Bahkan, “Terus terang, saya menghadirkan diri saya sendiri
lewat tokoh bernama Mbak Syarifah, tapi bukan bermaksud menjadi
pahlawan, sama sekali bukan. Saya hanya mencatat agar orang tahu bahwa untuk kepentingan
investor apa pun bisa dikorbankan.”
Dua tahun sebelumnya, Ratna menggagas pembentukan Yayasan Payung, sebuah yayasan yang memfokuskan perhatian pada masalah-masalah kebudayaan. Yayasan ini masih giat menggarap sebuah film independen tentang kemandirian perempuan. “Kami belum mau mempublikasikannya, khawatir nanti malah tidak jadi-jadi,” dia tergelak, lalu menatap tiga ekor koi berenang riang di kolam di depannya.
Dua organisasi itu dia geluti di usia yang sudah tak lagi belia. Seraya memandang sinar lampu yang menerabas kelindapan pohon hijau di taman, Ratna mengaku masih berkecimpung di Yayasan Bakti Nurani, lembaga swadaya masyakat untuk menangani para penyandang cacat. Yayasan ini dia dirikan pada 1973.
Bersama Yayasan Bakti Ratna ingin menularkan sikap bahwa penyandang cacat harus menjadi subyek, bukan obyek. Ini pula yang membuatnya kurang berminat untuk diwawancarai pelbagai media massa yang pernah datang padanya. Dia amat mencemaskan munculnya tulisan yang mengiba-iba, didramatisir.
“Kalau tulisan seperti itu yang muncul,” kata Ratna dengan mimik serius,” bisa-bisa menjauhkan para penyandang cacat dari keinginan menjadi mandiri, keinginan menjadi subyek, melainkan malah menjadi obyek yang patut dikasihani terus-menerus.”
Menentang alih fungsi lahan APP, September 2002. |
Di situ dia berpose dengan dua orang kakak perempuannya, yang salah satunya sudah meninggal. Semasa itu dia berusia sekitar sepuluh tahun. Dia tampak sehat dalam bungkus baju putih model tahun enam puluhan. Rambut tergelung, badan kerempeng. Cuma, Ratna tak begitu ingat kapan dia menderita cacat.
Rumahku surgaku, kata Ratna. Lahir di Malang, 24 April 1949, anak kelima dari sepuluh bersaudara ini betapa membanggakan keluarganya. Lingkungan keluarga yang demokratis amat membantu pengembangan dirinya; tumbuh menjadi perempuan yang berwawasan, punya empati, dan pede, tidak seperti kebanyakan perempuan di kota besar yang mengalami gegar budaya.
Walaupun cacat, Ratna mengaku tidak pernah dimanja orang tuanya. Semua diperlakukan sama. Sang ibu, Hj. Siti Bidasari Ibrahim binti Arifin (meninggal tahun 2000 dalam usia 86 tahun), misalnya, dilukiskan Ratna sebagai wanita yang keras dan menjunjung tinggi kedisiplinan. Ada kisah saat Ratna menanyakan perihal perlakuan yang didapat dari si ibu—ayahnya seorang jaksa, H. Saleh Ibrahim, sudah meninggal lebih dulu.
Ratna merasa heran karena tak pernah mendapat “perlakuan istimewa” layaknya penyandang cacat. Dia bertanya, si ibu menjawab sekenanya, “Ngapain.” Belakangan Ratna tahu bahwa ibunya tak pernah menganggap dirinya cacat. “Mami dan keluarga besar saya sama sekali tidak mempersoalkan cacat fisik saya. Justru, saya sadari atau tidak, keluarga terus-menerus mendorong saya untuk maju, tampil seperti orang yang fisiknya normal. Ya, alhamdulillah...” Kali ini Ratna saya temui pada Selasa pagi, 21 Januari tahun yang sama, sembari menyeruput secangkir kopi dan hidangan ubi goreng.
Lingkungan keluarga yang demokratis membentuk banyak hal dalam diri Ratna. Ratna ingat betul betapa kedua orang tuanya membolehkan anak-anaknya menentukan pilihan, meski ada juga ketentuan tersendiri. Ratna drop out dari Fakultas Ilmu Alam Universitas Brawijaya dan memilih hidup sebagai seniman. Kedua orang tuanya tidak melarang. Mengenai ketentuan yang dimaksud, Ratna mencontohkan begini.
“Adik saya, Naniek (anak kedelapan), drop out dari ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Padahal orang tua kami tidak melarang. Jadi seniman boleh, jadi artis tidak boleh.”
Artinya, Ratna menyimpulkan, orang tuanya menanamkan prinsip pada pembedaan antara “seniman” dan “artis”. “Seniman” punya konotasi “kedalaman”, pengolahan budi lewat pergulatan batin dan intelektual secara intensif. Sedangkan pengertian “artis” lebih mendekati gebyar industri hiburan nan glamor.
Dari atas kursi roda, Ratna telah menemukan jalan hidupnya sendiri. Dia suka travel, sehingga dulu sering diledek adik-adiknya. “Wong gak iso mlaku wae tekan endi-endi.” Ini seloroh gaya Jawa Timur-an yang berarti “tak bisa jalan saja kok bisa ke mana-mana.” Ratna hanya tertawa diledek begitu.
Biar cacat, tapi Ratna begitu produktif menulis. Sedari kecil Ratna menyukai kegiatan tulis-menulis, khususnya cerita pendek. Ada 50-an puisi karya Ratna. Sedikit cerita bersambung. “Saya sudah menulis sekitar 300-an cerpen,” kata Ratna mengingat-ingat.
Ratna menyatakan akan tetap berkarya, sekalipun bagi orang lain barangkali akan tampak betapa repotnya. Untuk menuliskan cerita-ceritanya, Ratna harus dibantu orang lain. Urusan menulis ini pernah membuat Ratna sedih bukan kepalang. Rini Widiyanti, asisten Ratna yang jebolan SLTP, kini mengadu nasib di Hong Kong, setelah sebelumnya menjadi tenaga kerja wanita di Malaysia.
“Saya ini menganut sastra lisan, jadi butuh asisten yang tak cuma mampu mengetik, tapi juga mengerti saya. Kepergian Rini membuat saya sedih, merasa kehilangan. Saya sempat stres tak bisa menulis selama enam bulan. Padahal, padahal di kepala ini sudah penuh bahan cerita. Mencari asisten baru tak gampang. Sekarang ya teman-teman lain yang bantu,” Ratna mengisahkan.
Posisi Rini yang istimewa karena dia telah mendampingi Ratna selama 20 tahun. Bahkan Ratna berhasil menularkan kesastrawanannya kepada Rini. Jika mencarikan bacaan untuk Ratna ke toko buku, Rini bisa lancar menyebutkan judul-judul sastra. “Rini itu ayan sejak usia 14 tahun. Karena sudah bersama-sama selama 20 tahun, kami sudah saling paham masing-masing. Saya tidak semata menganggapnya sebagai asisten, tapi juga memberinya pengetahuan agar tumbuh empati. Dia suka sekali karya-karya Shakespeare (Inggris) dan Yukio Mishima (Jepang),” Ratna mengenang Rini.
Sudah 27 tahun Ratna menjadi sastrawan. Kebanyakan karyanya berupa cerita pendek. Sebagian besar sudah dibukukan ke dalam lima buku. Setelah Menjelang Pagi yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1994, kumpulan cerpen kedua, Namanya, Massa, diterbitkan oleh LKIS Yogyakarta (2001). Pada 2000 pula penerbit Jendela, Yogyakarta, menerbitkan Lakon di Kota Kecil. Buku keempat, Aminah di Suatu Hari, diterbitkan Galang, Yogyakarta, pada 2002. Bertepatan menjelang akhir 2002, penerbit Gramedia meluncurkan Sumi dan
Gambarnya.
Dengan kelima buku itu, Ratna merasa bersyukur dan beruntung. Alasannya, membukukan karya-karya sejak dahulu sudah menjadi idaman sastrawan. Memang, harap dimafhumi pula, membukukan hasil karya tidak berhubungan langsung dengan produktivitas. Ada hal-hal yang terkadang menjadi pertimbangan dasar mengapa seorang sastrawan “belum” mau menerbitkan karya-karyanya.
Cerita pendek karya Ratna pernah dimuat oleh hampir semua penerbitan di Indonesia. Lebih kurang 300 cerpennya pernah diterbitkan Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Tiara, Kartini, Nova, Masa Kini, Pikiran Rakyat, Surya, Sarinah, Aminah, dan masih banyak lagi. Beberapa penerbit ini sudah tutup. Cerpen Ratna pernah dimuat di sejumlah antologi cerpen, antara lain terbitan harian Kompas selama tiga tahun berturut-turut (1993-1996), terbitan harian Surabaya Post (1993), serta Yayasan Lontar, Jakarta (1996).
Banyak karya Ratna yang ditulis berdasarkan kisah nyata
seperti Lemah Tanjung.
Menentang alih fungsi lahan APP, September 2002. |
“Selain sebagai pengalaman individual, sastra juga merupakan hasil pengalaman sosial pengarang. Kalau sastra itu tidak mengekspresikan masyarakatnya, maka sastra itu merefleksikan masyarakat,” kata Abdul Hadi WM, doktor ilmu sastra, seperti dikutip Satyagraha Hoerip (almarhum) dalam prolog makalahnya untuk acara Temu Sastra 1982 di Jakarta.
Di mata Guru Besar Sastra Inggris, yang juga sastrawan dan mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya (dulu IKIP Surabaya), Budi Darma, empati menjadikan Ratna sebagai salah satu penulis cerita pendek yang baik. Budi mencontohkan Rambutnya Juminten, yang dimuat di Kompas, 18 Juli 1993.
“Sebagaimana halnya dalam cerpen-cerpen Ratna terdahulu, kita merasakan kelembutan perasaan Ratna. Dia pengarang berhati lembut, berhati peka. Lihatlah Rambutnya Juminten. Siapa lagi Juminten kalau bukan perempuan tradisional? Dalam dunia koteri, Juminten muncul menjadi perempuan yang patut dikagumi dan patut dikasihani. Dia hanyalah semata milik suami. Dan sebagai anggota masyarakat, dia hanyalah semata komponen. Dia dibentuk oleh kehendak-kehendak dari luar, bukan dari dirinya sendiri,” begitu tulis Budi Darma di Kompas, 4 Juli 1994.
Ratna mengatakan ide membuat Rambutnya Juminten setelah mendengarkan cerita seorang dokter muda yang pernah indekos di rumahnya. Cerpen ini berkisah tentang seorang wanita muda berambut indah panjang yang mengalami kecelakaan lalu lintas di Malang. Kulit kepalanya terkelupas, sehingga dia harus merelakan kehilangan rambutnya yang indah.
“Waktu itu saya belum tergerak. Proses kreatif saya, ya cerita-cerita yang saya dengar, walau mungkin pada saat itu tidak menggerakkan hati saya, tapi sudah menjadin embrio-embrio yang suatu saat bakal menjadi tema sentral. Pengalaman dari mendengar dan membaca itu penting, karena seperti saya bilang tadi, saya ini sastrawan lisan, yang tidak bisa mobile,” begitu Ratna mengaku.
Ratna dikenal sebagai penulis yang cerpen-cerpennya sarat dengan pesan pemberdayaan perempuan dan atau perempuan-perempuan yang bukan saja tetap survive tapi juga “tahan banting” menghadapi ketertindasan atas keperempuanan mereka sendiri.
Tapi sangat jarang pengarang perempuan Indonesia yang feminis. Sebagian besar karya mereka memang menjadikan perempuan sebagai tokoh sentral, namun ujung-ujungnya selalu menyerah pada harkat dan kodratnya sebagai perempuan. Cerita-cerita La Rose, Ike Supomo, termasuk karya-karya Ratna dan juga Sirikat Syah yang mengaku feminis, tidak ada yang benar-benar feminis, kecuali Nh Dini. “Wanita pengarang sekarang sikapnya masih rancu terhadap soal jender. Begitu pula sikap Ratna dalam cerita-ceritanya,” ini kata Budi Darma (Kompas, 12 Maret 2001).
Dalam pandangan kritikus sastra Dr. Djoko Sarjono, seluruh tokoh protagonis dalam cerpen Ratna adalah perempuan. Tokoh-tokohnya tak terbatas pada kaum marjinal, tapi wanita-wanita dari segala kelas. Bagi Djoko, tampak jelas Ratna seorang pembela kaum perempuan.
Hanya saja, kata Djoko, pengkarakteran dalam cerpen Ratna tidak tuntas. Sedangkan bagi Budi Darma, hampir pada setiap cerpennya Ratna melakukan gugatan-gugatan psikologis. Gugatan ini terutama diperuntukkan bagi diri sendiri. Dalam istilah sastra ini disebut solilokui.
Gugatan kaum perempuan pada Ratna, kata Budi, tidak semata-mata karena rasa ketertindasan. Memang ada tokoh yang menggugat perannya yang dianggap hanya sebagai perkakas suami, tapi dalam dirinya sendiri muncul karakteristik yang kompleks. Perempuan itu akhirnya hanya mengagumi dirinya sendiri.
Apa pun pendapat mereka, Ratna menyatakan terima kasih dan bersyukur karena karya-karyanya dinilai orang. “Saya merasa tidak sia-sia berkarya. Kalau tak ada yang menanggapi atau memberi kritik, misalnya, apakah masih artinya karya-karya saya itu,” ujar Ratna, yang saya temui lagi pada Kamis malam Jumat, 23 Januari 2003.
Ada beberapa penghargaan yang diterima Ratna. Misalnya, Ratna pernah menjadi juara pertama lomba puisi yang diadakan koran Bali Post pada 1983, dan pemenang harapan dalam lomba cerpen majalah Femina tahun 1991.
Nah, ada satu penghargaan “ngawur” yang diterima Ratna dan hingga kini bisa membuatnya terbahak setengah mati kalau mengingatnya. Pada Sabtu, 26 Juni 1996, Ratna mendapat piagam penghargaan yang ditandangani Menteri Negara Peranan Wanita Tutty Alawiyah AS dalam acara “Temu Tokoh Seribu Wajah Wanita Indonesia, tertanggal 21 April tahun yang sama. Dalam piagam tertera prestasi Ratna, yakni kepemimpinan dan manajemen peningkatan peran wanita.
Anehnya, piagam yang diterima lewat pos itu tidak dilengkapi surat pengantar sama sekali. Tak ada pula penjelasan mengenai alasan dan kriteria apa sehingga Ratna layak diberi penghargaan itu. Bahkan, acara penilaian pun tak pernah diberitahukan pada Ratna. Merasa tak berhak menerimanya, Ratna lalu mengembalikan piagam penghargaan itu lewat jasa pos ke kantor Bu Menteri di Jakarta.
“Sejujurnya saya merasa tak berhak menerimanya, bukan karena rendah diri. Saya yang cuma seorang pengarang, masak mendapat penghargaan seperti itu. Saya tak pernah berjasa melakukan tugas kepemimpinan dan manajemen seperti disebut dalam piagam. Kalau penghargaan untuk karya-karya saya, tentu saya mau terima,” kata Ratna. Dia tergelak.
Begitulah Ratna. Kini yang menggelisahkan dirinya adalah hebatnya budaya visual, yang telah “meracuni” masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, sehingga mengasingkan mereka dari sastra. “Budaya instan, budaya menonton, telah membuat mereka kehilangan imajinasi dan tak punya perspektif ke depan. Ini kesalahan kita bersama yang harus diperbaiki,” katanya merujuk pada sejumlah tontonan sinetron.
Namun, harapan mesti terus dipupuk. Dia merasa berterima kasih pada JK Rowling, pengarang Harry Potter. Menurutnya, kehadiran buku Harry Potter di Indonesia merangsang anak-anak Indonesia untuk kembali gemar membaca. “Sayangnya kita kekurangan pengarang semacam itu.”
Yang juga amat menakutkan dirinya adalah maraknya tayangan kekerasan di televisi. “Kadang saya merasa sudah seperti tidak berada di Indonesia lagi, tapi entah di negeri mana...” ujarnya lirih.
Kendati demikian, apa pun yang terjadi pada Indonesia dia bisa bersyukur dan cintanya pada negeri ini tidaklah getas. Ini sesuai dengan sikap dasar Ratna: mensyukuri apa adanya. Menulis hanyalah salah satu kegiatan, tapi berbuat nyata untuk orang lain adalah “tugas besar” yang terus ingin dia tunaikan, sekalipun dari atas kursi roda. Dan selagi dia mampu. ABDI PURMONO
CATATAN:
Tulisan di atas merupakan naskah asli yang saya kirim ke redaksi Tempo pada 24 Januari 2003. Tentu saja naskah itu dipangkas oleh redaktur agar lebih ringkas dan enak dibaca. Sayang sekali, saya tak punya salinan berita versi Koran Tempo. Untungnya saya menemukan artikel berjudul Ratna Indraswari Ibrahim, Penggembala Kunang-Kunang yang saya buat di:
(1) http://sastra-indonesia.com/2010/09/ratna-indraswari-ibrahim-penggembala-kunang-kunang/
(2) http://sastra-perlawanan.blogspot.co.id/2010/09/ratna-indraswari-ibrahim-penggembala.html
0 Komentar