EKO CAHYONO serius berdiskusi tentang kesehatan dengan sejumlah mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya di balai desa. Ia berdiskusi seusai
mengkoordinir kegiatan jalan sehat di kampungnya pada Minggu pagi, 4 November
2012.
“Maaf ya, Mas. Saya belum bisa tinggalkan acara ini karena saya sekarang ketua karang taruna yang harus mengkoordinirnya sampai selesai. Kalau tak keberatan, silakan Mas menunggu dulu,” kata lajang berusia 32 tahun itu. Baiklah, saya maklum. Eko terus berdiskusi, agar waktu tak terbuang percuma, saya berbincang dengan warga dan memotret.
Eko
menjadi Ketua Karang Taruna Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang,
Jawa Timur, sejak lima bulan silam. Organisasi kepemudaan ini dulu tiada. Eko
diminta jadi ketua oleh pemuda dan disetujui pemuka masyarakat setempat.
Berselang
hampir dua jam dan menjelang makan siang, Eko balik ke Perpustakaan Anak Bangsa
(PAB), perpustakaan yang ia dirikan 14 tahun lalu. Perpustakaan ini beralamat
di Jalan Ahmad Yani, RT 24/RW 07, Dusun Karangrejo, Desa Sukopuro, sangat dekat
dengan rumah orangtuanya—berselang tiga rumah.
Ia
bercerita, selain mengurusi karang taruna, kini ia giat membantu Yayasan Kick
Andy mencari kaki palsu bagi kaum difabel. Ini pekerjaan sukarela. Seingatnya,
sepanjang 2012 sudah 40 kaki palsu diserahkan ke penderita difabel.
“Saya
hanya membantu. Rasanya senang sekali bisa melihat orang yang bertahun-tahun
tak bisa berjalan selama 30 tahun karena tak punya kaki kemudian bisa jalan
lagi dengan kaki palsu. Kepuasan ini enggak
bisa diukur dengan uang. Kepuasan yang sama saya rasakan ketika perpustakaan
saya ini sekarang ramai dikunjungi orang,” kata dia.
Eko
mengaku mendapat posisi sosial yang semakin baik berkat PAB. Pak Camat Jabung
pun sempat meminta Eko menjadi pegawai sukarelawan masyarakat. Salah satu tugasnya
adalah membantu warga mengurus dokumen jaminan kesehatan masyarakat. Tawaran
ini terpaksa ditolak lantaran ia sudah terlalu sibuk dengan kegiatan PAB dan
membantu kaum difabel.
Empat
belas tahun lalu Eko bukan siapa-siapa. Dulu ia hanya seorang pengangguran
dengan ide nyeleneh: membuat
perpustakaan di kampung. Pada 1998 Eko kena pemutusan hubungan kerja setelah
pabrik jaket kulit di Kota Malang tempatnya bekerja bangkrut. Padahal ia belum
lama bekerja setamat dari SMA Negeri 1 Tumpang di tahun yang sama. Alhasil, Eko
lebih banyak berdiam di rumah.
“Daripada bengong, saya membaca apa saja di
rumah. Membaca sudah jadi hobi saya sejak kecil. Saya lebih banyak membaca
koran, tabloid dan majalah dewasa bekas, seperti Popular dan Liberty. Satu
buku pun waktu itu saya tak punya," kata pria kelahiran Malang, 28 Maret 1980, ini.
Bahan
bacaan yang tuntas dibaca ditaruh di teras rumah. Rupanya banyak anak kampung tertarik
melihat-lihat. Karena yang melihat masih bocah, Eko terpaksa menyembunyikan
tabloid dan majalah dewasa. Bacaan untuk orang dewasa ini baru dikeluarkan jika
yang datang orang dewasa pula. “Saya tak mau dianggap mengajarkan pornografi ke
anak-anak meski sebenarnya tabloid dan majalah itu bukan bacaan pornografi
karena bisa bebas didapatkan di mana-mana. Saya hanya ingin menyesuaikan saja
dengan usia pembaca.”
Anak-anak
makin senang membaca, terlebih ketika Eko menyediakan beberapa permainan
seperti monopoli, dakon, halma, dan ular tangga. Tetangga kian banyak berdatangan.
Lama-lama koleksi bacaan Eko habis dibaca. Ia mencari siasat menambah koleksi
bacaan tanpa mengeluarkan duit alias gratis.
Ia
menulis surat pembaca di koran lokal dan membuat pengumuman yang ditempel di
majalah dinding perpustakaan kota. Ia juga berinteraksi dengan radio-radio
lokal. Semua usaha ini bertujuan untuk meminta kesediaan orang-orang yang punya
segala jenis bacaan berlebih dan tak terpakai agar sudi disumbangkan ke PAB.
Bahkan,
Eko pernah rutin nongkrong di depan
Toko Buku Gramedia di Jalan Basuki Rahmat, dekat alun-alun. Pengunjung yang
pulang dengan membawa banyak buku disapa dan diajak berkenalan. Lalu ia
sampaikan keinginannya menambah koleksi PAB. Lumayan bagus hasilnya. Banyak
orang yang menghubungi Eko.
“Semua
barang sumbangan saya ambil di alamat penyumbang. Saya sering membawa pulang
sekarung buku dari penyumbang. Koleksi buku makin banyak, pembaca di rumah pun
terus bertambah. Dalam dua bulan PAB sudah sangat berkembang,” kata dia sambil
menyalin judul-judul buku baru hasil sumbangan ke buku besar bergaris.
Namun,
apesnya, bila pembaca senang, orangtua Eko malah berang. Pasangan Supeno, 65
tahun, dan Ponisah, 60 tahun, jengkel karena rumah kian sesak dan sempit. Si
bungsu dari tiga anak mereka itu acap diomeli agar mandiri dengan mencari pekerjaan
lain yang lebih jelas dan pasti; bukan menjadi pengangguran di rumah.
Eko
merajuk. Tanpa sepengetahuan orangtua, Eko sibuk mencari rumah kontrakan
sederhana untuk PAB. Uang untuk mengontrak rumah didapat dari mana saja,
termasuk dari hasil berjualan sembilan bahan kebutuhan pokok di warung kecil di
pasar. Warung diurus kakaknya.
Namun,
karena bermacam penyebab, PAB berpindah lokasi beberapa kali. Total, seingat
Eko, ditambah dengan tempat yang sekarang, PAB sudah berpindah tempat kontrakan
sepuluh kali.
Tahun
2007 menjadi kenangan paling dramatis. PAB nyaris tutup. Ia kehabisan uang untuk memperpanjang kontrak dan
nyaris digusur oleh sang pemilik rumah. Eko nekat menjual ginjal dan sudah ada
calon pembelinya. Belakangan rencana jual ginjal batal setelah seorang warga
berbaik hati meminjamkan sebidang tanah dekat kebun singkong dan kuburan di
Jalan Brawijaya.
Urusan
lokasi beres, Eko pusing memikirkan biaya bangun gedung PAB. Solusinya? Eko
menjual sepeda motor kesayangan seharga Rp 6 juta dan uangnya dipakai membangun
gubuk bambu. Inilah bangunan PAB pertama yang murni dibuat Eko dengan bantuan
beberapa tukang. “Aduh, Mas, kalau ingat masa itu gimana ya....,” ucap dia. Kalimatnya putus, ia tampak terharu.
Gubuk
seluas 72 meter persegi itu tak mampu menampung seluruh koleksi PAB. Eko
kewalahan. Alhasil, banyak buku yang terpaksa dibiarkan bertumpuk di lantai
tanah beralas karpet lusuh. Seluruh koleksi juga terancam rusak di musim hujan
karena atap PAB hanya terbuat dari asbes murahan yang gampang bocor.
Kendati
kecil dan sempit, kegiatan PAB tetap meriah. Pengunjung rela bersesakan hingga
membaca di luar ruangan. PAB menjadi ajang kumpul anggota. Tua-muda membaur.
Mereka saling bertukar curahan hati dan berkreasi. Membaca, menulis,
menggambar, dan berdiskusi menjadi kegiatan yang lumrah di PAB.
Saking
banyaknya kaum muda ngumpul, PAB
sempat didatangi perangkat desa dan tokoh masyarakat yang mengira PAB tempat maksiat.
Belakangan mereka malah sangat mendukung keberadaan PAB setelah tahu banyak warga
jadi melek baca dan bahkan banyak anggota yang mendapat pasangan hidup. “Perpustakaan
saya malah dikira sudah jadi biro jodoh,” kali ini Eko tertawa.
Jumlah
anggota terus bertambah hingga lebih dari 7.500 orang, sekitar 2.500 orang di
antaranya pelajar. Selebihnya buruh pabrik, petani, ibu rumah tangga, guru, dan
mahasiswa. Jumlah koleksi bahan bacaan, teruma buku, bertambah hingga mendekati
25 ribu buah. PAB dapat sumbangan dua unit komputer tapi tak bisa dinyalakan
karena daya listrik sangat kecil.
Dan,
dari dulu hingga sekarang, semua kegiatan PAB diurus Eko. Ia ogah merekrut
asisten karena tak sanggup menggaji. Eko bekerja serabutan untuk menghidupi
PAB. Ia sering mendapat penghasilan dari kerja menjaga stand pameran di ajang book
fair. Beruntung, kadang-kadang ada teman atau tetangga yang mau membantu.
Keikhlasan
Eko berbuah manis. Publikasi tentang dirinya bersama PAB bermunculan hingga
akhirnya ia diundang tampil di acara talkshow
terkenal di Metro TV, Kick Andy, pada 2009. Yayasan Kick Andy membantu Rp 70
juta untuk pembangunan gedung PAB dengan syarat Eko harus mendapatkan tanahnya.
Eko
mujur. Bantuan uang dalam jumlah kecil ia dapat dari sejumlah dermawan. Bahkan,
Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan rela memberi Rp 47 juta untuk membeli tanah
seluas 400 meter persegi. Walhasil, singkat cerita, pembangunan gedung PAB
dikebut mulai Januari sampai Mei 2011 dan di bulan Juli diresmikan oleh Andy F.
Noya, host sekaligus pendiri Yayasan
Kick Andy, dan Ahmad Subhan.
Gedung
baru PAB berukuran 6 x 12 meter persegi dengan jendela-jendela tinggi dan lebar
sehingga cahaya matahari langsung menerangi ruangan. Listrik hanya di malam
hari atau jika cuaca sedang gelap karena mendung. PAB menghemat energi listrik.
Sejak
diresmikan, Eko masih menyalur listrik dari tetangga. Namun, di minggu pertama
November 2012, PAB sudah berlistrik dengan tarif sosial. Ceritanya, pada Minggu
siang, 4 November itu dan masih di hadapan Eko, saya menelepon Manajer
Perusahaan Listrik Negara Area Pelayanan Jaringan (PLN AP) Malang Agus
Kuswardoyo. Saya sampaikan bahwa PAB masih menyalur listrik dari tetangga dan
tolong dibantu agar Eko tak lagi menggunakan listrik ilegal.
Beruntung,
Agus yang saya kenal—walau belum lama—seorang pejabat PLN yang sangat rendah
hati dan penuh empati. Pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, pada 20 Juni
1970, ini memberi respon positif. Bukan malah menyalahkan, Agus malah memberi
salut buat Eko dan berjanji segera mendatangi PAB.
“Saya
tahu Mas Eko dari acara Kick Andy dan
berita media massa. PAB mengingatkan saya waktu tugas di Parepare (Sulawesi
Selatan), juga membuat TBM (taman bacaan masyarakat) dan membuat sekolah alam
untuk anak-anak. Saya hanya ingin membantu dan melayani masyarakat,” begitu
pesan pendek yang dikirim alumni Jusuran Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada tahun 1994 itu kepada saya. Sekolah alam yang dimaksud Agus bisa
dibaca di website pribadinya dengan
judul Sekolah Alam Elektrika.
Agus
menepati janji dan membuat Eko kaget. Ditelepon Minggu siang, eh Senin siangnya bekas pekerja teater
itu muncul di kampung Eko bersama seorang staf. Menurut Eko, di Indonesia masih
sangat sedikit pejabat bertipe seperti Agus, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, dan
Mahfud Md. Singkat cerita, sepulang Agus, listrik PLN pun menyala di PAB kurang
dari 36 jam tanpa proses administrasi berbelit yang sempat dikhawatirkan Eko.
PAB
berdinding bata berkelir cerah dan berhias aneka gambar. Hampir seluruh lantai
keramik putih ditutup karpet berwarna cerah pula. Di halaman ditanami
macam-macam tanaman obat, tanaman hias dan tanaman buah, plus sebuah kolam
ikan.
“Semua
tanaman itu ditanam anggota, termasuk nanas yang sudah matang itu. Walau ditanam
di atas tanah saya, tetap takkan saya petik karena nanas itu haknya yang
menanam. Kalau tak diambil juga, biarlah membusuk di sana. Sikap ini saya
lakukan agar jadi contoh kejujuran dengan tetap menghormati hak orang lain,”
ujar Eko sambil menunjuk deretan nanas di sisi kiri bangunan.
Cita-cita
mempunyai tanah dan gedung sendiri sudah tercapai. Kesulitan Eko sekarang bukan
lagi mengajak orang membaca tapi menyediakan buku-buku untuk dibaca. Jumlah
anggota PAB sudah melewati angka 8 ribu dengan koleksi sekitar 53.000. Masih
banyak buku dan majalah ditumpuk lantaran PAB masih kekurangan rak. Sedikitnya dibutuhkan
dua rak lagi.
Saat
ini Eko sangat ingin mendapatkan buku-buku karya Dahlan Iskan atau buku-buku
tentang Menteri BUMN itu yang dikarang penulis lain. PAB punya satu eksemplar
buku Sepatu Dahlan karya Khrisna
Pabichara yang kini ingin dibaca 84 anggota. Mereka terpaksa antre untuk
mendapat giliran pinjam.
Buku
tafsir al-Quran lengkap 30 juz berjudul Tafsir
Al-Mishbah karya Profesor Dr. M. Quraish Shihab sebanyak 15 volume pun
sangat diidamkan Eko.
Eko
berjanji, bila semua buku yang diinginkan itu didapat, semua anggota tetap
boleh meminjam dengan gratis. Gratis, inilah kelebihan PAB. Semua orang boleh
menjadi anggota PAB tanpa dipungut biaya sepeser pun dan tak perlu menunjukkan
kartu identitas. Eko hanya mencatat nama dan alamat anggota. Alamat yang
dicatat Eko tidak lengkap. Saya melihat sendiri, Eko mencatat nama anggota
cukup dengan menambahkan keterangan nama kecamatan saja!
Sudah
begitu, semua anggota boleh meminjam tanpa dikenai batas waktu pengembalian
berapa pun jumlah buku yang dipinjam. Sebagai contoh, Eko menunjukkan kartu
peminjaman berisi seorang nama anggota dari Kecamatan Kepanjen—kira-kira 35
kilometer dari Sukopuro—yang meminjam 19 buku sekaligus. Sebelumnya, sang
anggota meminjam delapan buku.
Eko
bilang, anggota yang berdomisili jauh di luar Jabung biasanya mengembalikan
buku tiap tiga bulan! Ada anggota yang mengembalikan buku setelah setengah
tahun dan ada yang setahun lebih belum mengembalikan buku yang dipinjam. Anggota
di luar Jabung memang diberi toleransi meminjam lebih banyak buku. Alasannya
sederhana. Menurut Eko, kasihan bila anggota yang datang dari tempat jauh hanya
dibolehkan pinjam dua buku.
“Dia
ke sini pasti karena ingin pinjam untuk dibaca. Saya berpikir positif atau
berbaik sangka saja,” jawab Eko ketika ditanya apa tak takut buku-bukunya
hilang.
PAB
memang dikelola tidak menurut kelaziman perpustakaan modern.
“Saya
cuma mencatat nama dan alamat saja. Saya
percaya semua yang datang ke sini orang baik dan jujur. Kalau ada yang tak
kembalikan buku, dia pasti takut ke sini lagi. Buku yang hilang itu saya
ikhlaskan saja. Lagi pula, saya berprinsip, buku itu belum hilang tapi masih
dipinjam tapi lupa dikembalikan. Intinya buku itu masih dibaca dan bermanfaat
bagi orang lain. Buku baru saya anggap hilang bila, misalnya, sudah terbakar,”
begitulah kata Eko. Nah, lho.
Eko
kelewat berani dan “lugu”. Bayangkan, anggota PAB sudah begitu banyak dan
tersebar hingga keluar Jabung. Anggota yang berdomisili dekat lokasi PAB atau
masih di sekitar Jabung dibatasi pinjam dua buku. Tapi, anehnya, anggota yang
bertempat tinggal jauh di kecamatan lain, seperti Kepanjen dan Gondanglegi, boleh
pinjam buku lebih dari dua eksemplar.
Ia
menegaskan lagi, “Orang mau ke perpustakaan untuk membaca. Kasihan kan jika ada anggota yang datang dari
jauh hanya untuk pinjam dua buku. Saya tak takut buku saya hilang karena,
seperti yang saya katakan tadi, semua orang yang ke sini saya anggap orang baik
dan jujur. Selama ini banyak yang mengembalikan buku kok. Saya hanya berpesan
bukunya diperlakukan baik-baik agar tak cepat rusak.”
Sebaliknya,
Eko senang bila banyak peminjam. Bagi dia, banyaknya peminjam menjadi bukti
bahwa orang-orang kampung punya minat baca yang tinggi tapi terkendala
fasilitas. Sedangkan perpustakaan pemerintah memberlakuan aturan administratif
yang bagi orang kampung sangat merepotkan.
Orang-orang
Sukopuro biasa mendatangi PAB pada malam hari, selepas salat Maghrib. Kadang,
bukan untuk membaca, tapi malah bermain futsal atau bulutangkis di dalam
ruangan PAB. Eko membiarkan saja. “Yang penting isi ruangan tidak rusak dan
saya hanya meminta mereka merapikan lagi ruangan PAB.”
Padahal,
Eko sudah pernah mengingatkan bahwa banyak buku bagus dan berharga mahal di PAB
sehingga warga kampung diminta untuk berhati-hati berolahraga di dalam ruangan
PAB. Ia jujur mengaku, kadang masih suka gregetan
bila orang-orang kampung suka beranggapan harga buku-buku di PAB murah sehingga
gampang dibeli Eko bila sudah rusak di tangan mereka.
Memang
banyak sekali buku bagus dan berharga mahal di PAB. Misalnya, Eko pernah
menerima 25 novel Laskar Pelangi dan
lima buku Sang Pemimpi langsung dari
sang pengarang, Andrea Hirata. PAB punya 25 novel The Davinci Code edisi khusus bergambar karya Dan Brown pemberian
Penerbit Serambi. Buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, berdampingan
dengan dua novel tebal Musashi dan Taiko karya novelis Jepang tersohor, Eiji
Yoshikawa. Dan masih banyak lagi.
Semua
koleksi PAB disusun berdasarkan katalog suka-sukanya buatan Eko, tak menurut
standar perpustakaan modern. Tiap rak diberi label menurut selera pribadi.
Contoh: “roman picisan” (buku remaja), “top banget” (buku-buku laris), “just imagination” (buku-buku fiksi),
“khusus kutu buku” (untuk buku-buku serius dan tebal), “wow memukau”, “the fantasy”, “movie holic” (buku dan majalah film), serta “unik dan langka”.
Label-label
unik itu justru disukai Ismawati, 16 tahun. Siswa SMK Multimedia, Tumpang, ini
mengistilahkannya sebagai “label gaul”. Dia hampir tiap hari ke PAB untuk
pinjam buku pelajaran atau membaca di tempat. Eko memang mewajibkan tiap
anggota PAB yang masih berstatus pelajar sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama untuk meminjam buku pelajaran.
“Saya
biasanya pinjam dua buku pelajaran. Buku pelajaran di sini lebih lengkap
daripada buku di perpustakaan sekolah. Kalau majalah remaja saya baca di tempat
saja,” kata dara yang tinggal di seberang PAB.
Komentar
senada disampaikan Setia Ayu, 13 tahun. Pelajar SMP Negeri 1 Tumpang ini juga
rajin meminjam buku pelajaran karena koleksi perpustakaan sekolah tak komplet.
Rata-rata dia meminjam tiga kali dalam sepekan. “Saya paling suka pinjam buku
pelajaran IPA. Kalau novel saya baca di tempat saja,” kata tetangga PAB
ini.
Kehadiran
PAB pun sangat disyukuri Lilik, 35 tahun, seorang jiran. Anak-anak di kampung
Sukopuro kini punya tempat bermain dan belajar yang tepat, juga para orangtua
dapat menghemat uang. “Dengan adanya PAB ini saya kan tak perlu beli buku lagi.
Anak saya pun bisa belajar dengan baik karena tak kesulitan cari buku
pelajaran. Jangankan murid, banyak lho
guru yang pinjam buku di PAB,” kata Lilik.
Sedangkan
Suliah, 50 tahun, ikut merasa bangga. Sukopuro makin terkenal berkat keberadaan
PAB. Dulu dia sempat menganggap Eko pemuda aneh yang pantas dikasihani. “Kasihan
karena aslinya Mas Eko dulu diusir orangtuanya dan tak diberi izin bikin
perpustakaan. Mas Eko sering curhat
ke saya. Tapi itu dulu. Sekarang orantuanya pun ikut bangga,” kata Suliah.
Ponisah,
ibu kandung Eko, terdiam saat ditanya sikap dan perlakuannya dulu terhadap Eko.
Dia mengaku menyesali kejadian 14 tahun lalu. Dulu, sebagai orangtua, dia
merasa wajar bila memarahi Eko yang masih menganggur; bukannya cari pekerjaan
yang jelas, tapi malah bikin rumah tambah sempit dan berantakan setelah diisi buku-buku
dan bahan bacaan lain.
“Kalau
ingat yang dulu-dulu, menyesal juga, Mas. Mungkin tindakan kami dulu salah,
tapi sekarang kami sudah berbaikan dan ikut senang dan bangga.” Saat mengatakan
ini mata Ponisah berkaca-kaca. “Saya terharu, Mas. Saya tak menyangka putra
saya itu makin terkenal dan tetap baik hati.”
Kebaikan
Eko menular ke desa-desa lain. Ia membuka pojok-pojok baca dan perpustakaan di desa
lain lebih dari 25 tempat. Pojok-pojok baca misalnya dibuka di salon, pangkalan
ojek, dan warung. Tiap minggu koleksi bacaan diganti. Ia pula yang ikut
membantu memasok buku-buku ke perpustakaan kampung di desa lain baik yang
berasal dari sumbangan atau kelebihan koleksi di PAB.
Sialnya,
kebaikan Eko pernah disalahgunakan orang lain. Eko bercerita, sebuah perusahaan
pernah menanyakan bantuan uang Rp 12 juta yang diberikan untuk PAB. Eko kaget
dan membantah pernah menerima bantuan uang sebanyak itu. Ia memastikan namanya
dicatut untuk mendapat bantuan.
Usut
punya usut, rupanya, pernah ada beberapa mahasiswa menawari diri kepada Eko
untuk membuat proposal permohonan bantuan agar PAB kian berkembang maju. Meski
bertujuan baik, Eko menolak tawaran itu. Namun, tanpa sepengetahuan dan seizin
Eko, mahasiswa bersangkutan tetap mengirimkan proposal ke beberapa pihak dan
salah satunya berbuah bantuan Rp 12 juta tadi.
Indikasi
pencatutan nama pribadi dan nama PAB juga muncul di dunia maya. Eko memastikan
diri sebagai orang yang gagap teknologi. Ia hanya memanfaatkan telepon selular
untuk menelepon dan berkirim pesan pendek alias SMS. Eko membantah punya akun jejaring
sosial seperti Facebook dan Twitter, apalagi punya website, baik atas nama pribadi maupun PAB.
“Tak
ada, Mas, tak ada. Kalau ada akun-akun begituan,
itu bukan milik saya. Saya ini gaptek.
Mungkin orang lain yang buat atau namanya saja yang mirip. Saya cuma punya satu
e-mail dan itu pun sangat jarang saya
buka,” Eko menegaskan.
Nah,
pembaca, ingat-ingatlah penegasan Eko Cahyono itu.
Jika
masih penasaran atau tak percaya, silakan hubungi langsung Eko Cahyono lewat
telepon atau datangi saja PAB. Bila ingin langsung ke PAB, sebaiknya Anda perlu
memperhatikan petunjuk jalannya.
Cukup
susah mencari lokasi PAB dari pusat kota kecamatan Jabung. Banyak orang
menggeleng saat ditanya di mana letak Desa Sukopuro. Beberapa orang malah salah
menunjukkan arah. Selain
itu, jalan desa beraspal dan berbatu-batu. Namun kesusahan ini justru menyehatkan
mata karena kita bisa menikmati panorama hijau berhawa sejuk disertai gemericik
air di sawah dan di kali.
Sebaliknya,
Sukopuro lebih gampang diakses dari perbatasan kecamatan Jabung dan Tumpang.
Dari arah Kota Malang, ikuti saja jalan raya penghubung pusat kota Malang dan
Tumpang, melewati simpang Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh dan Pasar Jabung.
Di Pasar Jabung jangan belok ke kiri seperti yang saya lakukan, tapi lurus terus
ke arah Tumpang. Nanti ketemu gapura bertuliskan “Selamat Datang di Kota
Tumpang”.
Nah,
sekitar 100 meter selepas gapura, terdapat rambu petunjuk arah di sebuah
simpang tiga. Ikutilah petunjuk bertulis “Coban Jahe” yang mengarah ke sebuah
jalan beraspal dari sisi kiri bahu jalan. Jangan langsung terus, kecuali Anda
penggemar jalan-jalan tanpa arah.
Selamat
mencari PAB jika memang ingin ke sana...
Catatan:
Artikel yang lebih pendek setelah diedit dimuat di rubrik Gaya Hidup Koran Tempo, Rabu, 7 November 2012, yang berjudul Eko Cahyono, Pengangguran Pahlawan Melek Baca.
Catatan:
Artikel yang lebih pendek setelah diedit dimuat di rubrik Gaya Hidup Koran Tempo, Rabu, 7 November 2012, yang berjudul Eko Cahyono, Pengangguran Pahlawan Melek Baca.
0 Komentar