Nomor dua dari kiri Djoko Saryono, Hariyono, dan Ki Djati Koesoemo.Foto: ABDI PURMONO |
Hampir semua karya Ratna berpusat pada karakter perempuan yang tegar dan kuat, bukan perempuan lemah, cengeng, dan suka berpasrah diri.
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada September 2012, novel 1998 baru di-launching oleh Rumah Budaya Ratna di Gedung Dewan Kesenian Malang (DKM) pada Minggu malam, 4 November 2012.
Acara
peluncuran sekaligus bedah novel setebal 332 halaman itu dihadiri banyak seniman, jurnalis,
akademisi, aktivis mahasiswa, dan aktivis buruh. Dari empat pembahas, hanya
Usman Hamid, aktivis hak asasi manusia dari Imparsial, yang batal hadir. Djoko
Saryono (Guru Besar Bidang Pembelajaran Bahasa Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang) membahas dari aspek kesusastraan, Hariyono (Guru
Besar Bidang Ilmu Sejarah Politik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Malang) membedah dari sisi sejarah, dan sisi kebudayaan diulas oleh Ki Djati
Koesoemo. Acara berlangsung hingga pukul 22.30 WIB.
Baca juga: Rumah Budaya Ratna Dideklarasikan
Acara
didahului penampilan Dodok E Rock, Arbanat String Ensemble, Charles Djalu
Syndicate, JKJT, dan Malang Dance Company yang menarikan topeng Malang.
Menurut
Iman Suwongso, koordinator Rumah Budaya Ratna, novel 1998 dikerjakan Ratna sejak 2002 dan ditamatkan pada Juli 2010.
Sempat lama di tangan penerbit nyaris tanpa kejelasan, akhirnya diterbitkan
juga. “Novelnya sempat ditawarkan ke beberapa penerbit ketika penerbit yang pertama
ditawari sangat lama memberi kepastian,” kata Iman.
Semasa
hidup, kata Iman, Ratna sempat mengatakan bahwa novel 1998 didedikasikan untuk rekan-rekan mahasiswa yang berjuang
menegakkan Orde Reformasi pada 1998, yang ditandai dengan makzulnya Presiden Soeharto.
“Tanpa mereka mungkin kita tidak seperti sekarang. Tidak dapat menikmati
teknologi dengan kebebasan informasi seperti hari ini. Meski saya tahu masa
lalu itu jauh, namun kita bisa belajar dari sana,” kata Ratna, ditirukan Iman.
Baca juga: Cerpenis Ratna Indraswari Ibrahim Tutup Usia
Ketiga
pembahas sependapat bahwa novel 1998
dan seluruh karya Ratna tak bisa disebut sebagai fiksi belaka walau dirupakan
sebagai fiksi. Sebab, karya-karya Ratna merupakan pengisahan banyak fakta
diperoleh dari observasi-observasi langsung. Dan, menariknya, kegiatan
observasi itu dilakukan Ratna dalam kondisi cacat fisik. Mayoritas karakter
yang ditulis perempuan kelahiran Malang, 24 April 1949, itu mewakili perjalanan
kondisi sosial masyarakat.
Bagi
Djoko Saryono, novel 1998 berposisi istimewa
karena mengangkat tema yang hingga sekarang enggan disentuh sastrawan. Lewat 1998 Ratna merekam pergolakan sosial-politik saat Soeharto masih berkuasa
tanpa menyajikan perdebatan politik, pengumbaran jargon, wacana, atau narasi,
kecuali sekadar potongan ungkapan dan perenungan para tokoh.
Djoko
dan kawan-kawan Ratna mengistilahkan metode kerja Ratna sebagai sembarangan
menyaring berita untuk menyebut cara Ratna mengatasi problem keterbatasan
fisiknya. Menyaring berita dilakukan Ratna dengan mengajak tamu, penggemar, dan
teman-temannya berbincang-bincang. Nah, hasil obrolan ini yang direkam Ratna ke
dalam otaknya, lalu dituturkan untuk diketik oleh asistennya. Jadi, karya-karya
Ratna bisa dibilang bukan karya fiksi tulen berkadar seratus persen
“Karya-karya
Ratna pada dasarnya menyerupai sebuah potret dokumentatif, dengan banyak karakter
yang sebenarnya nyata. Banyak karakter dalam karya-karya disebutkan dengan nama
asli, nama samaran, atau nama plesetan,
dan sebagian karakternya itu masih hidup hingga sekarang,” kata Djoko, yang lama
meneliti Ratna.
Namun,
Djoko berpendapat, dari semua novel karya Ratna, Lemah Tanjung (2003) mewakili karakter kuat Ratna pribadi. Novel
ini dibuat berdasar kisah nyata dan didedikasikan untuk warga Kota Malang yang
berjuang menentang pembangunan perumahan mewah di atas lahan hutan kota bekas
Akademi Penyuluh Pertanian seluas 28 hektare—kini jadi Ijen Nirwan Residence
milik Grup Bakrie. Ratna terlibat langsung menentang pengalihan fungsi hutan
kota tersebut sehingga Lemah Tanjung
lebih mirip doku-drama dari bahan otentik.
Baca juga: Lemah Tanjung dan Sastra Perlawanan
Dua
pembahas lain juga menyatakan, membaca karya Ratna seolah sedang membaca
catatan harian seorang penulis sekaligus aktivis sosial-budaya dan lingkungan,
yang direkam dalam ingatan dan dituturkan ke asisten Ratna untuk diketik. Salah
seorang asisten setia Ratna adalah Titik Qomariyah. Titik pernah menjadi
wartawan.
Hariyono
menyebut Ratna sebagai penutur yang setia mengalirkan cerita lewat tokoh utama perempuan.
Hampir semua karya Ratna berpusat pada karakter perempuan yang tegar dan kuat,
bukan perempuan lemah, cengeng, dan suka berpasrah diri. Novel 1998 menarik pembacanya untuk tekun menyimak dunia khayali dan kekerasan
dunia nyata.
Adapun
Ki Djati Koesoemo menyatakan Ratna sesungguhnya telah menegaskan sikap
politiknya dalam novel 1998. “Dia berpolitik
dengan santun dan mulia,” ujar Djati.
Ratna
merekam episode perjuangan mahasiswa menentang rezim Soeharto melalui novel 1998 yang setebal 322 halaman itu,
dengan tokoh sentral sejoli Putri dan Neno. Putri disebutkan anak wali kota
Malang yang kuliah di Universitas Brawijaya. Putri yang semula cuek terhadap dinamika politik berbalik
getol terlibat setelah berpacaran dengan Neno, aktivis kampus.
Neno
mendadak hilang. Putri mencari, yang dicari tetap misterius. Setamat kuliah
Putri melanjutkan studi ke Amerika Serikat. Setelah kekuasaan Soeharto rontok,
Putri pulang ke Indonesia dan mengutuki kenyataan bahwa tak seorang sudi
bertanggung jawab atas penculikan mahasiswa. Dan Neno tak pernah
ditemukan.
Menurut
beberapa pegiat Rumah Budaya Ratna, Neno sejatinya adalah Herman Hendrawan,
mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga sekaligus
aktivis Partai Rakyat Demokratik, yang hilang pada 12 Maret 1998.
Novel
1998 bukan novel bertema cinta yang
mengharu-biru dan Ratna memang tidak mengajak pembaca untuk bersikap manja dan
cengeng menghadapi kenyataan paling getir sekalipun. Tragedi harus diterima
dengan sikap tegar dan kuat. Ini tercermin di banyak karya Ratna.
Seperti
halnya Neno, mayoritas tokoh dalam novel 1998 masih hidup. Beberapa tokoh menggunakan nama asli atau nama alias. Sebagai
contoh, dua karakter asli ini adalah seorang aktivis perempuan yang kini
menjadi jurnalis di sebuah media cetak nasional di Jakarta, serta seorang lagi kini aktif
di Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. ABDI PURMONO
0 Komentar