Warga Harjokuncaran berkumpul pada Rabu, 13 Juni 2012. Foto: ABDI PURMONO |
Lebih dari 30 tahun sengketa lahan antara warga Desa Harjokuncaran, Malang, dan TNI belum menemukan titik temu. Tiga dusun di desa itu sudah lenyap.
ASMUDIN merapikan kemeja safari abu-abunya. Sejurus kemudian, ia membenahi rambut dan berewoknya dengan tangan. Lalu ia membetulkan posisi pecinya yang miring. “Kalau sudah begini, tak kelihatan, ya, umur saya sudah 61 tahun,” katanya kepada Tempo. Dan, hap, dia melompat ke atas truk yang membawanya ke Kantor Pertanahan Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar 50 kilometer dari rumahnya.
Bersama sekitar 800 warga
Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Kamis, 19
Juli lalu itu Asmudin berdemo di Kantor Pertanahan. Ia menjadi orang ketiga
yang berpidato, menuntut Kantor Pertanahan segera menyelesaikan sengketa tanah
di desanya.
Sama dengan orator
sebelumnya, Asmudin menegaskan bahwa lahan 620 dari 666 hektare yang dikuasai
Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) Komando Daerah Militer V/Brawijaya
yang disewakan ke Perkebunan Telogorejo Baru itu milik leluhur mereka.
Setiap kali Asmudin
berteriak tanah itu milik mereka, rekan-rekannya menyambut dengan yel: “Betul,
betul.” Ada yang bertepuk tangan dengan bersemangat. “Saya orang Harjokuncaran
asli, sudah tua. Kami punya sungai-sungai yang namanya diambil dari nama
leluhur kami. Bukti tanah itu dulunya milik kami yang kemudian dirampas,”
katanya.
Enam perwakilan warga kemudian
diterima Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Malang, Didik Warsono. Dalam pertemuan
yang berlangsung sekitar 1 jam itu, Didik memastikan dia siap membantu warga. Hanya,
Didik menekankan, pihaknya tak bisa memutuskan lantaran masalah sengketa tanah
Harjokuncaran itu merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional Pusat di
Jakarta. Dia minta warga segera menyiapkan data tanah dan surat permohonan,
agar permintaan mereka bisa diurus.
Koordinator unjuk rasa,
Fathurozi, menerima saran Didik. “Kami akan kembali ke sini untuk memenuhi
saran mereka. Kami minta BPN tidak berpihak ke pihak yang kami lawan,” katanya.
Warga berdemonstrasi, Kamis, 19 Juli 2012. |
SENGKETA warga
Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga
sudah memakan korban berkali-kali. Terakhir terjadi pada 7 Juli lalu, saat tiga
peleton pasukan Batalion Zeni Tempur/Kepanjen Kodam Brawijaya mendatangi Desa
Harjokuncaran dan menghajar ratusan warga.
Beberapa hari sebelumnya,
warga yang tergabung dalam Paguyuban Kelompok Tani Desa Harjokuncaran memang
mematoki tanah 662 hektare yang selama ini dikuasai TNI dan menyegel Kantor
Pusat Koperasi Angkotan Darat Kodam V/Brawijaya. Kedatangan para prajurit untuk
mencabut patok tersebut. Warga melawan dengan batu dan kayu. Akibat bentrokan
itu, delapan warga dan sejumlah prajurit terluka.
Setelah bentrokan,
penduduk mengunci rumah rapat-rapat. Kabar akan ada sweeping yang
menangkap warga yang terlibat bentrok merebak ke mana-mana. Beberapa hari
kemudian Komandan Resor Militer 083/Baladhika Jaya, Kolonel Muhammad Nakir,
mengadakan pertemuan dengan sejumlah perwakilan warga di sebuah restoran. Kepada
tamunya, Nakir menjamin bakal menarik pasukan TNI dari sana. “Saya di sini
bertugas mengamankan aset TNI. Jadi saya harap pengerahan massa seperti kemarin
tidak terjadi lagi,” kata Nakir.
Lahan yang menjadi
sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda.
Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas
sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan masuk wilayah
Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi
desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan
seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat
Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu
sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni
1973, yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara
Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti
rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut.
Warga menolak klaim
tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum. Menurut Fathurozi,
warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah
sengketa itu obyek land reform dengan verponding (tanda hak milik
zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa
ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
Sejak itulah konflik TNI
versus warga meletup berkali-kali. Menurut, salah seorang sesepuh Desa
Harjokuncaran, Rustinah, pada 1970 warga yang melawan langsung dicap PKI. “Jadi,
banyak yang memilih diam,” ujar pria yang umurnya hampir 100 tahun ini kepada Tempo. “Saya ingat, pada 1970-an, kami disuruh
mengumpulkan surat tanah leter E untuk diganti sertifikat. Kami ditipu,
ternyata kampung kami jadi perkebunan,” ujarnya.
Sepanjang 1973-1979, tentara juga menggusur tiga dusun di desa itu, Banaran, Wonosari, dan Margomulyo. Warga kocar-kacir dan sebagina hijrah ke Mulyosari. Bentrokan itu juga berbuntut lenyapnya enam penduduk desa, termasuk Kepala Dusun Margomulyo, Sutikno. Penduduk yakin, mereka—hingga kini belum ditemukan—dilenyapkan karena menolak tanah mereka diambil. "Isu yang beredar, mereka hilang setelah di-glangsi (dimasukkan karung) lalu dibuang ke jurang yang memang banyak di sini," kata Kepala Dusun Mulyosari Edy Zamroni.
Lembaga Bantuan Hukum dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah masuk ke Harjokuncaran, mencoba menyelesaikan konflik yang berlarut-larut itu. Menurut anggota Komnas HAM Ridha Saleh, lembaganya sudah menyurati Panglima Daerah Militer Brawijaya, meminta penjelasan status tanah sengketa itu sekaligus meminta tidak ada kekerasan aparat di sana.
Sepanjang 1973-1979, tentara juga menggusur tiga dusun di desa itu, Banaran, Wonosari, dan Margomulyo. Warga kocar-kacir dan sebagina hijrah ke Mulyosari. Bentrokan itu juga berbuntut lenyapnya enam penduduk desa, termasuk Kepala Dusun Margomulyo, Sutikno. Penduduk yakin, mereka—hingga kini belum ditemukan—dilenyapkan karena menolak tanah mereka diambil. "Isu yang beredar, mereka hilang setelah di-glangsi (dimasukkan karung) lalu dibuang ke jurang yang memang banyak di sini," kata Kepala Dusun Mulyosari Edy Zamroni.
Lembaga Bantuan Hukum dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah masuk ke Harjokuncaran, mencoba menyelesaikan konflik yang berlarut-larut itu. Menurut anggota Komnas HAM Ridha Saleh, lembaganya sudah menyurati Panglima Daerah Militer Brawijaya, meminta penjelasan status tanah sengketa itu sekaligus meminta tidak ada kekerasan aparat di sana.
Karena
itu, Ridha mengaku sangat kecewa saat mendengar terjadi penyerbuan yang dilakukan
pasukan Zeni terhadap warga pada Juli lalu tersebut. “Kami kecewa, rekomendasi
yang kami berikan tidak dihargai,” katanya. ABDI PURMONO (MALANG), FATKHURROHMAN
TAUFIQ (SURABAYA)
0 Komentar