Majalah
TEMPO Edisi 6-12 Agustus 2012
Bengkel Embing dikunjungi Bupati Malang Rendra Kresna. Foto-foto: ABDI PURMONO |
Pembangkit Listrik
Tenaga Hampa buatan Embing dituding cuma tipu-tipu. Pembuatnya gagal
membuktikan sebaliknya.
TIDAK tampak kehidupan di
bengkel dinamo Slamet Haryanto di Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Malang, Jawa
Timur. Puntung rokok kretek terserak di segala sudut, sementara kabel terurai
di sana-sini. Padahal, dua pekan lalu, bilik bambu berukuran 18 meter persegi
itu menjadi pusat perhatian.
Bupati Malang Rendra
Kresna, Manajer PLN Malang Agus Kuswardoyo, dan belasan anak buah Rendra bertandang
ke bengkel Slamet pada Selasa, 24 Juli lalu. Tujuannya satu, melihat mesin
ajaib yang disebut-sebut bisa menghasilkan listrik tanpa bahan bakar. Majalah Tempo
edisi 23-29 Juli (baca: Dari Hampa Setrum Menyala) juga menuliskan penemuan
generator yang diberi nama Pembangkit Listrik Tenaga Hampa (PLTH) itu.
“Dalam demo kepada kami,
lampunya menyala sebentar, lalu mati,” kata Agus kepada Tempo kepan
lalu. Bohlam merkuri yang butuh daya 500 watt pada tegangan 160-240 volt itu
menyala tak sampai satu menit. “Pembuatnya tidak mau menyalakan berlama-lama
karena alatnya masih basah, takut nyetrum.”
Toh, Bupati Rendra
terpukau. Ia langsung memesan generator itu untuk dipakai di wilayah Malang
yang belum teraliri setrum. Slamet, 51 tahun, yang cuma lulus sekolah dasar,
juga langsung mendapat pujian di sana-sini, tapi cuma tiga hari.
Bintang Slamet diredupkan
seorang konsumen PLTH, Braid S. Putra. Warga Lowokwaru, Malang, itu menuding
generator Slamet cuma tipu-tipu, walau belakangan Braid melunakkan tuduhannya. Di
mailing list alumnus Institut Teknologi Bandung, Braid mengatakan
generator Slamet tidak berfungsi sesuai dengan klaimnya. Listrik yang
dihasilkan saat demo produk, tulis Braid, diduga dipasok dari kabel PLN yang
disembunyikan di bawah tanah. Segera saja pembeli PLTH yang sudah membayar di
muka bergerak mencari Slamet. Namun dia seakan-akan raib.
Sejak Jumat, 27 Juli lalu,
Embing—panggilan Slamet—tidak lagi menempati bengkel sekaligus rumah itu. “Tidak
pamit,” ujar perempuan pemilik rumah kontrakan yang menolak disebutkan namanya.
Lewat telepon—yang jarang tersambung—Slamet mengaku sedang berada di Surabaya
untuk menghadiri pemakaman orang tua angkatnya, sekalian membeli komponen
pembangkit listrik.
Rupanya, Slamet tidak cuma
ke pemakaman. Ia juga tengah menyiapkan kepindahannya ke rumah baru. Selasa
pekan lalu, beberapa jam sebelum Slamet memindahkan alat ajaibnya, Tempo
sempat melihat alat itu sekali lagi. Sebagian komponen yang semula berada dalam
rangkaian besi berukuran 60 x 70 x 90 sentimeter sudah dibongkar. Sebuah kapasitor
besar yang biasa dipakai untuk menstabilkan arus sudah dilepas. Terlihat pula
inverter untuk mengubah arus searah (DC) menjadi arus bolak-balik (AC) seperti
setrum PLN. Meski samar-samar, alat itu kini terlihat lebih mirip uninterruptible
power supply (UPS) alias sumber listrik cadangan ketimbang sebagai
generator.
“Mirip UPS ya, Pak Embing,”
kata Tempo.
“Apa itu UPS,” ujar
Slamet. Ia jelas pura-pura tidak tahu. Di awal wawancara, ia beberapa kali
menyebutkan kata UPS.
Embing juga memberi
keterangan yang mengejutkan soal panel kaca pada alat itu. Dalam kunjungan
pertama Tempo, kaca bagian atas kotak itu disebutkan sebagai panel
surya. Lhakadalah, ternyata itu cuma kaca biasa yang disemprot cat dan
ditempeli selotip sehingga mirip panel surya. Rupanya, Slamet terinspirasi
panel surya yang pernah ia pinjam diam-diam dari Kepala Desa Ngroto, Mustofa
Ahmad Mufti, pada 2008. “Dicat supaya tidak kelihatan isinya,” kata dia.
Kata itu menutupi panel
rahasia yang dipasang bertingkat. Seluruhnya ada lima panel. Menurut Slamet,
panel tersebut berisi campuran arang batok kelapa, pasir besi, magnet,
kumparan, dan seratus elemen elektronik rahasia. “Panel ini yang menghasilkan
listrik,” ujarnya.
Tentu saja itu pun masih
sekadar klaim. Menurut Agus, ia masih sangsi akan kemampuan panel itu dalam
menghasilkan listrik tanpa henti. “Hukum kekekalan energi juga tidak
memungkinkan energi diciptakan begitu saja, karena energi hanya berubah bentuk,”
kata sarjana teknik elektro Universitas Gadjah Mada ini.
Agus kian sangsi akan kemampuan
alat itu karena Slamet menolak memenuhi permintaan pihaknya, walau ia sanggup
membayar di muka. “Slamet juga tak bisa menjanjikan waktu penyelesaian pesanan.”
Embing mengakui itu.
Alasannya, “Tidak cukup tenaga dan masih ruwet.”
Pengusaha asal Kabupaten
Pasuruan, Luqman al-Hakim, yang pernah membeli pembangkit 2.000 watt bikinan
Slamet, juga kecewa. Percobaan pertama menunjukkan alat ini bisa menyalakan
lampu lima watt selama satu menit. Setengah jam berikutnya, lampu menyala
kedap-kedip sampai akhirnya padam karena kehilangan arus.
Luqman memeriksa panel
biru. Jarum pada voltmeter yang ia pakai tak bergerak ketika ditempelkan pad
kutub panel. Setelah dibongkar, diketahui panel itu berisi serbuk arang batok
kelapa dan pasir besi. Aki motor 12 volt dan inverter pengubah tegangan DC ke
AC yang dibungkus dengan lapisan semen juga ditemukan.
Ketika dimintai
konfirmasi, Slamet membantah temuan tersebut. Menurut dia, panel seharusnya
menghasilkan listrik. Namun ia enggan menjelaskan alasan tidak munculnya arus
listrik dari panel.
Panel |
Sejatinya, konsumen juga
tak bisa memesan langsung kepada Slamet. Untuk urusan pemasaran, ada Teddy
Hendrawan, wartawan tabloid Amunisi dan pengusaha dari Desa Pandesari,
Kecamatan Ngantang, Malang. Keduanya bekerja sama sejak akhir 2010. “Ada
kesepakatan tidak tertulis bahwa semua penjualan harus lewat satu pintu,” ujar
Slamet.
Teddy mengatakan memang
menjadi pemasar produk Embing. Ia sudah mendapat beberapa rekanan. Pada Februari
lalu, misalnya, dia mengikat kerja sama dengan Edi Prayitno, mantan ketua Kamar
Dagang dan Industri Pasuruan. Ia juga
bekerja sama dengan Luqman al-Hakim untuk membuat seribu unit casing
dengan nilai di atas Rp 200 juta. “Tapi Teddy membuat kesepakatan tanpa setahu
Embing,” kata Luqman.
Gara-gara ulah Teddy itu,
Embing pernah dibikin repot Subhan, pembeli dari Gubeng, Surabaya. Subhan
menyetor Rp 3 juta kepada Teddy untuk dua unit PLTH. Teddy menjanjikan pesanan
kelar satu setengah bulan setelah pembayaran. Karena janji tidak dipenuhi,
Subhan menyambangi Slamet ke Malang. “Ternyata uang saya tidak sampai ke
Embing,” ujar Subhan.
Lalu Embing ingkar janji
kepada Braid. Braid pun menemui Slamet pada Juni lalu karena pesanannya tidak
kunjung jadi, padahal sudah lewat lima pekan dari janji. Tak cuma itu, ia
melakukan penyelidikan. Dia menyimpulkan Slamet adalah “tuti” alias tukang
tipu. “PLTH-nya saat itu tidak bisa bekerja dan kami minta uang kembali,”
katanya.
Teddy menolak tuduhan itu.
“Disebut penipu jika barang tidak ada,” ujarnya. “Kalau ada yang tidak hidup,
itu namanya cacat produksi.”
Teddy mengaku akan
mengganti penuh setiap generator yang gagal. Tapi bukan dengan generator yang
hidup, melainkan uang kembali, meski mencicil.
Slamet membenarkan alatnya
memang belum bekerja sempurna. “Tapi alat ini bisa bekerja,” ujarnya ketika
sedang membongkar atap seng bengkelnya. Sayangnya, dia menolak menyalakan
generatornya untuk Tempo dengan alasan generator itu baru dipindahkan ke
rumah baru. “Untuk mengangkatnya, butuh delapan orang,” katanya.
Namun dia juga menggeleng
saat diminta alamat pembeli PLTH sonder masalah. Kali ini alasannya adalah ia
terikat perjanjian dengan konsumennya, yang tak ingin pemakaian alat itu
diwartakan. Orang ini ruwet seperti kabel generatornya. REZA MAULANA, ANTON WILLIAM (JAKARTA), ABDI PURMONO (MALANG)
0 Komentar