Foto dan Naskah: ABDI PURMONO |
FUJIEDA — Saya sudah berniat menyaksikan anak-anak muda Jepang berpesta yakiniku atau barbeku di Sungai Seto (Setogawa) di Kota Fujieda, Prefektur Shizuoka, Jepang bagian tengah. Sepeda dan kamera sudah saya siapkan.
Sungai menjadi ruang publik terbuka yang sangat disuka orang-orang Jepang (Nihon-jin) selama musim semi (haru) dan musim panas (natsu). Banyak sekali tepi sungai yang lapang disulap jadi taman (koen) terbuka yang cantik dan tempat warga berolahraga. Tepian sungai rutin dirawat sehingga tampak rapi dan bersih. Ditambah air nan bening, sungai pun menjadi tempat favorit bermain, berolahraga, berekreasi, dan berpesta di akhir pekan.
Tapi, niat itu mendadak saya batalkan gara-gara Kazuko Nanjo
mengundang ke acara memikat dan belum pernah saya alami. Perempuan berumur
60 tahun itu mengajak mengikuti pesta kecil nagashi soumen di
halaman rumahnya di Horinouchi, sebuah desa yang dikelilingi perbukitan di
Fujieda. Nanjo-san juga mengajak sejumlah bocah agar kedua cucu
perempuannya punya teman bermain. Keiji Nanjo, sang suami, turut terlibat.
“Ini yang keenam kali kami buat acara nagashi
soumen. Biasanya bersama keluarga saja, tapi kali ini sengaja mengundang
tetangga agar kita semua, khususnya anak-anak, menjadi lebih akrab,” kata Keiji
Nanjo pada Senin siang, 20 Agustus 2012.
Acara berlangsung sederhana tapi menyenangkan. Tuan rumah
menyediakan semua kebutuhan. Anak-anak sangat bersemangat “menangkap” mie yang
mengalir terbawa air dengan hashi (sumpit).
Mie dimasukkan ke cangkir plastik dan cangkir bambu berisi kuah (tsuyu)
dari kaldu (dashi) ikan cakalang (katsuobushi).
Keberadaan dashi teramat penting dalam khasanah kuliner
Jepang. Hampir semua masakan Jepang mengandung dashi. Bahan dasar untuk dashi
bisa berbeda di tiap daerah, tapi yang populer berbahan dasar dari ikan cakalang
dan rumput laut atau kombu. Warga Osaka, misalnya, sangat menyukai dashi
dari sababushi atau ikan makarel. Ikan makarel biasa diolah menjadi
sarden.
Selain terkenal dengan Gunung Fuji serta teh hijau (ocha)
dan jeruk (mikan), Prefektur Shizuoka juga terkenal sebagai salah satu
daerah utama penghasil ikan cakalang sehingga wajar bila hampir semua kaldu
berbahan dasar ikan tuna atau cakalang.
Ikan teri (niboshi) dan jamur shiitake juga
merupakan bahan dasar dashi yang cukup populer. Bergantung pada jenis
masakannya, dashi bisa ditambah dengan shoyu, mirin, dan cuka.
“Kalau untuk nagashi soumen ini pakai dashi ikan tuna,” kata Mako
Sugegaya, tetangga Nanjo-san.
Di atas meja terhidang irisan bongkot
atau kantan, rajangan kemangi jepang (shiso), dan jahe yang dihaluskan,
ditambah rebusan ubi jalar ungu (beni imo) dan kentang. Sebotol besar
minuman ocha dingin dan air mineral juga disuguhkan. Teh berasal dari
kebun teh milik keluarga Anjo-san. Semua suguhan di meja tergantung
selera.
Namun, prinsip dasar dan cara menikmati nagashi soumen tak
berbeda-beda amat. Nagashi soumen merupakan kegiatan yang biasa
dilakukan di musim panas. Secara harfiah, nagashi berarti “terbang”.
Sedangkan soumen (agar gampang
diucapkan kita lafalkan saja jadi “somen”) adalah salah satu jenis mie yang
populer dinikmati di musim panas. Somen biasanya dibuat dari tepung
terigu. Ada juga yang dibuat dari gandum dan sayuran. Apa pun bahannya, somen bertekstur
sangat lembut dan lazimnya dimakan dalam keadaan dingin. Makan somen dingin
dipercaya berguna mendinginkan atau menenangkan perasaan di saat panas sedang
menyengat tapi lembab.
Biasanya, di desa-desa, somen dialirkan bersama air bersih—bisa
langsung diminum—lewat batang bambu yang dibelah dan disambung dengan posisi lurus
melandai agar somen gampang dialirkan. Sekat-sekat di bagian dalam bambu sudah
dibersihkan. Di ujung bambu diletakkan wadah saringan bambu untuk menampung
somen yang lolos dari jepitan sumpit.
Seturut perkembangan zaman, peran bambu untuk nagashi soumen
banyak diganti dengan pipa plastik seukuran bambu yang bisa dibongkar pasang
dan biasanya disusun berkelok. Cangkir atau gelasnya pun diganti dengan cawan
biasa. Wadah saringan bisa diganti dengan baskom berbahan keramik atau plastik.
Tapi, apa pun medianya, somen tetap saja “ditangkap” dengan
sumpit (hashi) dan lalu dimasukkan atau dicelupkan ke dalam cangkir atau
gelas berisi kuah. Boleh juga dimakan langsung. Dan, seperti kebiasaan orang
Jepang makan mie, terdengar suara slurrrp saat somen diseruput ke dalam
mulut. Acara makan somen boleh diselingi dengan menikmati menu lain sesuai
selera masing-masing.
Menurut Nanjo-san, somen buatan sendiri jauh lebih
nikmat dan segar dibanding somen kering yang dijual di toko-toko. Masalahnya,
tak semua orang mampu membuat mie. Alhasil, somen kering jadi pilihan praktis. Somen
kering ditiris ke dalam air yang mendidih dan setelah matang dicuci dengan air
dingin—biasanya dengan menambahkan es batu.
Sejatinya, cara makan somen itu amat praktis tapi jadi tampak
“meriah” saat dirayakan ala nagashi soumen karena melibatkan banyak
orang dan orang-orang yang terlibat senang-senang saja. Untuk urusan
kreativitas, orang Jepang memang terkesan suka merepotkan diri atau “kurang
kerjaan”, tapi esensi sosial dari nagashi soumen adalah mengakrabkan
komunikasi dan hubungan personal.
CATATAN:
Artikel dengan judul yang sama dapat dibaca di:
https://travel.tempo.co/read/news/2012/09/03/204427182/merayakan-nagashi-soumen-di-musim-panas
https://travel.tempo.co/read/news/2012/09/03/204427182/merayakan-nagashi-soumen-di-musim-panas
0 Komentar