Bermula dari sebuah garasi, Galeri Malang Bernyanyi makin serius dikembangkan menjadi Museum Musik Indonesia pertama di Indonesia.DUA pria sibuk membersihkan ruangan Galeri Malang Bernyanyi atau GMB pada Rabu, 29 Agustus 2012.
Lalu mereka berbagi tugas.
Achmad Djauhari merapikan susunan ribuan kaset album lagu di rak papan. Fauzi
Faisol memeriksa kardus-kardus berisi ratusan piringan hitam, cakram padat (compact
disc), poster, buku, majalah, dan foto-foto artis.
Di hari yang sama Hengki Herwanto mengirim pesan pendek gembira dari Jakarta. Ketua Komunitas Pecinta Kajoetangan (Kapeka) ini memberitahu Ebiet G. Ade menyumbang sekeping album Masih Ada Waktu untuk GMB sesuai acara halalbihalal di kantor pusat PT Jasa Marga. Koleksi GMB pun bertambah menjadi 6.301 album.
“Hampir semua album di GMB berasal dari sumbangan. Tercatat ada 261 nama penyumbang yang terdiri dari masyarakat umum, musisi, dan institusi. Mayoritas album musik era 1970 dan 1980-an,” kata Hengki.
Sekitar 80 persen dari
seluruh koleksi album berupa kaset. Album dalam bentuk piringan hitam dan
cakram padat masing-masing sebanyak 5 persen. Sisanya campuran poster, buku,
majalah, dan foto-foto. Belum semua tertata rapi. Banyak koleksi kaset masih
utuh dalam tas-tas plastik. Sebagian malah menumpuk sehingga ruangan berukuran
sekitar 24 meter persegi itu terasa sesak.
Hengki mengaku GMB belum bisa
diurus optimal. Biasanya galeri baru buka jika ia sedang berada di Kota Malang
tiap akhir pekan, Sabtu-Minggu. Sebagai Direktur Utama PT Transmarga Jatim
Pasuruan, anak perusahaan PT Jasa Marga yang menangani pembangunan jalan tol
Gempol-Pasuruan, Hengki lebih banyak berada di Sidoarjo. Lima temannya sesama
pendiri Kapeka juga orang-orang sibuk.
Komunitas Pecinta
Kajoetangan dibentuk oleh pada 8 Agustus 2009 oleh Hengki bersama Pongki
Pamungkas, Agus Saksono, Lutfi Wibisono, Retno Mastuti, dan Rudi Widiastuti.
Tiga seniman musik asal Malang, yakni Donny-Prass, Sylvia Saartje, dan Sigit Hadinoto
juga tercatat sebagai pendiri. Kapeka beralamat di Jalan Bunga Gladiol 8,
Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru.
Penggunaan nama
Kajoetangan atau Kayutangan merujuk nama kawasan jalan protokol warisan Belanda
yang menjadi pusat keramaian di Malang era 1960-1970-an agar bisa kembali
menjadi ikon seperti Braga di Bandung, Malioboro di Yogyakarta, dan Tunjungan
di Surabaya. Jalan Kayutangan kini jadi Jalan Jenderal Basuki Rahmat.
Enam pendiri Komunitas Pecinta Kajoetangan. |
Pada tanggal yang sama, Kapeka
mendirikan GMB. Pendirian galeri dicanangkan oleh Wali Kota Malang Peni Suparto
di Hotel Kartika Graha. Sejak berdiri, kegiatan GMB dipusatkan di rumah kuno
milik orangtua Hengki di Jalan Citarum 17, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan
Blimbing, Kota Malang.
Di rumah ini perwakilan
majalah musik Aktuil pernah berkantor. Menempati bekas garasi berukuran
24 meter persegi, tak ada penanda apa pun untuk galeri kecuali sebidang halaman
yang asri oleh serbaneka tanaman hias dan pintu kayu besar bercat putih.
Melalui pendirian GMB para
pendiri Kapeka mempunyai visi ingin melestarikan sejarah musik Indonesia.
Kapeka mengusung misi mengumpulkan rekaman musik Indonesia dan barang-barang
lain yang terkait dengan musik yang berasal dari masyarakat. “Galeri bukan
milik pribadi tapi milik komunitas atau organisasi, juga milik masyarakat,”
kata
Di awal berdiri, GMB baru
memiliki sekitar 100 album. Jumlah koleksi cepat bertambah berkat jejaring
pertemanan. Profesi wartawan musik yang pernah digeluti Hengki sepanjang
1973-1980 juga membawa keberuntungan karena banyak seniman, khususnya musisi,
yang mau membantu. Hingga pertengahan Oktober 2010, GMB sudah mengumpulkan
sekitar 4 ribu rekaman dari sekitar 122 penyumbang. Dan kini jumlah koleksi
sudah 6.301 album dari 261 penyumbang.
“Semua nama penyumbang dan
album yang disumbang kami catat dengan diberi nomor urut. Nama dan nomor itu
kami taruh di rak-rak kayu biar bisa dibaca,” kata pria 55 tahun itu.
Para penyumbang berasal
dari hampir seluruh kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, Semarang,
Solo, Surabaya, Bogor, Cirebon, Ponorogo, dan Malang. Bahkan, GMB juga menerima
sumbangan dari Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, Belanda, Prancis, Rusia,
Kazakstan, Uzbekistan, dan Turki, sehingga GMB akhirnya “terpaksa” pula mengoleksi
album-album musik dari luar Indonesia. Grup musik dan musisi asing yang
tercatat antara lain Beatles, CCR, Deff Lepard, Fletwood Mac, Grand Funk,
Railroad, Jean Michel Jarre, Judas Priest, Kool & The Gang, Pink Floyd, dan
Ten Years After.
Galeri pun mengoleksi
semua aliran musik dan penyanyi. Musik dangdut dan campusari pun ada. Namun,
album pop dekade 1970-1980 paling banyak dikoleksi. Album rekaman paling tua
antara lain album rekaman Oslan Husein, Harry Nurdi, Elly Kasim, Alfian, dan
Titiek Puspa. Album-album dari era 1990 hingga 2000-an ada tapi tak banyak.
Untuk musik rock, misalnya,
GMB mengoleksi antara lain album God Bless (Jakarta), Giant Step (Bandung), The
Rollies (Bandung), serta SAS dan AKA (Surabaya).
“Kami memang tak membatasi
genre atau aliran musik dan era musiknya. Karena kami memang
bercita-cita menjadikan GMB tak hanya sebagai galeri musik pertama di
Indonesia, tapi juga museum musik pertama di negeri kita. GMB ini embrio menuju
ke sana,” kata dia.
Menurut Hengki, sampai
sekarang tak ada lembaga yang khusus mengurusi penyelamatan sejarah musik
Indonesia dengan cara mendokumentasikan album-album rekaman dalam rupa piringan
hitam, kaset, dan cakram padat. Ada sejumlah kolektor album, tapi biasanya
bersifat eksklusif untuk kepentingan pribadi kolektor. Sang kolektor hanya
mengoleksinya sesuai tema atau aliran musik yang ia suka.
Koleksi terus bertambah
tapi tak semuanya bisa diurus. Masalah tempat menjadi kendala utama yang
dialami GMB. Saat ini Kapeka sudah mendapat rumah kontrak yang sangat layak di
perumahan eksklusif Permata Jingga di Kecamatan Lowokwaru. Biaya kontrak tiga
tahun ditanggung sepenuhnya oleh enam pendiri.
“Ya, kami juga yang
menanggung biaya operasional sehari-hari. Banyak yang bantu dan rumah itu belum
kami tempati karena masih diberes-beresi dulu agar layak dijadikan galeri.”
Agar dikenal luas, Kapeka
rutin menggelar Festival Band Kajoetangan sejak 2010. Festival diikuti
band-band di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) dan
sekitarnya, seperti Pasuruan dan Surabaya.
Mayoritas band peserta
adalah band indie. Tercatat ada Be Bee, Blater, Caramel, Cupid, Dey, Doketo,
Dop, EMY, Fan, Flanela, Friends, Hectic, Kopi, Lima57, Mail Box, My Dear
Friend, Rhea, Sakala, The Day, Violet, dan Volcano.
Dari tiap festival Kapeka
membuat album kompilasi dari 10 band finalis. Di tahun ketiga festival album kompilasi
diberi judul “Malang Kembali Bernyanyi” dari band indie The Cigarette, Deja Vu,
Iphot, Ishoku Ichi, Lunar, Psychoetnic, Seven-Q, Betterman, The Rolling Doors,
dan Pirates.
Penggelaran festival band
itu ditujukan untuk mengembalikan kejayaan musik Malang. Di era 1970-an, Kota
Malang terkenal sebagai salah satu barometer musik Indonesia. Banyak musisi dan
penyanyi top Indonesia berasal dari kota seukuran Singapura itu: Ian Antono,
Abadi Soesman, Anto Baret, Sylvia Saartje, Totok Tewel, Inung Basuki, Kharisma
Alam, Laily Dimjathie, Mickey Melkerbach, Mira Soesman, Mira Tania, Syaharani,
Yuni Shara, dan Krisdayanti.
Cita-cita menjadikan GMB
sebagai museum musik pertama di Indonesia itu mendapat dukungan banyak pihak,
terutama dari kalangan musisi. Wartawan sekaligus pengamat musik Bens Leo
termasuk pendukung berat GMB. Musisi senior ternama Ian Antono bahkan bersedia
menjadi penasihat.
“Untuk sementara,” kata
Hengki, “baru Mas Ian saja jadi penasihat GMB. Kami minta Mas Ian jadi
penasihat bukan semata-mata karena ia arek Malang asli, tapi karena
kontribusinya terhadap dunia musik sangat luar biasa.”
Hengki mencatat Ian
sebagai musisi senior yang paling banyak berkolaborasi dengan musisi dan
penyanyi lain tanpa membedakan jenis musik dan usia. Saat masih bersama grup
Bentoel Band di kurun 1969-1974, Ian sudah menangani album-album penyanyi
seperti Emilia Contessa, Trio The Kings, dan Anna Manthovani.
Di luar God Bless, antara
lain, Ian pernah bekerja sama dengan Dolf Wemay, Franky Sahilatua, Grace Simon,
Gong 2000, Hetty Koes Endang, Berlian Hutauruk, Ikang Fawzi, Iwan Fals, Micky
Rainbow, Pretty Sisters, Titiek Hamzah, dan Nicky Astria.
Hasil kerja sama itu
berbuah banyak hits dan sekaligus meroketkan penyanyinya, seperti
vokalis Dara Puspita, Titiek Hamzah; Grace Simon, dan Nicky Astria dengan Jarum
Neraka. Bahkan, kesuksesan Ian meroketkan nama Nicky Astria berdampak baik
dengan munculnya sejumlah rocker perempuan seperti Cut Irna, Nike Ardilla, Mel
Shandy, Ita Purnamasari, Conny Dio, dan Inka Christie.
Ian mendukung betul GMB.
Setahu dia, belum ada orang atau lembaga di Indonesia yang sudi mengumpulkan
karya-karya musisi dan penyanyi lama, yang belum tentu sang musisi atau
penyanyi masih punya karyanya sendiri. Kehadiran GMB menjadi oase dari
kekosongan itu.
“Saya malah tak punya
beberapa album lama. Justru saya merasakan kehadiran GMB sangat tepat dan
membantu. Saya akan ajak teman-teman saya untuk bantu Kapeka mewujudkan museum
musik itu agar (GMB) tak hanya jadi galeri,” kata gitaris kawakan kelahiran
Malang, 29 Oktober 1950 itu.
Ian sangat ingin memiliki
album lawas Runtuhnya Keangkuhan (1980), hasil kerja sama dengan
Hutauruk Sisters. Girlband ini terdiri dari Tarida, Rugun, Bornok, dan
Berlian.
Hengki bilang album Runtuhnya
Keangkuhan ada di GMB, berupa kaset yang diproduksi Sky Record dan tercatat
di GMB dengan nomor registrasi K 0349. Album ini disumbangkan oleh Hengki
sendiri pada 22 Agustus 2009.
GMB butuh kerja keras
untuk menjadi museum musik. Ian berharap GMB merapikan dulu database koleksi
agar lebih mudah diakses bagi masyarakat yang membutuhkan. ABDI PURMONO
CATATAN:
Artikel serupa yang lebih pendek dimuat di halaman IV lembar sisipan Jawa Timur Majalah Tempo edisi 3-9 September 2012 dengan judul Museum Musik 'Kapeka'.
0 Komentar