Majalah
TEMPO Edisi 23-29 Juli 2012
Foto-foto: ABDI PURMONO |
Tukang servis dinamo di Malang menciptakan generator tanpa bahan bakar. Bisa menyala 24 jam sejak 2008.
BANGUNAN itu ibarat mercusuar. Sementara rumah lain di Desa Janti, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, gelap karena belum tersentuh listrik, griya keluarga Soeryo Priyanto terang-benderang. Lampu menyala siang-malam.
Setrum itu bersumber dari generator dengan dimensi 60 x 70 x 90 sentimeter dan berbobot 30 kilogram. soeryo, 35 tahun, membeli alat seharga Rp 8 juta itu pada Januari lalu. Sejak itu, dia tidak lagi menyambung kabel dari tetangganya yang memiliki generator diesel dan membayar Rp 50 ribu per bulan. Mesin anyarnya mampu menyalakan televisi, kulkas, dan selusin lampu dengan kapasitas maksimal 2.000 watt tanpa suara, tidak seperti generator tetangga yang bising. Dan—ini yang dahsyat—alat itu menyala 24 jam sonder bahan bakar.
“Saya tidak membayar apa
pun untuk listrik,” kata Soeryo kepada Tempo, pertengahan pekan lalu. Puas
akan pembelian pertama, dia kembali memesan alat serupa untuk pabrik sari
apelnya di Batu, Jawa Timur.
Pembangkit setrum tanpa
biaya itu berasal dari balik dinding bambu berukuran 18 meter persegi di Desa
Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Aura kerahasiaan
memenuhi bengkel servis dinamo tersebut. Slamet Haryanto, 51 tahun, memandang
penuh curiga tatkala Tempo melangkah masuk. Kewaspadaan langsung hilang
setelah ia mendapat penjelasan dari rekannya yang lebih dulu mengenal Tempo.
Pria lulusan sekolah dasar
ini mengatakawan gaweannya pantang diketahui banyak orang. “Takut dibilang jual
alat terlarang,” katanya. Beberapa bulan lalu, seorang yang mengaku utusan
sebuah pembangkit listrik tenaga uap meminta Slamet berhenti membuat generator
karena bisa membuat banyak usaha bangkrut. Saking ketakutannya, dia menolak
seorang anggota staf Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan untuk
menemui Pak Menteri saat berada di Malang, dua bulan lalu.
Sebatang rokok kretek
membantu menenangkannya. Pria yang belajar ilmu kelistrikan dari ayahnya ini—yang
juga tukang servis dinamo—mulai putar otak membuat pembangkit listrik pada
1997. Waktu itu temannya dari kampung sebelah minta dibuatkan pembangkit
listrik sebagai pengganti petromaks. Awalnya, dia ingin membuat kincir angin,
tapi batal karena sulit dan butuh biaya besar.
Melupakan permintaan
temannya, Slamet terlarut dalam obsesi menemukan pembangkit listrik ideal. Kutak-katik
terus berlanjut. Pada 2008, tercipta purwarupa pertama generatornya. Alat itu
bekerja memanfaatkan karbon padat yang diambil dari hasil pembakaran batok
kelapa, plus seratusan elemen dan kapasitor. Begitu banyaknya karbon yang
dibutuhkan, Slamet membeli karbon dari petani kelapa di Tulungagung. Karbon dipasang
di panel kaca. Satu panel membutuhkan sekitar 3 kilogram karbon.
Generator van Pujon ini
mengandalkan arus bolak-balik, dari panel-trafo-aki-mesin-pendorong-kapasitor. “Dari
kapasitor sebagian jadi daya listrik, sebagian kembali ke panel,” katanya.
Prototipe ini bertegangan 380 volt dan berkapasitas maksimal 13 kilowatt.
Kapasitor |
Ayah tiga anak ini lalu
mengembangkan tipe lain yang bertegangan 220 volt dan daya maksimal 6.000 watt,
yang cocok untuk listrik rumahan. Jenis ini memiliki dua panel kaca, yang
masing-masing berisi 3 kilogram karbon padat. Panel ini berfungsi menyimpan
daya listrik 1.500-2.000 watt per panel. Untuk tipe yang lebih besar, 380 volt,
maksimal 48 kilowatt dan biasa digunakan untuk industri, dibutuhkan enam panel.
Perbedaan lainnya, tipe kecil cuma butuh satu kapasitor, dan yang besar butuh
dua.
Slamet mengatakan
generatornya bisa bekerja 24 jam, dengan syarat ada alat yang terus membutuhkan
listrik. Idealnya kulkas. Kalaupun tak ada, minimal ada sebuah lampu yang terus
menyala. Kalau arus sampai putus, generator mati dan harus dipancing dengan
aki.
Hingga pekan lalu, Slamet
telah membuat seratus unit. Namun dia belum menentukan nama yang cocok untuk
mesin ciptaannya ini. “Daripada bingung, saya sebut saja Pembangkit Listrik
Tenaga Hampa,” katanya. Untuk membuat satu PLTH kapasitas 1 kilowatt, Slamet
menghabiskan Rp 3-4 juta. Alat itu dia jual dengan selisih Rp 1 juta. Sedangkan
yang berkapasitas 13 kilowatt dia butuh modal Rp 45 juta dan dia jual Rp 55
juta.
Lewat pemasaran getok
tular alias dari mulut ke mulut, pembangkit Slamet menarik minat banyak
orang. Ada yang dari tetangga di kampung sebelah, perusahaan karoseri
kendaraan, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Sayang, dia tak mampu memenuhi
permintaan PLTH berkapasitas besar, terutama yang 48 kilowatt, yang butuh modal
Rp 160 juta. “Membuat unit kecil saja saya harus ngutang dulu,” kata
Slamet.
Guru besar teknik mesin
Universitas Brawijaya, Malang, I.N.G. Wardana, mengatakan prinsip kerja PLTH
mirip baterai litium. Mobil listrik buatan ilmuwan Depok, Jawa Barat, yang
pekan lalu dikendarai Dahlan Iskan menggunakan baterai serupa. “Ada dua dugaan,”
ujar Wardana setelah melihat foto dan bagan kerja PLTH yang disodorkan Tempo.
Pertama, panel di
generator tersebut mengandung unsur kimia, di luar karbon, yang memiliki
derajat asam dan basa yang serupa dengan baterai litium. Kedua, mesin itu
memiliki sejenis fuel cell, alat yang mengubah energi kimia jadi
listrik. “Intinya, mesin bekerja dengan prinsip baterai, yang menyimpan energi
untuk diubah jadi energi listrik.” Profesor Wardana, yang penasaran ingin
melihat langsung temuan itu, menyarankan Slamet segera mematenkan ciptaannya
supaya tidak dibajak orang lain.
Kekhawatiran Pak Profesor
ada benarnya. Slamet mengatakan, tahun lalu, seorang ahli Singapura yang
bekerja di sebuah perubahaan tambang tembaga dan emas di Papua membeli mesin
buatannya. Si pakar mesin lalu membongkar generator tersebut, tapi gagal
menghidupkannya kembali. Upaya serupa dilakukan pembeli dari Bojonegoro, Jawa
Timur, pada Mei lalu. Bahkan kali ini si pembeli terkena setrum saat membongkar
mesin. Mereka lalu menuntut Slamet mengganti dengan mesin baru.
Slamet yakin hendak
mengetahui jeroan dan membuat mesin tiruan. Apalagi ia memergoki pembeli dari
Bojonegoro tersebut sedang berkumpul di rumah seorang pembeli di Sidoarjo,
bersama tiga pembeli lain yang memesan dalam waktu hampir bersamaan. Beruntung,
dia memasang sebuah komponen rahasia yang membuat mesin mati total atau menyengat
saat dibongkar. “Supaya alat saya tidak dibajak,” ujarnya.
Entah sampai kapan jebakan
batman-nya bertahan. REZA MAULANA, ABDI PURMONO (MALANG)
0 Komentar