Komunitas muslim melaksanakan salat Ied di Ruang Kenshushitsu Lantai 4 Gedung Aicel 21, Distrik Aoiku, Kota Shizuoka, Prefektur Shizuoka, Jepang, Ahad, 19 Agustus 2012. (Foto-foto: ABDI PURMONO)
|
SHIZUOKA — Masih musim panas. Pagi sudah benderang, terik amat menyengat. Sekitar 250 orang berpakaian muslim bergegas memasuki Ruang Kenshushitsu Lantai 4 Gedung Aicel 21 di Distrik Aoiku, Kota Shizuoka, Prefektur Shizuoka, Jepang bagian tengah (Pulau Honshu). Prefektur sederajat dengan provinsi atau ken.
Dalam ruangan berukuran sekitar 100 meter persegi itu telah berkumpul 80-an orang berbeda kebangsaan. Muslim Indonesia mendominasi ruangan, membaur akrab dengan muslim dari Pakistan, Maroko, Uganda, dan Bangladesh. Jamaah pria dan wanita dipisah oleh sekat setinggi semeter. Sekatnya merupakan meja-meja yang dilipat.
Salat Idul Fitri 1 Syawal segera dimulai. Penyelenggaraan salat diatur oleh Shizuoka Muslim Association (SMA). Perkumpulan ini didirikan pada Mei 2010.
Yassine Essaadi, Ketua SMA yang juga guru bahasa Inggris di Kokusai Kotoba Gakuin (Institut Bahasa Internasional) di kota yang sama, memberitahu bahwa jumlah jamaah yang hendak menunaikan salat Id melebihi kapasitas ruangan sehingga salat Idul Fitri terpaksa dilakukan dua kali di tempat yang sama. “Kita salat bergantian agar salat kita bisa lancar dan khusyuk,” kata Yassine, pria berkebangsaan Maroko, dalam bahasa Inggris, Ahad, 19 Agustus 2012.
Tepat pukul 10:00 JST (Japan Standard Time) atau pukul 08.00 WIB salat Id dimulai. Arief Udhiarto, penasihat Keluarga Muslim Indonesia Hamamatsu yang juga mahasiswa program doktoral di Universitas Shizuoka (Shizuoka Daigaku) dari Universitas Indonesia, memimpin salat. Yassine mengimami salat Idul Fitri kedua.
Dalam kutbah singkat sesuai salat, Arief menekankan orang-orang yang berpuasa Ramadan yang paling berhak merayakan Idul Fitri. Berlebaran merupakan ajang untuk menguatkan persaudaraan atau silaturahim, bukan ajang untuk saling memamerkan kekayaan dan keberhasilan.
Setelah kutbah singkat kedua imam, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Menu utamanya opor ayam dan sambal kentang, ditambah minuman sari jeruk. Percakapan campuran dalam bahasa Indonesia, Jepang, dan Inggris pun berlangsung di tengah jamaah. Acara ditutup dengan saling bersalaman dan bermaaf-maafan. Setelah itu, para jamaah kembali ke tempat tinggal dan tempat kerja masing-masing. Tidak ada lagi ritual Lebaran yang biasa dilakukan di Indonesia berlaku di Jepang.
Sebelum acara makan berlangsung, Wakil Ketua SMA Dedi Saprudin mengumumkan perkembangan Proyek Masjid Shizuoka. Sejak dirintis dua tahun lalu, donasi yang terkumpul mencapai 5 juta yen atau Rp 500 juta (dengan kurs 1 yen sama dengan Rp 100). Donasi berasal dari muslim se-Jepang, ditambah sumbangan dari Indonesia. Sepanjang 2012 hingga Idul Fitri 2013 akan digencarkan penggalangan dana dengan target perolehan donasi 5 juta yen lagi sehingga total donasi terkumpul 10 juta yen atau Rp 1 miliar.
“Membangun masjid atau tempat ibadah muslim di Jepang itu sangat tidak mudah, terutama soal perizinan. Tapi, untuk ukuran Shizuoka, perkembangannya termasuk cepat dibanding di beberapa kota lain di Jepang,” ujar Dedi.
Proyek Masjid
Shizuoka merupakan proyek jangka panjang yang membutuhkan biaya teramat besar,
selain karena prosedur perizinan. Shizuoka Muslim Association sedang
mencari-cari lokasi masjid yang layak, bisa berupa tanah kosong atau bangunan
yang dijual. Dalam jangka panjang dibutuhkan dana 80 juta yen atau Rp 8 miliar.
Sebanyak 50 juta yen dialokasikan untuk pembelian tanah dan gedung. Sisanya
untuk renovasi dan pembangunan fasilitas masjid, termasuk ruang pertemuan dan
madrasah.
Diusahakan tempat ibadah yang layak segera didapat agar muslim di Kota Shizuoka—berjumlah sekitar 200 orang—dan sekitarnya tidak lagi berpindah-pindah tempat untuk beribadah atau melaksanakan kegiatan berskala besar. Tiap tahun SMA harus menyewa tempat berbeda untuk mengadakan salat Idul Fitri atau Idul Adha.
Sebagai contoh, SMA merogoh kocek 3.500 yen atau Rp 350.000 untuk menyewa Ruang Kenshushitsu dari pukul 09.00 sampai 12.00 JST atau dari pukul 07.00 sampai 10.00 WIB. Di gedung lain bisa 10.000 yen atau Rp 1 juta. Itu pun harus menyewa jauh-jauh hari, sebulan-tiga bulan sebelum hari pelaksanaan.
Bila masjid di Shizuoka terbangun, maka jumlah tempat ibadah umat Islam di seluruh Jepang bertambah. Saya mencatat, dalam enam tahun terakhir, ada sekitar 60 tempat ibadah seperti masjid dan musala, 12 tempat di antaranya ada di Tokyo.
Untuk Prefektur Shizuoka, telah ada Masjid Mohammadi di Kota Hamamatsu. Masjid seluas 100 tsubo atau 333 meter persegi ini berdiri pada 22 September 2006 berkat kerjasama muslim Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Banglades—pernah diberitakan di Koran Tempo, Oktober 2006.
Jumlah muslim di kota seluas 1.511 kilometer persegi itu sekitar 3 ribu orang. Muslim Indonesia di Hamamatsu, serta Shizuoka dan kota-kota besar lainnya didominasi para mahasiswa (gakusei) dan pekerja magang (kenshusei) di perusahaan-perusahaan Jepang.
Adapun Shizuoka terkenal dengan Gunung Fuji, sekaligus menjadi sentra produksi teh hijau dan jeruk manis (mikan) terbesar di Jepang. Shizuoka pun menjadi salah satu provinsi yang menjadi “rumah” bagi begitu banyak orang asing (gaijin) dari luar Jepang, terutama dari Asia dan Amerika Latin. ABDI PURMONO
Diusahakan tempat ibadah yang layak segera didapat agar muslim di Kota Shizuoka—berjumlah sekitar 200 orang—dan sekitarnya tidak lagi berpindah-pindah tempat untuk beribadah atau melaksanakan kegiatan berskala besar. Tiap tahun SMA harus menyewa tempat berbeda untuk mengadakan salat Idul Fitri atau Idul Adha.
Sebagai contoh, SMA merogoh kocek 3.500 yen atau Rp 350.000 untuk menyewa Ruang Kenshushitsu dari pukul 09.00 sampai 12.00 JST atau dari pukul 07.00 sampai 10.00 WIB. Di gedung lain bisa 10.000 yen atau Rp 1 juta. Itu pun harus menyewa jauh-jauh hari, sebulan-tiga bulan sebelum hari pelaksanaan.
Bila masjid di Shizuoka terbangun, maka jumlah tempat ibadah umat Islam di seluruh Jepang bertambah. Saya mencatat, dalam enam tahun terakhir, ada sekitar 60 tempat ibadah seperti masjid dan musala, 12 tempat di antaranya ada di Tokyo.
Untuk Prefektur Shizuoka, telah ada Masjid Mohammadi di Kota Hamamatsu. Masjid seluas 100 tsubo atau 333 meter persegi ini berdiri pada 22 September 2006 berkat kerjasama muslim Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Banglades—pernah diberitakan di Koran Tempo, Oktober 2006.
Jumlah muslim di kota seluas 1.511 kilometer persegi itu sekitar 3 ribu orang. Muslim Indonesia di Hamamatsu, serta Shizuoka dan kota-kota besar lainnya didominasi para mahasiswa (gakusei) dan pekerja magang (kenshusei) di perusahaan-perusahaan Jepang.
Adapun Shizuoka terkenal dengan Gunung Fuji, sekaligus menjadi sentra produksi teh hijau dan jeruk manis (mikan) terbesar di Jepang. Shizuoka pun menjadi salah satu provinsi yang menjadi “rumah” bagi begitu banyak orang asing (gaijin) dari luar Jepang, terutama dari Asia dan Amerika Latin. ABDI PURMONO
CATATAN:
Ini naskah asli tentang salat Idul Fitri 1 Syawal 1433 Hijriah atau bertepatan dengan Minggu, 19 Agustus 2012, di Kota Shizuoka, Ibu Kota Prefektur Shizuoka. Oleh redaksi Tempo di Jakarta, naskah asli ini dipecah menjadi dua berita tanpa menayangkan tiga foto yang kukirim.
Versi yang sudah diedit bisa dibaca di sini:
1. Salat Ied di Shizuoka Diadakan Dua kali
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/19/118424521/Salat-Ied-di-Shizuoka-Diadakan-Dua-Kali
2. Perkumpulan Muslim Shizuoka Akan Bangun Masjid
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/19/118424526/Perkumpulan-Muslim-Shizuoka-Akan-Bangun-Masjid
0 Komentar