Anak-anak peserta lomba membuat enikki di Rumah Budaya Ratna, Malang, Minggu, 15 April 2012. Foto: ABDI PURMONO |
Kegiatan lomba membuat enikki diadakan untuk memeriahkan deklarasi Rumah Budaya Ratna.
Diberi nama Festival Anak-Anak Indonesia Menulis, semula panitia lomba menargetkan jumlah peserta maksimal 50 orang. Namun, pada hari pelaksanaan, jumlah peserta melonjak hingga lebih dari 100 orang. Bobot penilaian diberikan bervariasi. Untuk peserta jenjang TK-B dan sekolah dasar, bobot nilai untuk gambar dan cerita masing-masing 70:30 dan 60:40.
Anak-anak peserta lomba membuat enikki di Rumah Budaya Ratna, Malang, Minggu, 15 April 2012. Foto: ABDI PURMONO |
“Jumlah peserta itu sangat menggembirakan karena menandakan animo anak-anak begitu tinggi. Enikki kami pilih karena seni menggambar sekaligus menulis atau mengarang ini terbilang masih sangat baru di Indonesia sehingga belum begitu dikenal. Di Malang, lomba enikki ini merupakan yang pertama,” kata Ambar.
Baca juga: Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim Meninggal
Menurut Ambar, lomba membuat enikki disatukan dengan kegiatan deklarasi Rumah Budaya Ratna yang digagas keluarga dan sahabat sang sastrawan—Ratna lahir di Malang, 24 April 1949 dan wafat pada 28 Maret 2011—supaya kegiatan deklarasi makin meriah.
Tujuan utama lomba adalah mengajari anak-anak untuk berani berbagi perspektif, gagasan atau ide, dan imajinasi kepada orang lain. Menggambar dan menuliskan pengalaman sehari-hari membantu anak-anak merekonstruksi kembali pengalaman atau kejadian yang mereka alami.
Kegiatan itu ke depannya diharapkan mampu menumbuhkan kepekaan dan kebiasaan positif bagi anak-anak untuk menuliskan gagasan dan pikiran mereka. Budaya lisan atau menceritakan kembali apa yang ada dalam pikiran sebaiknya disempurnakan dalam budaya tulis karena akan diminati oleh lebih banyak orang.
Baca juga: Cerpenis Ratna Indraswari Ibrahim Tutup Usia
Anak-anak peserta lomba membuat enikki di Rumah Budaya Ratna, Malang, Minggu, 15 April 2012. Foto: ABDI PURMONO |
Lomba membuat enikki dilatarbelakangi oleh kecemasan makin banyaknya cerita fiksi anak yang tidak sesuai dengan dunia anak itu sendiri. Hampir semua tema karya sastra anak seragam. Padahal, anak harus diperkenalkan dengan keragaman budaya sejak kecil agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang humanis.
Profesor Maryaeni, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang sekaligus ketua panitia pengarah lomba, menguatkan pernyataan Ambarwati. Para penggiat pendidikan dan sastra anak menginginkan lahirnya sastrawan-sastrawan cilik. Rumah Budaya Ratna akan dijadikan sebagai pusat kegiatan kesusastraan, termasuk sastra anak, di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu).
Baca juga: Diguyur Hujan, Sastrawan Ratna Indraswari Dimakamkan
“Fokus kami adalah menumbuhkembangkan kreativitas bersastra pada anak-anak. Enikki adalah salah satu kegiatan awal dan proses untuk mencapai keinginan itu. Tidak harus jadi sastrawan, tapi keinginan besar kita adalah peradaban bangsa kita makin maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jepang dan Korea Selatan. Negara-negara ini maju karena peradaban tulisnya yang tinggi,” kata Maryaeni, ahli sastra anak.
Ambarwati dan Maryaeni sepaham bahwa enikki juga merupakan salah satu metode terbaik untuk menumbuhkembangkan kemampuan dan keberanian anak untuk mengekspresikan ide atau gagasan, isi perasaan, wawasan, dan pengalaman anak lewat gambar dan tulisan. Enikki memberi ruang yang sangat bebas bagi anak-anak untuk berekspresi karena enikki tidak membatasi tema cerita dan pola atau gaya menggambar.
Selama ini, Ambar menekankan, “Ada yang salah dalam pelajaran menggambar
di sekolah-sekolah. Anak-anak dibiasakan dan terbiasa mewarnai dengan pola yang
sangat teknis dan mekanis sehingga membatasi daya imajinasi dan kreativitas si
anak. Ingat lho, selama ini anak-anak lebih mengakrabi kegiatan
mewarnai, tapi bukan menggambar.”
Baca juga: Sastrawan Ratna Indraswari Kembali Dirawat di Rumah Sakit
Dia mencontohkan, banyak peserta yang menggambar dengan membawa alat penggaris dan karet penghapus. Saat menggambar, banyak anak yang lebih sibuk membuat garis yang lurus dan rapi. Garis yang bengkok atau gambar yang tak rapi dihapus, lalu anak mengulang pembuatan gambar.
Pembacaan deklarasi Rumah Budaya Ratna, Minggu, 14 April 2012. Foto: ABDI PURMONO. |
“Idealnya, anak-anak harus diberi kebebasan menggambar apa pun yang dia suka, bukan sekadar mewarnai. Orangtua dan guru jangan memaksakan anak harus menggambar dan mewarnai dengan tema dan warna tertentu. Nah, dengan enikki, anak-anak dilatih juga untuk menulis atau mengarang sekaligus,” kata dia.
Maryaeni menimpali, dalam pelajaran Bahasa Indonesia, anak-anak diajari kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dari empat kemampuan yang diajarkan, kemampuan anak-anak Indonesia masih sangat rendah. Kemampuan anak-anak menggambar sekaligus menulis sangat dibatasi oleh kurikulum. Kurikulum menentukan tema dan panjang tulisan, serta tema dan teknik menggambar. Padahal, tidak semua anak menyukai tema atau aturan teknis lain yang sudah ditentukan dalam kurikulum.
Baca juga: Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim di Dunia Maya
“Kurikulum seperti itu mematikan kreativitas dan imajinasi anak. Enikki diorientasikan untuk merangsang dan meningkatkan kemampuan menulis atau mengarang, disertai dengan gambar. Harapan kami, nantinya makin banyak karya sastra anak yang murni dibuat oleh anak-anak, yang kondisinya saat ini masih memprihatinkan. Sastra anak yang dibuat anak-anak masih kurang dari 10 persen. Dalam jangka panjang kita harapkan bermunculan generasi baru sastrawan sekaligus pelukis yang andal,” kata Maryaeni.
Sugegaya Mako, perempuan Jepang yang jadi tamu kegiatan lomba, menjelaskan enikki biasanya diajarkan di jenjang sekolah dasar. Guru-guru membiasakan memberi enikki sebagai tugas selama libur panjang seperti libur musim panas. Enikki dikerjakan di buku gambar-tulis yang biasanya diadakan pihak sekolah atau dibeli di toko-toko.
“Dalam setahun di Jepang ada tiga kali libur panjang. Biasanya, PR (pekerjaan rumah) enikki yang diberi guru dikerjakan tiap hari atau bisa dikerjakan sekaligus. Anak-anak menulis apa saja yang dialaminya selama libur, misalnya cerita tentang di rumah nenek atau kakek. Cerita pergi ke pasar atau mencari ikan pun bisa jadi karya enikki. Tema gambar dan tulisannya memang bebas tapi keduanya harus relevan,” kata Mako.
Baca juga: Menembus Awan Fujisan
Agar enikki makin dikenal di Malang Raya, Yayasan Pecinta Pendidikan dan Bacaan Anak Indonesia bekerja sama dengan Rumah Budaya Ratna dan Dinas Pendidikan Kota Malang akan menyelenggarakan kegiatan serupa di sekolah-sekolah pada pertengahan Mei, Juni, Juli, dan Desember mendatang.
Budaya menulis sudah selayaknya diperkenalkan kepada anak-anak sebagai bagian dari tanggung jawab untuk mendokumentasikan gagasan, pikiran, pengalaman, dan ide-ide kreatif manusia Indonesia. ABDI PURMONO
0 Komentar