Rahmat Shigeru Ono, 1 Januari 2002. Foto-foto: ABDI PURMONO |
Rahmat Shigeru Ono, mantan serdadu Jepang pembela Republik, memilih Jawa Timur sebagai kampung halaman barunya.
MATA dan telinga lelaki
tua itu nyaris tak berfungsi. Kepada Tempo yang menyambangi ruang
tamunya di Desa Sidomulyo, Batu, Jawa Timur, dua pekan lalu, ia menjulurkan
tangannya untuk bersalaman ke arah yang salah. Sedangkan tangan kirinya pendek,
hanya sebatas siku. Dia juga meminta tamu berbicara lebih keras.
Nama aslinya Sakari Ono, lahir di Hokkaido, Jepang, 92 tahun lalu. Usia tak mampu membendung semangatnya bercerita tentang pengalaman hidup, terutama Perang Kemerdekaan 1945-1949. Kisah ini dituturkan dalam buku Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono karya Eiichi Hayashi, yang menceritakan kisah tentara Jepang yang membelot ke Republik.
Mengutip data Yayasan Warga Persahabatan, Hayashi menyebutkan ada 903 bekas tentara Jepang yang membela Indonesia dalam Perang Kemerdekaan. Sebanyak 243 di antaranya meninggal dalam perang, 288 hilang, dan 45 pulang ke Jepang. Sisanya, sekitar 36 persen, memilih Indonesia sebagai rumah baru.
Penggalian kisah samurai
pembela Merah Putih ini berawal dari ketika Hayashi, 27 tahun, menjalani
program belajar bahasa Indonesia selama satu bulan di Malang, Jawa Timur, pada
Agustus 2004. Panitia mengajaknya menemui seorang Jepang tua di Batu, yang
berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Malang. Mengetahui tamunya dari
kampung halaman, si kakek langsung menceritakan kisah hidupnya dalam bahasa ibu.
“Sebenarnya waktu itu saya tidak mengerti karena beliau berbicara terlalu
cepat,” ujar Hayashi melalui surat elektronik. “Dia berbicara berjam-jam,
sampai saya mengantuk.”
Namun setumpuk buku harian
milik Ono menarik perhatiannya. Saat kembali ke Jepang, Hayashi mendalami
fotokopian catatan berhuruf kanji kuno tersebut. Lembar-lembar itu berisi kisah
hidup si kakek selama jadi prajurit, baik saat membela Negeri Matahari Terbit
maupun Indonesia. Kisah ini tidak pernah ada dalam sejarah kedua negara. Sejak
itu Hayashi bolak-balik menemui Ono sampai 80 kali, dan mantan serdadu Jepang
lain, baik yang masih hidup maupun makamnya. Hasilnya ditulis dalam tiga buku
yang terbit di Jepang sejak 2007 sampai 2010.
Rahmat Shigeru Ono, 16 November 2011. |
Perang tidak hanya
membuatnya kehilangan lengan kiri, tapi juga sahabat sekaligus mentor, Ichiki
Tatsuo. Lahir di Taraki, Jepang, pada 1906 dan tinggal di Indonesia sejak
1920-an, Tatsuo sempat jadi Pemimpin Redaksi Asia Raya, koran tempat
Rosihan Anwar bekerja. Dalam Perang Kemerdekaan, dia komandan Ono di Pasukan
Gerilya Istimewa, kelompok yang terdiri atas 28 eks serdadu Jepang dan berulang
kali membuat Belanda kocar-kacir. Abdurrahman, panggilan Tatsuo, tewas
tertembus peluru kompeni di perbatasan Turen dan Wajak, Malang, 3 Januari 1949.
Pada 1956, Presiden Sukarno mendirikan monumen di makam Tatsuo di Kuil Seisyo,
Minato, Tokyo. Di sana tertulis kalimat dari Sang Proklamator: Kemerdekaan
itu bukannya untuk satu bangsa akan tetapi untuk seluruh bangsa yang ada di
muka bumi ini.
Perang yang membuatnya
kehilangan tangan kiri berakhir setelah pengakuan kedaulatan, Desember 1949.
Ono meninggalkan militer dengan pangkat letnan dua, dan kembali ke pekerjaan
yang digelutinya sejak kecil, bertani. Dia tinggal di Batu, tak jauh dari
Pasuruan, tempat dinas terakhirnya sebagai Wakil Komandan Pasukan Untung
Suropati 18.
Karena usianya sudah
kepala tiga tapi masih jomblo, teman-teman sibuk menjodohkannya.
Targetnya Darkasih, 22 tahun, janda tanpa anak yang baru ditinggal mati
suaminya. Usaha pertama ditolak. “Mungkin karena tangan kiri saya tidak ada,
dikira tidak bisa cari makan,” ujar Ono terkekeh. Tak putus asa, dia kembali
melamar Darkasih dan menikah pada 1950. Pasangan itu dianugerahi enam anak,
plus 13 cucu dan empat cicit. Sang istri meninggal pada Juni 1982.
Dia mendapat uang pensiun
dari negara barunya, tapi tak mencukupi bahkan untuk sekadar membeli rokok.
Waktu itu dia perokok berat, sampai dua bungkus saban hari. Untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, Ono menanam padi, sayur, dan buah di lahan milik mertua.
“Saya tidak mau kalah dengan petani yang punya dua tangan,” katanya sembari
mengepalkan tinju. Entah karena keseringan memacul satu tangan atau bawaan
lahir, tulang tangannya terlihat lebih besar daripada orang kebanyakan.
Lima belas tahun jadi
petani, dia mengadu nasib di Jakarta dan bekerja di perusahaan Jepang. Di Ibu
Kota, pada 1970, dia hampir kehilangan nyawa. Dia menumpang becak saat keluar
dari Hotel Indonesia, sembari membawa sepatu yang terbungkus kotak dan kertas.
Ketika melewati pertokoan Sarinah di Jalan M.H. Thamrin, perampok merobek perut
dan merampas bungkusan yang dikira berisi uang itu. Darah mengucur dan dia
melihat usus menyembul. Beruntung, warga sigap membawanya ke rumah sakit.
“Rasanya ajaib saya masih hidup,” katanya.
Pada tahun yang sama, Ono
pindah ke Amuntai, Kalimantan Selatan. Dia berbisnis rotan dan mengirimnya ke
Jepang. Dia memilih pensiun sepuluh tahun kemudian, dan kembali bertani di
Batu. Beberapa tahun belakangan, kondisinya sudah terlalu lemah untuk
mengayunkan pacul. Dia juga absen dari undangan upacara 17 Agustus di Istana
Merdeka, yang dihadirinya sejak 1982. Papi, panggilannya, cuma sesekali sibuk
mengecek kebun apel, dan lebih banyak menghabiskan waktu menonton—atau lebih
tepatnya mendengar—televisi. Saluran favoritnya kantor berita Jepang, NHK.
Namun dia masih kuat berpuasa Ramadan. Anak-anaknya sering kena semprot jika
tidak membangunkannya saat sahur.
Sewaktu masih berkebun dulu, sayur yang disebut daikon dalam bahasa Jepang itu selalu dia tanam, meski tahu tidak laku dijual dan tak digemari keluarga. Lobak dia tanam untuk dimakan sendiri. Kesukaan lain adalah umeboshi, buah plum yang diasinkan dan berasa asam.
Ono teringat alasan yang
menghalanginya naik kapal untuk pulang ke Negeri Sakura: memenuhi janji Jepang
memberi Indonesia kemerdekaan. “Ini tidak sesuai dengan tujuan proklamasi.”
Mata yang nyaris buta itu kembali menerawang....
Serdadu
Jepang Berpeci Hitam
Hampir seribu serdadu Jepang menolak kembali ke negaranya setelah Perang Dunia II. Mengusung Merah Putih dalam perang kemerdekaan melawan Belanda.
BANDUNG, 15 Agustus 1945,
merupakan titik balik hidup Shigeru Ono. Di sebuah barak militer, prajurit
berpangkat sersan itu berkumpul dengan rekannya sesama tentara Jepang, seraya
membahas satu hal yang teramat penting: bom atom telah meluluhlantakkan basis angkatan
darat di Hiroshima dan angkatan laut di Nagasaki, dan ini membuat posisi mereka
dalam Perang Asia Timur Raya terdesak.
Monumen Perdamaian Hiroshima Minggu, 6 Agustus 2006. |
Buku Mereka yang
Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono karya Eiichi Hayashi lalu melukiskan
kebingungan yang meliputi para serdadu tatkala mendengar Kaisar Hirohito
menyerah tanpa syarat.
Semua terpukul, apalagi setelah para serdadu yang berasal dari Korea langsung membangkang. Pikiran melakukan harakiri sebagai jalan keluar heroik atas kegagalan menjalankan tugas sempat melintas, tapi Shigeru Ono akhirnya memilih jalan yang mengantarnya ke dunianya kini.
Semua terpukul, apalagi setelah para serdadu yang berasal dari Korea langsung membangkang. Pikiran melakukan harakiri sebagai jalan keluar heroik atas kegagalan menjalankan tugas sempat melintas, tapi Shigeru Ono akhirnya memilih jalan yang mengantarnya ke dunianya kini.
Mengukuhkan niatnya,
Shigeru Ono kemudian menitipkan sebuah amplop berisi potongan rambut dan
kukunya, plus surat, kepada seorang rekannya yang bakal pulang ke Jepang. Ya,
selembar surat yang menyatakan dia sudah mati kepada keluarganya. Sampai di
sini, pembaca Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono
mendapatkan kesan: Shigeru Ono yang dulu telah mati, dan kini hanya ada Shigeru
Ono yang baru. Menanggalkan seragam militer Jepang, ia—kini orang memanggilnya
Rahmat, nama barunya—bersarung, berkopiah, bertempur di bawah komando kapten
Sugono bersama para pemuda pejuang kemerdekaan di Bandung.
Buku itu sebenarnya
bercerita tentang sosok yang sama tapi hidup dalam dua kondisi berbeda: Perang
Pasifik (1942-1945) dan Perang Kemerdekaan (1945-1949). Shigeru Ono, anak
petani dari Pulau Hokkaido, mulai terlibat dalam pertarungan akbar ini ketika
ia lulus dari sekolah angkatan darat dan mendaftar untuk diterjunkan ke
daerah-daerah selatan. Ia bertempur di Saigon dan Singapura, sampai kemudian
tersangkut di bagian barat Jawa untuk menghancurkan pasukan Belanda. Seusai
Perang Pasifik 1945, ia beserta sejumlah kawan yang tergabung dalam Pasukan
Gerilya Istimewa lantas menjadi ancaman bagi serdadu Belanda di kaki Gunung
Semeru.
Taman Perdamaian Nagasaki Minggu, 3 Januari 2008 |
Kita tentu saja menyambut
bantuan Ono dan kawan-kawannya sesama zanryu nihon hei menghajar pasukan
Belanda. Kendati begitu, Mereka yang Terlupakan merupakan catatan memoar
yang selalu diliputi oleh subyektivitas penulis atau tokohnya. Dan adalah hak
keduanya untuk memilih-menyeleksi kejadian yang bakal ditulisnya. Namun, harus
diingat, kredibilitas seorang penulis dibangun atas obyektivitasnya melihat
masalah. REZA MAULANA, ABDI PURMONO (Malang)
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/11/28/BK/mbm.20111128.BK138324.id.html
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/11/28/BK/mbm.20111128.BK138324.id.html
Ini penuturan tertulis Eiichi Hayashi yang diberikan kepada saya. Saya salin ulang seperti aslinya di luar konten di atas:
Saya berasal dari Prefektur Mie, Jepang.
Tujuan saya menulis buku ini bukanlah ingin mengajak semua orang
untuk berpikir bahwa bekas tentara Jepang yang tidak kembali adalah pahlawan.
Saya juga tidak ingin mendiskriminasikan mereka sebagai orang terbuang.
Maksudnya saya ingin menulis sejarah, bagaimana seorang pelaku
sejarah yang biasa, maksud saya bukanlah seseorang yang terkenal. Saya merasa
Indonesia sangat menghargai pelaku-pelaku sejarah. Contohnya, di setiap kota
saya selalu menemukan nama jalan yang diambil dari tokoh-tokoh penting zaman perjuangan.
Saya ingin mengangkat kehidupan pelaku sejarah biasa yang juga
tidak biasa karena berasal dari penjajah yang kemudian hidup dalam masyarakat
marginal.
Tepat 7 tahun yang lalu, yaitu tanggal 14 Agustus 2004, saya
mendapat kesempatan belajar bahasa Indonesia selama sebulan di Malang. Pada
saat ikut program tersebut saya diajak berkunjung ke rumah orang tua di Desa
Sidomulyo, Kota Batu.
Awalnya saya tidak percaya ada orang Jepang yang sudah tua tinggal
di desa tetapi ternyata memang ada. Ada kakek pakai baju chanchanko,
tidak ada tangan kiri, kepalanya botak tiba-tiba berbicara bahasa Jepang dengan
sangat sempurna dan bercerita tentang zaman perang.
Sebenarnya waktu itu saya tidak bisa mengerti cerita beliau sama
sekali karena beliau ceritanya terlalu cepat. Pertama kali mendengar, saya
harus mendengar berjam-jam sampai saya mengantuk.
Tetapi kemudian saya sangat tertarik tentang kakek itu sehingga
jika ada waktu senggang saya beberapa kali berkunjung ke rumah kakek itu dan
mendengar cerita selanjutnya.
Ketika mau pulang ke Jepang saya pinjam fotokopi buku catatan
sehari-hari beliau. Catatan sehari-hari itu ditulis tangan oleh kakek itu pada
zaman revolusi Indonesia dan pakai huruf kanji kuno jadi susah membaca. Tetapi
setelah saya pulang ke Jepang saya memakai kamus dan membaca semua.
Saya kaget karena di situ ada hal-hal yang belum pernah saya
pelajari di pendidikan sekolah. Ketertarikan saya bertambah besar. Selanjutnya
saya mencoba membaca buku-buku tentang sejarah Jepang-Indonesia tapi tidak bisa
ketemu informasi baik, karena ketika kalah perang, kebanyakan tentara Jepang
membakar dokumentasi sendiri atau diambil oleh tentara Sekutu.
Setelah tahu itu, saya sering ke Indonesia untuk wawancara kakek
itu dan akhirnya terbit tiga buku tentang sejarah bekas tentara Jepang yang
tidak kembali dalam bahasa Jepang.
Tetapi ketika tahun kemarin mendapat kesempatan satu tahun
penelitian dari JSPS (Japan Society for the Promotion and Science), saya ada
kesempatan diskusi bersama mahasiswa-mahasiswa di Indonesia, saya merasa bahwa
di Indonesia sejarah mereka tidak pernah diberitahu secara formal. Bahkan dari
beberapa buku sejarah anak sekolah zaman Jepang sangat sedikit informasinya.
Sekali lagi saya ingin menyatakan bahwa saya sama sekali tidak ada
pikiran untuk menganggap mereka seorang pahlawan Indonesia karena dari hasil
penelitian, saya mendapat kesimpulan ada beberapa bekas tentara Jepang yang
dengan berbagai alasan malah bergabung dengan kelompok-kelompok separatis
Indonesia.
Pada tahun 1980-an mereka para bekas tentara Jepang yang tidak
kembali seolah benar-benar terlupakan oleh masyarakat Jepang. Dan akhirnya awal
tahun 1990-an, setelah perang dingin usai dan beberapa perubahan di masyarakat
dunia juga mempengaruhi nasionalisme Jepang. Hal ini menimbulkan munculnya
ideologisasi yang menyatakan bahwa Jepang berperang untuk membebaskan Asia.
Tetapi tidak sedikit juga yang merasa bahwa mereka hanya daso-nihon-hei atau
orang-orang yang desersi.
Buku ini bertujuan untuk menampilkan sosok seorang bekas tentara Jepang
sehingga dapat menjadi referensi dan sebuah sudut pandang baru tentang
keberadaan bekas tentara Jepang yang tidak kembali di Indonesia.
Buku ini bercerita tentang Rahmat Shigeru Ono yang lahir di Furano, Hokkaido, pulau paling utara di Jepang pada tahun 1919 sebagai anak nomor 3 di rumah petani. Sejak kecil beliau membantu pekerjaan rumah karena ayahnya sibuk kerja.
|
Penulis: Eiichi Hayashi Penerbit: Ombak, Yogyakarta, 2011 Tebal: 179 halaman |
Buku ini bercerita tentang Rahmat Shigeru Ono yang lahir di Furano, Hokkaido, pulau paling utara di Jepang pada tahun 1919 sebagai anak nomor 3 di rumah petani. Sejak kecil beliau membantu pekerjaan rumah karena ayahnya sibuk kerja.
Pada tahun 1939 beliau ikut ujian masuk militer
dan lulus dengan nilai tertinggi. Lalu pendidikan
di sekolah militer dan naik pangkat, beliau masuk Pulau
Jawa pada tahun 1942.
Pada tahun 1943 beliau berdinas di markas besar di Bandung.
Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah. Desember tahun yang sama beliau lari ke pihak
Indonesia dan berpindah tugas ke divisi Jawa Timur.
Ketika 29 bekas tentara Jepang yang tidak kembali
berkumpul dan bersatu sebagai Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) pada tahun
1948, Pak
Ono juga ikut. Namun ketika
memperbaiki senjata api beliau harus diamputasi tangan kirinya.
Pada tahun 1949 sebagian prajurit PGI ikut
Pasukan Untung Suropati (PUS) 18 di Malang. Pak Ono
menjadi wakil komandan. Pada tahun 1950, Ono-san keluar
dari kemiliteran Indonesia, menikah dan menjadi petani
dengan hidup sederhana dan kekurangan.
Selama 1945-1958 hubungan negara Jepang
dan Indonesia
terputus. Ono-san juga belum jadi warga negara Indonesia
meskipun mendapat banyak penghargaan dari TNI. Pak
Ono resmi dinyatakan sebagai WNI baru pada tahun
1962.
Kebanyakan teman-teman Pak Ono mulai bekerja di
perusahaan-perusahaan Jepang di kota besar. Pak Ono baru tahun 1965 ke Jakarta
dan masuk kantor salah satunya. Tetapi karena kantornya jatuh (bangkrut)
sehingga Pak Ono ganti beberapa kantor dan untuk kerja sering
ke Jakarta, Surabaya, Kalimantan, dan Batu.
Pada tahun 1974 pertama kali pulang ke Jepang karena ada urusan
kerja, tetapi waktu itu ayah dan ibu beliau sudah meninggal.
Istri Pak Ono meninggal tahun 1982 dan dia juga pensiun setelah
tahun 1990.
Sekarang beliau tetap sehat dan hidup di rumah di Desa Sidomulyo
bersama 4 anak,
10 cucu, 6 cicit.
Setiap tanggal 17 Agustus beliau memakai baju TNI dengan bintang gerilya
dan ikut acara di Kota Batu.
Karena sudah zamannya berubah bekas tentara Jepang yang tidak
kembali di Indonesia sudah tinggal dua orang, Pak Ono dan Pak Eiji
Miyahara (Ketua Yayasan Warga Persahabatan) di Jakarta.
Menurut data Yayasan Warga Persahabatan, 903
bekas tentara Jepang yang ikut perang kemerdekaan Indonesia. Lalu sebanyak 324
orang di antaranya tetap memilih tinggal di Indonesia setelah zaman revolusi.
Generasi pertama sudah hampir habis dan sekarang zaman genarasi
kedua dan ketiga.
Karena ada undang-undang imigrasi Jepang yang lebih mudah kerja di Jepang
untuk keturunan Jepang sampai hari ini ada banyak generasi kedua dan ketiga ke Jepang.
Namun penelitian atau nonfiksi kehidupan mereka
belum lengkap dan
kurang menurut saya. Mudah-mudahan buku yang kali ini terbit dari (penerbit)
Ombak (Yogyakarta) membantu keturunan Jepang mendapat identitas
mereka dari sejarah generasi pertama dan muncul sejarawan atau journalist
mengkaji tentang sejarah bekas tentara Jepang yang tidak kembali dan
keturunannya.
Arigatou!
13 Komentar
Sebuah kisah perjuangan yang patut diteladani dan diacungi jempol. Semoga ini menjadi inspirasi anak bangsa untuk tetap berjuang di dunia kekinian.
BalasOrang Jepang saja bangga mengaku sebagai Bangsa Indonesia, mengapa para pribumi tidak?
Khairul Anam
Merinding membaca kisah diatas, orang asing aja mati2an berjuang demi Indonesia ... eh orang Indonesia sendiri mati2an juga menghancurkan indonesia .. ckckck.. contohnya tuh...koruptor!!
BalasSaudara Anam dan Kak Ratna, terima kasih untuk komentarnya.
BalasKita memang harus tetap kritis terhadap negeri sendiri sebagai bukti kita masih mencintai negeri ini, meski sang pengurus negeri entah di mana, antara ada dan tiada.
negara semestinya menghargai para pejuang kemerdekaan..terharu membaca kisah nyata seperti ini semoga jadi inspirasi semua anak muda jaman sekarang
BalasIni adalah bukti, Sejarah adalah Misteri. seperti kata orang, Sejarah diatur oleh orang yang menang. jadi yang menang akan memunculkan presepsi yang buruk thdp pelaku yang kalah perang.
Balaskalo kisahnya dijadikan film kayaknya seru tuh..
BalasRina, tengkyu ya komentarnya. Negara sudah berusaha mengharga jasa para pejuang, tapi belum maksimal dan optimal. Yang terpenting lagi, jalankan negeri ini sesuai dengan cita-cita dan tujuan proklamasi.
BalasBuat Anonim:
Ada masanya sejarah negeri kita didikte oleh "sang pemenang" sehingga banyak kisah sejarah yang sebenarnya keliru, salah, dan ngawur.
Amak Abdul Rachman:
Sebenarnya ada film yang pembuatannya terinspirasi dari kisah-kisah veteran tentara berdarah Jepang. Sayangnya, konon, film itu dilarang beredar di Indonesia karena dianggap melecehkan harkat-martabat bangsa kita. Padahal, ini masih bisa diperdebatkan kok. Judulnya MERDEKA, para pemerannya dari Indonesia dan Jepang. Tokoh utama perempuannya Lola Amaria.
Buat Rina, Anonim, dan Amak Abdul Rachman, terima kasih ya sudah mampir dan berkomentar.
BalasCerita yg sngt mengharukan.
BalasSalute buat bapak rahmat shigeru ono.
Pejuang merah-putih asal jepang.
Arigatou shigeru ono/sakari ono
BalasInna Lillahi wa inna ilaihi raji'un..
Balasbeliau baru saja meninggal hari senin 25 /08/2014... beliau tetangga saya.. lahummul fatihah.... aamiin.. beliau selalu berpesan kpd generasi muda indonesia :BERANTAS KORUPSI, BERANTAS KORUPSI, DAN BERANTAS KORUPSI"
Inna Lillahi wa inna ilaihi raji'un..
Balasbeliau baru saja meninggal hari senin 25 /08/2014... beliau tetangga saya.. lahummul fatihah.... aamiin.. beliau selalu berpesan kpd generasi muda indonesia :BERANTAS KORUPSI, BERANTAS KORUPSI, DAN BERANTAS KORUPSI"