Foto-foto: ABDI PURMONO
|
MALAM beranjak larut. Kehidupan
Kota Pasuruan masih berdenyut. Suasana alun-alun masih ramai oleh ribuan warga.
Kendaraan masih berseliweran sampai arus lalu lintas tersendat. Orang-orang
bertadarus setelah salat tarawih di Masjid Agung al-Anwar. Gemanya berkumandang
lewat pengeras suara.
Keriuhan dan juga kesemrawutan tak
mengganggu keasyikan Muhammad Ikhsan (19 tahun) dan Ahmad Farouk Hidayat (15
tahun) menyantap menu empal berkuah kental di Rumah Makan Sakinah di timur
alun-alun; tepatnya di Jalan Kartini 80, Kelurahan Bangilan, Kecamatan
Purworejo.
Saking asyiknya, dua santri Pondok Pesantren Sidogiri itu kelihatan bak sedang
berlomba makan. “Kata orang-orang, makanan di sini enak-enak. Habis tarawih
tadi kami langsung ke sini. Tapi nggak bisa lama karena harus balik ke
pondok untuk tadarusan,” kata Ikhsan pada Selasa, 16 September 2008. Hidayat cuma
mengangguk.
Sepulang mereka, datang
serombongan keluarga. Semakin malam kian banyak pembeli yang datang. Selain makan
di tempat, banyak pembeli langsung membayar dan membawa pulang lauk pesanan.
“Kalau (di bulan puasa)
Ramadan, banyak yang pesan dulu atau datang menjelang makan sahur,” kata Ibu
Sakinah, sang pemilik, yang ditemui seusai
bertadarus di Masjid Agung.
Selama bulan puasa Ramadan, RM Sakinah
buka mulai pukul empat sore sampai sahur tiba. Di luar Ramadan, depot berusia
23 tahun ini melayani pembeli dan pelanggan sejak pukul empat sore sampai 21.30
WIB.
Banyak lauk yang bisa dipilih.
Empal yang dilahap Ikhsan dan Hidayat merupakan salah satu lauk favorit. Lauk
lain di antaranya serundeng, hati, paru, limpa, dendeng resekan manis, trancam (mirip urap sayur, namun semua
sayurnya mentah), sambal, dan klomohon (otot sapi dimasak dengan santan).
Bukan cuma menjadi andalan RM
Sakinah, banyak orang Pasuruan bilang sate komoh sudah menjadi salah satu
hidangan kebanggaan. Orang-orang dari luar Pasuruan acap ke RM Sakinah untuk
menikmati sate komoh. “Sate komoh sudah seperti jadi maskot kuliner kota kami
walau di kota lain di Jawa Timur juga ada,” kata Kadir, teman dari koran harian Memorandum.
Sate komoh dibuat dari daging
sapi dengan potongan sebesar dadu seukuran 3x3 sentimeter dan berbumbu manis. Satenya
sudah direbus hingga empuk, lalu dibakar. Aroma harum menggugah selera menerpa
hidung sewaktu sate dikipas-dikipas sampai bara menyala merah dan asap
mengepul.
Tolong, jangan coba-coba
memesan sepuluh tusuk sate komoh untuk dimakan sendiri karena satu tusuk—berisi
tiga potong daging—saja sudah mengenyangkan, kecuali Anda tukang makan sejati
kayak orang Osaka di Jepang, misalnya.
Orang Osaka (Osaka-jin)
mempunyai ungkapan khas kuidaore dalam urusan kuliner. Terjemahan
bebasnya adalah silakan makan sepuas-puasnya sampai Anda semaput!
Anehnya, Ibu Sakinah dan
beberapa pembeli justru mengaku tidak tahu asal usul dan arti nama sate komoh. “Nggak ada arti yang khusus. Sejak saya
kecil sudah ada sate komoh,” ujar ibu dari tiga anak perempuan dan nenek dengan tiga
cucu itu.
Boleh jadi kata komoh merujuk
pada penampilan sate yang basah karena bumbu-bumbu yang sudah merasuk ke dalam
daging dan “keluar” lagi ketika dibakar. Pembakaran disesuaikan dengan selera
pembeli. Sate pun dapat dipesan hanya daging atau ditambah otot dan lemak sapi
yang membuat penampilannya kian “kumuh”.
Banyak cara dan variasi untuk
menikmati sate komoh. Sate komoh biasanya disajikan dengan daun singkong rebus,
tauge mentah, taburan serundeng, dan disiram bumbu bali. Yang paling klop jika
sate komoh yang empuk (gembuk) dan lezat disajikan bersama nasi rawon.
Pada dasarnya, hampir semua
suku Nusantara mengenal sate dalam kuliner mereka. Banyak yang mirip satu sama
lain. Begitu pula dengan sate komoh. Kekhasan sate ini ada pada bumbu nan
melimpah. Ibu Sakinah mengaku cara membuat buat sate komoh di mana saja sama
saja.
Letak perbedaan adalah pada
bahan dan bumbu. Bahan standar sate komoh mencakup daging sapi, santan kelapa
kental, air, minyak goreng, dan tusuk sate. Sedangkan bumbu-bumbu terbuat
dari adonan bawang merah, siung bawang putih, lombok merah, ketumbar, jinten,
laos, jahe, serai, daun jeruk, daun salam, gula garam, dan air asam.
“Orang Jawa bilang itu bumbu jangkep atau semua bumbu,” kata si ibu
yang periang itu.
Semua bumbu dihaluskan, kecuali
serai, daun salam, dan daun jeruk. Minyak dipanaskan dalam panci, lalu bumbu
ditumis sampai mewangi. Celupkan daging yang sudah dipotong-potong atau digodok
selama kurang-lebih empat jam, kemudian dibakar.
Ibu Sakinah membuka sedikit
rahasia dapurnya. Kata dia, “Dibakar sampai sekitar empat jam itu karena saya kan butuhnya banyak untuk dijual.
Kalau untuk sendiri nggak sampai segitu lamanya. Yang agak
membedakan sate komoh buatan saya adalah saya nggak pakai penyedap rasa. Semuanya rasa
daging asli.”
Di hari biasa, depot Sakinah
menghabiskan 120 kilogram daging sapi, masing-masing 60 kilogram untuk sate
komoh dan empal. Jumlah daging yang diolah untuk dua lauk itu bisa meningkat
sampai dua kuintal atau 200 kilogram di masa Ramadan atau Lebaran.
Ibu Sakinah bersyukur karena
hampir tiap hari lauk sate komoh dan empal tandas dibeli. Harga sate komoh dan
empal sama. Kelezatan sate komoh dan empal dalam sepiring berharga Rp 10 ribu
dan sekotak Rp 14 ribu.
Ehem, malam makin gulita. Jalan Kartini mulai sepi. Ngomong-omong, andai masih penasaran pada asal usul dan arti nama sate komoh, coba tanyakan pada psikolog anak paling kondang, Seto Mulyadi alias Kak Seto.
Namun, bukan salah sate komoh kalau jalanan di seputar alun-alun suka macet dan semrawut. Mungkin Kak Seto tahu penyebab kemacetan asal Anda ingat ini: macet lagi macet lagi, gara-gara si Komo lewat...
Ehem, malam makin gulita. Jalan Kartini mulai sepi. Ngomong-omong, andai masih penasaran pada asal usul dan arti nama sate komoh, coba tanyakan pada psikolog anak paling kondang, Seto Mulyadi alias Kak Seto.
Namun, bukan salah sate komoh kalau jalanan di seputar alun-alun suka macet dan semrawut. Mungkin Kak Seto tahu penyebab kemacetan asal Anda ingat ini: macet lagi macet lagi, gara-gara si Komo lewat...
Itu lagu anak-anak gubahan Kak
Seto yang populer pada awal 1990-an lewat tayangan serial boneka lucu Si Komo.
Kabarnya, serial Si Komo akan ditayangkan lagi dengan format baru.
Emoh Jadi Perawat, Jualan Sate Komoh
Hobi memasak membuat Sakinah muda lama-lama bosan jadi perawat dan meninggalkan profesi yang dia lakoni selama empat tahun (1981-1984).
Emoh Jadi Perawat, Jualan Sate Komoh
Hobi memasak membuat Sakinah muda lama-lama bosan jadi perawat dan meninggalkan profesi yang dia lakoni selama empat tahun (1981-1984).
Setelah menikah, ia belajar
berjualan kecil-kecilan sampai buka warung makan kecil di tepi Sungai Gembong,
di timur dari lokasi Rumah Makan Sakinah yang sekarang. Depot ini didirikan
pada 1985.
Di musim hujan, air Sungai
Gembong kerap meluap dan menimbulkan banjir. Banjir besar terakhir terjadi pada
akhir Januari 2008 yang merendam sepertiga Kota Pasuruan.
Banjir boleh merusak benda apa
saja, tapi rasa lezat sate komoh buatan Sakinah bertahan. Kelezatan yang ajek
membuat pelanggan makin setia dan tak ingin berpaling ke lain depot. “Cobaan
akan selalu ada. Tapi, alhamdulillah, usaha rumah makan saya masih lancar dan
insya Allah terus banyak pelanggan,” kata dia.
Ibu Sakinah |
“Sate komoh Saminah itu memang
paling enak dan lezat, tapi entah kenapa kok usaha keluarga itu tutup,” ujar
Sakinah, yang lupa kapan persisnya Warung Makan Saminah yang asli tutup dan
kini ada warung bernama sama yang dikelola anak pemilik lama.
Depot Sakinah makin berkembang
karena rasa dan pelayanan yang terjaga. Dari semula memiliki satu-dua pekerja,
kini depot Sakinah memperkerjakan 13-14 orang perempuan. Sakinah biasa menambah
jumlah pekerja jika depotnya buka di hari-hari besar Islam, terutama Lebaran,
termasuk melibatkan anggota keluarga dan kerabat lain.
Sate komoh pelaris dagangan.
Kelarisan dapat diukur dari antrean pembeli di luar ruangan makan berkapasitas
sekitar 45 tempat duduk. “Kalau penuh, biasanya orang-orang ngantre,” kata Farida, putri
Sakinah, menimpali.
Larisnya depot Sakinah
dinikmati para pekerja. Dulu, para pekerja yang kebanyakan berstatus janda,
miskin-miskin. Tapi sekarang mereka sudah bisa beli emas dan membangun rumah
sederhana yang bertembok.
“Alhamdulillah, sekarang mereka nggak pernah suka mengeluh lagi. Secara
materi mereka sudah merasa tercukupi dibanding awal-awal bekerja. Mereka makin
betah kerja di sini. Malah mereka sendiri tak mau libur atau mengurangi jam
kerja di bulan Ramadan,” Sakinah mengucap syukur.
Kini RM Sakinah bertambah satu
di Kelurahan Pleret, Kecamatan Pleret di kota yang sama, yang dikelola seorang
putrinya. Dalam 20 tahun RM Sakinah menjelma menjadi salah satu ikon kuliner di
Pasuruan.
Ikon
lain di antaranya Rumah Makan Cairo di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan,
yang terkenal dengan kambing panggang oven
berasa sangat gurih dan empuk, serta gulai kambing kacang hijau alias gulai
jamu; Warung Bu Lindha dan Warung Bu Meita di Bangil, yang terkenal dengan
label “nasi punel”, serta Rumah Makan Ayam Goreng Pak Sholeh di Kecamatan
Pandaan. ***
0 Komentar