Meski memiliki keterbatasan fisik, Ratna dikenal ulet dan gigih. Selain sebagai cerpenis dan novelis, ia adalah seorang aktivis.
KABAR duka itu datang kemarin pada pukul 09.55 WIB. Cerpenis dan novelis Ratna Indraswari Ibrahim tutup usia. Ratna meninggal dalam usia 61 tahun.
Menurut Ruhadi Rarundra alias Siro, ibu angkatnya itu meninggal di Ruang Unit Stroke, Paviliun Bougenville, Rumah Sakit Umum Daerah dr Sjaiful Anwar Kota Malang, Jawa Timur.
“Sebelum meninggal, beliau mengalami anfal tiga kali, Minggu jam 10 pagi dan jam 4 sore, terus anfal ketiga jam 4 pagi hari ini (kemarin). Setelah itu, tensi darah terus turun, batas atasnya 93 dan bawahnya 54,” kata Siro.
Menurut Ruhadi Rarundra alias Siro, ibu angkatnya itu meninggal di Ruang Unit Stroke, Paviliun Bougenville, Rumah Sakit Umum Daerah dr Sjaiful Anwar Kota Malang, Jawa Timur.
“Sebelum meninggal, beliau mengalami anfal tiga kali, Minggu jam 10 pagi dan jam 4 sore, terus anfal ketiga jam 4 pagi hari ini (kemarin). Setelah itu, tensi darah terus turun, batas atasnya 93 dan bawahnya 54,” kata Siro.
Ratna dirawat di Rumah Sakit Sjaiful sejak Sabtu pekan lalu. Menurut Siro, Ratna didiagnosis menderita komplikasi stroke, jantung, paru, dan diabetes. Pada hari pertama dirawat, ia juga sempat tak sadarkan diri. Sebelumnya, Ratna sempat dirawat empat hari sejak 15 Maret dan kemudian dirawat enam hari sejak 18 Maret lalu.
Sekitar dua tahun lalu, cerpenis dan novelis ulet ini juga pernah dirawat selama sepekan di rumah sakit tersebut. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa terjadi penyumbatan di bagian kepala, dan sebagian pembuluh darah yang tersumbat sudah pecah.
Saat itu, Ratna dibawa ke rumah sakit setelah mengalami pusing berkepanjangan dan tremor atau kejang di tangan kanan. Selain itu, bagian tubuh bagian kanan sulit digerakkan. Ratna divonis mengalami stroke ringan. Gejala serupa dialaminya tahun ini.
Baca juga: Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim Meninggal
Dalam sebuah percakapan, Ratna mengatakan sangat menjaga pola makan dan gaya hidup. Ratna makan secukupnya dan itu pun biasanya hanya lima sendok nasi. Ia lebih sering sarapan dengan roti dan telur. Ia juga rajin mengonsumsi sayur dan buah-buahan. Karena itu, ia merasa selalu sehat dan bugar. Ratna memang sering merasa kelelahan karena terlibat dalam banyak kegiatan.
Lahir di Malang, 24 April 1949, Ratna sudah cacat sejak kecil. Namun ia dikenal sangat produktif.
Ada sekitar 400 cerita pendek dan cerita bersambung, ditambah sejumlah novel, yang dia buat. Karena cacat, anak dari pasangan Saleh Ibrahim dan Siti Bidahsari Arifin—kedua sudah meninggal—itu “menulis” dengan ingatannya. Dia mendiktekan alur cerita dan asistennya yang menulis tangan atau diketik dengan mesin ketik atau komputer.
Dalam sebuah percakapan, Ratna mengatakan sangat menjaga pola makan dan gaya hidup. Ratna makan secukupnya dan itu pun biasanya hanya lima sendok nasi. Ia lebih sering sarapan dengan roti dan telur. Ia juga rajin mengonsumsi sayur dan buah-buahan. Karena itu, ia merasa selalu sehat dan bugar. Ratna memang sering merasa kelelahan karena terlibat dalam banyak kegiatan.
Lahir di Malang, 24 April 1949, Ratna sudah cacat sejak kecil. Namun ia dikenal sangat produktif.
Ada sekitar 400 cerita pendek dan cerita bersambung, ditambah sejumlah novel, yang dia buat. Karena cacat, anak dari pasangan Saleh Ibrahim dan Siti Bidahsari Arifin—kedua sudah meninggal—itu “menulis” dengan ingatannya. Dia mendiktekan alur cerita dan asistennya yang menulis tangan atau diketik dengan mesin ketik atau komputer.
Dengan keuletan dan kegigihannya itulah sejumlah karya lahir. Karya-karyanya berupa kumpulan cerpen yang dimuat dalam antologi Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997), Lakon di Kota Senja (2002), dan Waktu Nayla (2003). Ratna juga menerbitkan novel Bukan Pinang Dibelah Dua (2003) dan Lemah Tanjung (2003).
Novel Lemah Tanjung, yang didasarkan pada kisah nyata, ia dedikasikan kepada warga yang menentang pembangunan perumahan mewah di atas lahan hutan kota. Perumahan itu kini bernama Ijen Nirwana Residence kepunyaan Grup Bakrie. Bahkan Ratna terlibat dalam diskusi dan unjuk rasa menentang pengalihan fungsi hutan kota menjadi perumahan mewah tersebut.
Semasa hidup, Ratna menceritakan perjuangannya menentang pengalihan fungsi Lemah Tanjung. Bagi dia, lahan bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian seluas sekitar 28,5 hektare itu tidak hanya menyangkut soal lingkungan, tapi juga berkaitan dengan dinamika sosial-budaya dan sejarah Kota Malang.
Pada 20 Januari 2003, Ratna pernah berkata kepada Tempo, “Sungguh, karena saya Arema (arek Malang), saya enggak rela Lemah Tanjung hilang. Saya sangat sedih. Makanya, liku-liku hidup, cinta, dan nafas perlawanan dalam novel Lemah Tanjung sedemikian kuat dan gampang terbaca. Saya melawan tidak secara fisik, tapi lewat sastra.”
Selain rajin menulis, Ratna, yang pernah kuliah di Universitas Brawijaya, Malang, dikenal sebagai aktivis sosial-budaya yang turut mendirikan dan mengurusi Yayasan Bhakti Nurani, LSM Entropic Malang, Yayasan Kebudayaan Pajoeng Malang, dan Forum Pelangi Malang. Peraih beberapa penghargaan di bidang sastra dan feminisme itu juga pernah mengikuti seminar dan pelatihan di luar negeri.
Kemarin siang, setelah disemayamkan di rumah duka di Jalan Diponegoro 3, Klojen, Malang, jenazah Ratna dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Samaan, Kelurahan Samaan, Kota Malang, sekitar pukul 13.30 WIB. Pemakaman dilakukan di bawah guyuran hujan.
Ratusan orang mengantarkan Ratna ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Mereka berasal dari beragam latar belakang, khususnya seniman, akademisi, aktivis lingkungan, wartawan, dan aktivis mahasiswa. Tampak pula anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Sri Rahayu dan pendiri klub sepak bola Arema, Lucky Acub Zainal, beserta istrinya.
“Beliau seorang motivator yang tegas dan luwes. Beliau pantang mengeluh meski kondisi fisiknya cacat dan hidup sering dalam kondisi pas-pasan,” ujar Ruhadi Rarundra, anak angkat Ratna yang juga Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu Kabupaten Malang.
Aktivis Perburuhan, Daniel S. Stephanus, mengenang Ratna sebagai orang yang gigih dan ulet. “Mbak Ratna menghasilkan karya-karyanya dalam kondisi fisik yang cacat atau difabel,” katanya. “Tak hanya jadi sastrawan, Mbak Ratna juga seorang aktivis terkenal di Malang.” ABDI PURMONO
CATATAN:
Laporan yang saya buat ini sudah dipublikasikan melalui rubrik Budaya Koran Tempo edisi Selasa, 29 Maret 2011.http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/03/29/Budaya/index.html
0 Komentar