MALANG — Sastrawan senior asal Malang, Ratna Indraswari Ibrahim, meninggal pada Senin pagi tadi sekitar pukul 09.55 WIB. Ratna meninggal dunia dalam usia 61 tahun.
Ruhadi Rarundra alias Siro mengabari, ibu angkatnya itu meninggal di Ruang Unit Stroke, Paviliun Bougenville, Rumah Sakit Umum Daerah dr. Sjaiful Anwar (RSSA) Kota Malang, Jawa Timur. Jenazah disemayamkan di rumah duka Jalan Diponegoro 3, Kelurahan Klojen, Kecamatan Klojen, dan akan diberangkatkan ke Tempat Pemakaman Umum Samaan, Kelurahan Samaan, Kecamatan Klojen, pada jam 12 siang ini.
“Sebelum meninggal, beliau mengalami anfal tiga kali. Minggu kemarin jam 10 pagi dan jam 4 sore. Terus anfal ketiga jam 4 pagi hari ini. Setelah itu tensi darah terus turun, batas atasnya 93 dan bawahnya 54,” kata Siro.
Baca juga: Sastrawan Ratna Indraswari Kembali Dirawat di Rumah Sakit
Ratna dirawat di RSSA sejak Sabtu (26/3). Menurut Siro, Ratna diagnosa menderita sakit stroke, jantung, paru, dan diabetes. Di hari pertama dirawat Ratna juga sempat tak sadarkan diri. Sebelumnya Ratna sempat dirawat empat hari sejak 15 Maret dan kemudian dirawat enam hari sejak 18 Maret.
Dua tahun lalu, sastrawan kelahiran Malang, 24 April 1949, itu juga pernah dirawat sepekan di RSSA sejak Rabu, 4 Desember 2009. Hasil pemeriksaan menunjukkan terjadi penyumbatan di bagian kepala dan sebagian pembuluh darah yang tersumbat sudah pecah.
Waktu itu Ratna dibawa ke rumah sakit setelah mengalami pusing berkepanjangan dan tremor atau kejang di tangan kanan. Selain itu, bagian tubuh bagian kanan sulit digerakkan. Ratna divonis mengalami stroke ringan. Gejala serupa dialami tahun ini.
Biaya perawatan sebesar Rp 24 juta waktu itu
ditanggung saudara, sahabat, teman, kenalan, dan donatur. Mereka dari beragama
latar belakang profesi, seperti wartawan, aktivis prodemokrasi, sastrawan dan
seniman lainnya.
Baca juga: Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim Terserang Stroke
Namun, tahun ini Ratna kehabisan duit sehingga beberapa sahabatnya mengadakan aksi solidaritas penggalangan dana dengan membuka rekening pribadi Ratna.
Dalam sebuah percakapan, Ratna mengatakan, tidak pernah mengalami sakit serius. Dia sangat menjaga pola makan sehingga merasa selalu sehat dan bugar. Dia memang sering merasa kelelahan karena terlibat di banyak kegiatan.
Menurut Ratna, ia sangat menjaga pola makan dan gaya hidup. Ratna makan secukupnya dan itu pun biasanya hanya lima sendok nasi. Dia lebih suka sarapan dengan roti dan telur. Dia juga rajin mengonsumsi sayur dan buah-buahan.
Ratna cacat sejak kecil. Tapi dia dikenal produktif. Ada sekitar 400 cerita pendek dan cerita bersambung, ditambah belasan novel, yang dia buat. Karena cacat, anak keenam dari 11 bersaudara dari pasangan Saleh Ibrahim dan Siti Bidahsari Arifin—keduanya sudah meninggal—itu “menulis” dengan ingatannya. Dia mendiktekan alur cerita, asistennya yang menulis tangan atau diketik dengan mesin ketik atau komputer.
Beberapa karyanya (kumpulan cerpen dan novel), antara lain, Kado Istimewa, Menjelang Pagi, Namanya Massa, Lakon di Kota Senja, Sumi dan Gambarnya, Lemah Tanjung, Pecinan di Kota Malang, dan Lipstik dalam Tas Doni.
Novel Lemah Tanjung didedikasikannya
kepada warga yang menentang pembangunan perumahan mewah di atas lahan hutan
kota. Perumahan itu kini bernama Ijen Nirwana Residence kepunyaan Grup Bakrie.
Bahkan, Ratna terlibat dalam diskusi dan unjuk rasa menentang pengalihan fungsi
hutan kota menjadi perumahan mewah tersebut.
Ratna juga dikenal sebagai aktivis sosial-budaya yang turut mendirikan dan mengurusi Yayasan Bhakti Nurani, LSM Entropic Malang, Yayasan Kebudayaan Pajoeng Malang, dan Forum Pelangi Malang.
Peraih beberapa penghargaan di bidang sastra dan feminisme itu pernah mengikuti seminar dan pelatihan di luar negeri. ABDI PURMONO
CATATAN:
Laporan yang saya buat ini sudah dipublikasikan oleh Tempo Interaktif pada Senin, 28 Maret 2011, pukul 11:08 WIB, dengan judul yang sama.
0 Komentar