Pengumuman Arema tekor Rp 7 miliar lebih, Senin, 1 November 2010. Foto: ABDI PURMONO |
Aremania menonton di Stadion Gajayana di era Liga Bank Mandiri. Foto: ABDI PURMONO |
Suasana di Stadion Kanjuruhan pada Kamis, 15 Mei 2008. Foto: ABDI PURMONO |
Karya: Ipul Palmal |
Salam satu jiwa!
Kawan-kawan Aremania sak ndunyo, tolong dibaca dengan baik-baik, teliti, dan penuh kesabaran agar duduk perkara yang sebenarnya dapat dipahami dengan berimbang dan adil. Prinsip saya: kita sama-sama belajar dari masalah ini dengan bijak dan penuh kerendahan hati.
Di Facebook saya menulis identitas saya sebagai orang yang “Masih belajar membaca, menulis, dan memotret. There’s no angel in the world.” Saya senang belajar dari siapa pun. Sekitar 30-an tahun lalu, saya tahu dasar-dasar catur dari anak SD kelas 3. Anak SD ini cucu guru mengaji saya, juga adik kelas di madrasah ibtidaiyah di Kota Medan. Maaf, jadi sedikit bernostalgia...
Saya sangat bisa berempati (bukan sekadar bersimpati) terhadap posisi dan perasaan nawak-nawak Aremania setelah muncul laporan investigasi majalah TEMPO edisi 24-30 Januari 2011 soal suap di jagat persepakbolaan kita, dengan sampul berjudul "KORUPSSI, Priiit...! Banyak sandiwara di lapangan bola."
Tiga kali saya membaca laporan itu agar saya tak salah atau asal-asalan memahaminya. Setelah membacanya, saya merasa agak malu dan makin memahami mengapa kemudian Aremania protes, mulai protes halus sampai kasar (ada yang pakai mengancam segala), mulai dari yang pakai otak sampai yang asal celometan.
Lima poin sanggahan yang ditulis oleh Mas Teguh R. Handoyo dan disampaikan ke Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO pada Selasa, 25 Januari 2011, sudah proporsional. Satu poin lagi (tepatnya di poin keenam) ditulis begini: Kontributor majalah Tempo di Malang (Abdi Purnomo) sepertinya perlu dipertanyakan kredibilitasnya karena banyaknya informasi yang tidak akurat dan menggiring opini negatif para pembaca.
Sedangkan isi poin ketujuh: Bapak Pemimpin Redaksi yang terhormat, Arema tidaklah suci dan sempurna. Namun kami juga tidak seburuk dan sekotor yang digambarkan dalam tulisan Anda.
Mas Teguh sudah memberikan contoh sangat baik dan berharga tentang bagaimana seharusnya persoalan pemberitaan diselesaikan dengan cara yang beradab dan elegan, yakni dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi.
Kedua hak itu diatur dan dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tepatnya di Pasal 1 (ayat 11, 12, dan 13), Pasal 5 (ayat 2 dan 3), yang mewajibkan pers melayani hak jawab dan hak koreksi. Kalau kedua hak ini tidak dilayani, maka perusahaan pers dikenakan pidana denda sebesar Rp 500 juta.
Kewajiban wartawan untuk melayani hak jawab dan hak koreksi itu juga disebutkan dalam Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik: wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Insya Allah, majalah TEMPO akan memuat utuh surat Mas Teguh pada edisi terbaru yang terbit tiap Senin (31 Januari 2011). “Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan,” demikian bunyi ayat 13 Pasal 1 UU Pers.
Apa yang dilakukan Mas Teguh semoga ditiru Aremania dan komunitas suporter lainnya jika menghadapi masalah serupa dengan media massa mana pun. Arema dan Aremania sudah menjadi salah satu ikon dan aset paling berharga bagi dunia persepakbolaan kita.
Nawak-nawak Aremania, saya bukan penulis laporan itu. Dalam susunan redaksi Tim Investigasi Suap Sepak Bola, saya bersama 12 rekan koresponden lain (Palangkaraya, Surabaya, Denpasar, Wamena, Samarinda, Bandung, Kediri, Yogyakarta, Solo, Bojonegoro, Makassar, dan Jakarta) hanya tercatat sebagai penyumbang bahan. Ini jelas tertulis di edisi cetak majalah TEMPO, bukan versi online-nya. Saya ini laksana prajurit dalam satu regu patroli militer.
Di atas para penyumbang bahan ada penanggung jawab, kepala proyek, penyunting, dan penulis. Beginilah urutan personel dalam tim dari atas ke bawah. Tim inilah yang mengolah seluruh bahan (biasa diistilahkan sebagai bahan belanjaan) dengan menempuh banyak tahap atau prosedur. Coba bayangkan, untuk satu berita biasa di koran, misalnya, bisa melewati enam tahapan proses, apalagi untuk laporan panjang.
Pembaca tinggal membaca tanpa dikenai kewajiban untuk ikut repot dan peduli memikirkan bagaimana susahnya menggarap sebuah berita. Sebaliknya, kalau ada berita yang keliru, pembaca justru berhak mengoreksi atau membantahnya. Cara terbaiknya ya seperti yang dicontohkan Mas Teguh.
Meski hanya seorang penyumbang bahan, saya sudah bekerja menurut prosedur dan standar jurnalistik. Dalam waktu dua minggu saya menghubungi 9 narasumber. Semua narasumber bukan narasumber eceran atau ecek-ecek. Mereka saya nilai memiliki kredibilitas sesuai dengan kapasitasnya masing-masing baik sebagai pelaku maupun saksi.
Tidak semua narasumber mau diungkap identitasnya dan saya wajib melindungi identitas dan keberadaannya sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik. Dan tak semua keterangan dikutip karena belum tentu relevan dengan tujuan laporan dibuat.
Saya sama sekali tidak menyetor bahan laporan tentang pertandingan-pertandingan Arema berikut skor akhir pertandingannya, makanya saya kaget juga Arema disebut mengalahkan Persija Jakarta dengan skor 2-1. Padahal Arema menang telak 5-1.
Dari 5 poin sanggahan yang dibuat Mas Teguh, hanya soal peran Nirwan Dermawan Bakrie yang nyambung dengan bahan laporan yang saya kirim ke redaksi. Kisah peran Nirwan sudah lama saya ketahui langsung dari Mas Lucky alias Sam Ikul, pendiri Arema.
Saya hafal garis besar cerita pengelolaan Arema dari masa awal berdiri sampai dibantu Nirwan hingga kisah Arema sekarang. Saya menulis Nirwan membantu Arema Rp 61 juta. Bantuan diberikan setelah Arema 86 terpaksa dibubarkan pada pertengahan Juni 1987 karena kehabisan duit. Kemudian Arema 86 dihidupkan dengan nama baru: Arema.
Setelah uang diterima, Sam Ikul menguatkan status PS Arema dengan membentuk Yayasan Arema dengan akta notaris Pramu Handoyo No. 58 tanggal 11 Agustus 1987. Tanggal inilah yang sampai sekarang diperingati sebagai hari ulang tahun Arema.
Sam Ikul dapat memenuhi janjinya mampu mendatangkan penonton dalam jumlah besar untuk ukuran klub baru seperti Arema. Waktu itu Persema Malang masih memiliki jumlah penonton terbanyak. Karena kinerja Arema sudah bagus di tahun pertama, Nirwan kemudian menjadi donatur alias tidak menjadi penyandang dana sepenuhnya.
Nirwan sempat pula meminjamkan gratis Bambang Nurdiansah alias Banur (kini jadi pelatih Jakarta 1928, klub peserta Liga Primer Indonesia/LPI) kepada Arema di putaran kedua kompetisi Galatama 1988-1989. Waktu itu Banur dikenal sebagai raja gol.
Nirwan dan Sam Ikul (dengan PT Putra Arema) juga berkongsi merenovasi Stadion Gajayana di masa Wali Kota Soesamto (1988-1998). Nirwan membantu hingga Arema menjadi juara Galatama XII (1992-1993).
Setelah itu manajer Arema berganti-ganti, mulai Haji Mislan, Vigit Waluyo (anak Haji Mislan), Iwan Budianto, Gandi Yogatama, sampai kemudian diambilalih PT Bentoel Prima pada Rabu, 29 Januari 2003, di Hotel Regent’s Park. Skenario pengambilalihan Arema dibahas dan diputuskan di rumah Bapak Iwan Kurniawan, bos PT Anugerah Citra Abadi di Jalan Karya Timur 52 (call sign KT-52).
Selama dipegang Bentoel, Arema tak lagi dipusingkan masalah keuangan. Bentoel mengumumkan pelepasan Arema pada Senin, 3 Agustus 2009, di Hotel Santika. (Saya bersyukur bisa ikut menghadiri kedua momen bersejarah Arema itu.)
Arema kembali sempoyongan setelah dilepas Bentoel. Masalah klasik muncul lagi: gaji pemain dan karyawan telat dibayar. Akibatnya, pemain sempat mogok latihan. Robert Alberts sempat mengancam mengundurkan diri.
Dalam kondisi genting, Nirwan kembali membantu Arema. Pada Kamis, 14 Oktober 2010, Ketua Yayasan Arema Muhammad Noer memperkenalkan sponsornya di Ijen Nirwana, perumahan elit milik Grup Bakrie. Noer mengumumkan Arema mengantongi uang sponsor sekitar Rp 11 miliar, sekitar Rp 4,5 miliar dari Ijen Nirwana.
Selebihnya berasal dari Bank Saudara Rp 5 miliar, PT Mitra Pinasthika Mustika (distributor tunggal sepeda motor Honda untuk wilayah Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur) Rp 800 juta ditambah 17 unit sepeda motor senilai sekitar Rp 221 juta.
Belum sebulan, pada 1 November manajemen justru mengumumkan defisit alias tekor Rp 7.136.000.000 (foto saya lampirkan). Pembayaran gaji pemain untuk tiga bulan (Agustus, November, Desember 2010) pun tertunda-tunda, sampai akhirnya kapten Pierre Njanka menyatakan hengkang pada Senin, 10 Januari 2011.
Dua hari kemudian, tepat sebelum Arema bertanding melawan tuan rumah PSPS Pekanbaru, manajemen membayarkan gaji untuk bulan November dan Desember. Dari mana duitnya? Gelap. Beberapa narasumber menyebutkan duit berasal dari pinjaman Pak Iwan dan bukan sekali ini duit Pak Iwan dipinjam Arema. Sudah jamak diketahui Pak Iwan seorang dermawan.
Saya pun bertanya pada Pak Iwan dan jawabannya berupa SMS yang saya terima pada Kamis, 20 Januari 2011, pukul 18.46 WIB.
“Kalau soal Arema janganlah, Mas, karena tujuan saya bantu Arema tanpa pamrih karena setelah mendadak tidak ada sponsor dari Bentoel, Arema agak kedodoran. Jadi saya punya tanggung jawab moral saja. Lagi pula Arema merupakan komunitas yang bagus untuk persepakbolaan di Malang dan Indonesia. Gitu aja ya, Mas. Besok kita sambung lagi karena aku lagi nemenin tamu. Salam satu jiwa.”
Selama mencari dan mengumpulkan bahan laporan itu pula saya jadi tahu siapa sebenarnya pemegang saham Arema. Narasumber saya menyebutkan, setelah dilepas Bentoel, komposisi kepemilikan saham dipegang Yayasan Arema dan Sam Ikul, dengan jumlah saham 14 lembar.
Sebanyak 13 lembar saham dimiliki Yayasan Arema, dengan pengurus Muhammad Noer, Moedjiono Moedjito, dan Rendra Kresna. Sisa satu lembar saham (7 persen) diberikan kepada Sam Ikul sebagai penghormatan kepada sang pendiri Arema. Nilai tiap saham Rp 1juta. Jadi, sejak dilepas Bentoel, Arema punya saham hanya sebesar Rp 14 juta!
Dan masih banyak kisah menarik dan “seram” lainnya, seperti kisah manajemen yang amburadul disertai konflik di dalamnya.
Bahan laporan yang saya kirim kemudian “dijahit” oleh redaksi, digabung dengan bahan laporan dari teman-teman saya yang lain. Kisah tentang Arema dalam laporan itu mirip kompilasi dari berita-berita yang sudah ada sebelumnya, termasuk dari berita saya untuk Tempo Interaktif dan Koran Tempo. Sebagian besar informasi dalam laporan sudah diketahui publik pencinta sepakbola.
Menurut saya, secara keseluruhan, laporan investigasi itu sudah berimbang karena ada tanggapan dari pihak-pihak yang disebut. Substansi isunya sudah menggambarkan masalah sangat besar dalam persepakbolaan kita. Kalau ada narasumber tak mau diungkap identitasnya, itu menjadi hak narasumber yang wajib dilindungi wartawan.
Saya tidak menggarap bahan laporan berdasarkan “pesan sponsor” dari pihak-pihak tertentu seperti dituduhkan beberapa Aremania kepada saya. Saya juga menolak jika disebut TEMPO telah beropini dan sengaja menyudutkan Arema. Tapi untuk hal ini biar redaksi saja yang menjelaskan.
Yang jelas lagi terbaca oleh saya adalah laporan investigasi itu sama sekali tidak fokus ke konflik antara PSSI dengan konsorsium Liga Primer Indonesia.
Bagi saya, LSI dan LPI hanyalah alat untuk memajukan persepakbolaan Indonesia. Tinggal tergantung siapa operator atau pelaksananya; baik atau buruk, becus atau goblok, profesional atau tidak profesional. Silakan publik pencinta sepakbola yang menilai siapa nantinya jadi operator terbaik.
Sikap dasar saya soal LSI dan LPI itu sudah saya tegaskan kepada orang-orang LPI dan petinggi PT Liga Indonesia, juga kepada teman-teman wartawan yang mungkin sengaja menggoda atau memang ingin mengejek saya sebagai wartawan pro-LPI.
Adalah fakta Koran Tempo menjadi sponsor LPI. Ini hubungannya dengan kegiatan marketing. Redaksi tak ikut campur. Walau Koran Tempo jadi sponsor LPI, saya tak pernah dipaksa meliput kegiatan LPI. Begitu pula dengan LSI. Bagi saya, kehadiran LPI mendatangkan peluang untuk membuat berita lebih banyak.
“Cukup sekali kutegaskan. Aku bukan wartawan LPI atau wartawan LSI. Aku wartawan TEMPO. Uang LPI dibelah tujuh pun tak pernah kuterima,” begitu saya menegaskan kepada beberapa teman wartawan.
Penegasan itu pertama kali saya sampaikan di ruang kerja Panitia Pelaksana Pertandingan Arema pada Senin, 16 November 2010, atau empat hari setelah laga amal antara Persema melawan Indo Holland digelar di Stadion Gajayana.
Saya bekerja untuk TEMPO selama hampir 10 tahun. Sedikit-banyak saya tahu bagaimana TEMPO menjaga independensinya. Saya kira, tak hanya di TEMPO, semua media memang harus menjaga otonomi redaksinya, termasuk harus terbebas dari intervensi pihak marketing.
Aremania silakan tak percaya atau ragu-ragu. Aremania berhak memberi nilai positif dan negatif. TEMPO bukanlah media yang 100 persen murni steril dari kelemahan dan kesalahan. TEMPO tidak terlalu suci untuk diagungkan meski masih memiliki reputasi yang bagus hingga sekarang—minimal bagi para penggemarnya.
Saya kagum pada TEMPO, tapi saya menolak menjadi pengagum yang buta karena terlalu fanatik sehingga sulit menerima atau malah tak mau menerima kelemahan TEMPO. Seingat saya, pendiri TEMPO mengajarkan, kebenaran bisa datang dari siapa pun dan dari tempat-tempat yang paling tidak kamu sukai.
Asal nawak-nawak sekalian ketahui juga, gara-gara polemik tentang LSI dan LPI, hubungan antara beberapa teman wartawan di Malang menjadi kurang harmonis dan terkesan berkubu-kubu: pro LSI dan pro LPI. Hubungan tak harmonis ini berdampak cukup buruk pada saya dan banyak teman wartawan yang ingin tetap bekerja profesional dan menjaga independensinya. Saya menyebutnya sebagai wartawan “poros tengah”.
Oleh karena itu, wartawan poros tengah berencana mengadakan sebuah diskusi tentang independensi media dalam liputan sepakbola pada Februari mendatang. Jadwal pastinya sedang dibahas. Doakan ya semoga rencana kami lancar.
Saya cukup hafal sejarah Arema dan Aremania dari awal berdiri sampai sekarang. Hafalan ini tidak hanya saya dapat dari bacaan, tapi juga cerita dan kesaksian para pelaku, terutama pendiri Arema, serta kehadiran saya di stadion dan di luar stadion untuk merekam jejak-jejak Arema dengan segala romantikanya. Sebagian romantika itu saya rekam dalam foto seperti saya muat di album foto di Facebook yang saya beri judul “Salam Satu Jiwa!”
Masa kerja saya masih pendek. Sebelum bekerja untuk TEMPO, saya bekerja untuk majalah PANJI Masyarakat dengan tugas pertama di Aceh dan Medan (1999-2000), lalu Jakarta. Karir saya di TEMPO dimulai dari Jember, lalu ke Malang hingga sekarang. Aktivitas lain adalah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang dan mengajar di Universitas Muhammadiyah Malang.
Saya sekolah memang untuk jadi wartawan. Saya sangat paham prinsip dan standar jurnalistik yang tak boleh dilanggar seorang wartawan.
Saya tidak memaksa, tapi kalau mau adil menilai, silakan lihat arsip-arsip berita saya tentang Arema di www.tempointeraktif.com dengan nama asli saya ABDI PURMONO atau ABDI PURNOMO (nama kedua ini keliru) di mesin fasilitas pencarian berita di pojok kanan atas.
Apabila saya dianggap bersalah karena membuat berita bohong sehingga menimbulkan fitnah atau sengaja merugikan Arema dan Aremania, apalagi saya dituduh membenci Arema, tentu saya takkan menerima semua ajakan pertemanan dari banyak Aremania di Facebook.
Hasilnya, saya menerima banyak kritik, protes, cacian, dan ancaman. Namun semua saya terima dengan lapang dada dan semampu mungkin saya menjelaskan masalahnya kepada Aremania yang bertanya. Menyampaikan surat terbuka ini merupakan bentuk tanggung jawab moral saya kepada Aremania.
Dan, alhamdulillah, banyak Aremania yang kini menjadi teman setelah mendapat penjelasan dari saya. Beberapa Aremania memang sudah mengenal saya secara pribadi jadi lebih mudah memahami sikap dan posisi saya sekarang ini. Saya percaya, banyak teman mendatangkan banyak kebaikan.
Jika masih banyak Aremania keberatan, silakan protes ke redaksi dan lapor ke Dewan Pers. Minta Dewan Pers menjadi mediator. Bila perlu Aremania silakan berunjuk rasa di kantor majalah TEMPO jika TEMPO tak melayani pemuatan surat dari Mas Teguh.
Saya juga mencintai Arema tapi kita bisa berbeda cara dan gaya dalam mengekspresikannya; kita boleh tidak saling suka, tapi jangan sampai saling membenci sehingga kita harus bersikap egoistis dan bersikap pokoke dengan menolak kebenaran dari orang yang tidak kita suka atau kita benci.
Saya sangat menghargai dan menaruh hormat terhadap Aremania yang memberikan tanggapan. Apabila ada hal-hal yang belum memuaskan dan tidak mengenakkan hati dalam surat terbuka ini, saya meminta maaf lahir dan batin dengan setulus-tulusnya.
Matur sembah nuwun untuk kesediaan Aremania membaca dan memahaminya.
Malang, Minggu, 30 Januari 2011 (pukul 01.15 WIB)
SALAM SATU JIWA: AREMA!
Abdi Purmono/Abel
1 Komentar
tp efect beritanya bagaiaman..ap cukup dengan hak jawab..he,at saya diadakan diskusi terbuka dengan perwakilan aremania dan diliput oleh media cetak dan electronik denganm menghadrikan semua yang terlibat dalam berita(kontributor dan awak redaksi tempo) kalo itu sudah bru clear...klo ga percumah lah..efec ny sudah terlanjur negatif baget..dan semua orang juga tahu bahwa arema juara krn PSSI....hak jawab tidak mengurangi tu..belum manjawab knp bbrp poin di berita tempo bisa negatif terhadap Arema.
BalasIt pendapat saya setelah saya baca seksama dan ternyata tempo juga sponsor LPI ya...
Thanks
Salam Satu Jiwa Arema Indonesia