Sumber foto: Wikipedia
|
TANGGAL 25 Maret, jam dua puluh. Layar Emas Rabu RCTI menyuguhkan film Bad Girls.
Disusul 1 dan 8 April dengan The Young Guns.
Bad Girsl berlatar tahun 1888, semasa Amerika Serikat (AS)
dipimpin presiden ke-22, Grover Cleveland (18 Maret 1837-24 Juni 1908) dari
Partai Demokrat. Rakyat AS pun masih berjumlah 63 juta jiwa.
Sebagaimana The Quick and the Dead (dibintangi
Sharon Stone sebagai penembak ulung dan sangat menggiurkan di Basic Instinct), Bad
Girls termasuk film tak laku. Masih mendingan The Ballad of Little
Jo yang sukses menampilkan sentuhan feminis yang manis dalam sebuah
film bertema keliaran Dunia Barat.
Sedangkan The Young Guns bak merekonstruksi sepak
terjang “Para Pengatur” seraya mengurai legenda William B. Hooney alias Billy
the Kid. Di masa Presiden Rutherford R. Hayes (4 Oktober 1822-17 Januari 1885),
presiden ke-19 dari Partai Republik (partai ini didirikan di negara bagian
Wisconsin, 1854), memerintah 1877-1880. Film ini mendeskripsikan Billy the Kid
sebagai jago tembak maniak, punya “nyawa rangkap”, plus mega-licik. Padahal,
dalam diri Billy toh masih menyimpan
kelembutan bagai Robin Hood.
Tapi The Young Guns terlanjur dicap terlampau
kasar. Hal ini mendorong stasiun ABC
membuat tiruan yang lebih lembut, The Young Riders, yang digarap
1989-1992. Menyusul Twentieth Century Fox membikin serial The Advanture
of Brisco County Junior pada 1993. Film yang rutin muncul di TPI ini
tetap bernuansa ke-Western-an sekalipun pihak produser enggan filmnya dikatakan
demikian, dan merasa lebih sreg dengan sebutan film fantasi
yang meramu fiksi-ilmiah tentang perjalanan melintasi waktu.
Sebagaimana mafhumnya film-film Western, persamaan film koboi itu
adalah pada pakem dar-der-dor yang menjadi “bahasa resmi” para
koboi dalam memungkaskan persoalan. Pistol maupun senapan mereka siap menyalak
tanpa banyak bacot: membunuh atau dibunuh, itulah pilihannya. Titik.
Oleh peradaban “Wild West”, duel dan baku tembak lebih merupakan
sebuah “kesenian” yang halal, walau ada tokoh seperti Old Shatterland—tokoh
rekaan Karl May, pengarang yang fasih bertutur mengenai “Dunia Barat yang
Biadab”—yang mengharamkan darah siapa pun.
Bukan berarti semua film koboi sepi dari semangat moralitas. The Big Valley dan Bonanza, barangkali dua contoh yang pantas mewakilinya. Kedua film ini pernah mejeng di TVRI.
Dalam sebuah episode The Big Valley, misalnya, para anak lelaki
Barbara menolong seorang pemilik peternakan (ranch) yang berusaha
membela tanahnya yang hendak dirampas untuk jalur kereta api. Tembak-menembak
terjadi. Sejumlah orang koit.
Tetapi, pembunuhan demi mempertahankan tanah merupakan bagian dari
etika Western. Hukum di “Old West” juga membenarkan, bahwa menembak seseorang
dalam sebuah tarung one by one tidaklah dosa. Melainkan sebuah
tindakan sportif dan kesatria, persis Musashi yang memilih “Jalan Pedang”.
Bahkan, bila perlu, beberapa nyawa harus ditumbalkan demi keselamatan orang
yang lebih banyak.
Kehidupan di zaman koboi bebas baku tembak, terang, bukanlah
kehidupan yang tertib, di mana kekerasan niscaya terjadi saban waktu. Usah
dihiraukan hukum yang lacur dijadikan olok-olok dan omong kosong. Hukumnya,
yang kuatlah yang menang; migth is rigth.
Film The Man Who Shot Liberty Valance (1962)
karya John Ford dan John Wayne selaku the man (pernah
merenggut Oscar 1969 untuk predikat aktor terbaik lewat True Grit), Midnight
Cowboy—meraih Oscar di bidang penyutradaraan (John Schlesinger) dan film
terbaik, Little Big Man (1970) dari Arthur Penn, dan Buffalo
Bill and the Indians (1976) besutan Roger Altman, merupakan sejumlah
contoh film made in Hollywood yang sarat oleh mitos sejarah
“Barat yang Liar”.
Kalau pun ada film Western yang berusaha menghormati hukum,
mungkin The Unforgiven (1992) bisa dijadikan teladan. Dalam film
ini, Clint Eastwood menyutradarai merangkap tokoh William Munny, seorang
pembunuh dengan kasus akut. Ketika sherif (dilakoni Gene Hackman, the best
actor Oscar 1971 dalam The Frenc Connection), membabi-buta
menendangi Munny, seorang lonte bernama Strawberry Alice (Franches Fisher)
berteriak lantang mengingatkan bahwa ia menggebuki orang tak bersalah. Artinya,
sang sherif harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
The Unforgiven dihadiahi Academy Award—nama lain
Piala Oscar—untuk kategori film terbaik, dan Clint Eastwood (belajar menjadi
koboi di serial teve Rawhide, sebuah film Western yang berorientasi
kepada keluarga) sendiri kebagian Patung Paman Oscar sebagai sutradara
terbagus.
Biar begitu, tak sedikit film Western yang diskriminatif.
Tengoklah, betapa orang Indian, yang notabene penduduk asil AS, seringkali diposisikan bagai gerombolan manusia primitif yang buas karena dianggap gemar menguliti kepala koboi yang apes.
Padahal, boleh jadi, mereka melakukannya untuk membalas
kesewenang-wenangan kaum kulit putih yang seenaknya mengembat per jengkal tanah
dan menghabisi orang-orang Indian, terhitung sejak kaum kulit putih/pendatang mendirikan
koloni permanen Inggris di Jamestown, Virginia, 1607.
Paling-paling film televisi Dr. Quinn (diperankan
Jane Seymour) yang betul-betul jujur memperlakukan orang-orang Indian. Dalam
satu episodenya, Quinn ditampilkan sedang mengajar anak-anak Indian, dan
ditutup dengan kehadiran seorang pendeta yang mencoba menyebarkan ajaran
Kristen kepada masyarakat Indian. Namun di film ini tak tampak warna tradisi
Western yang sejati.
Atau tontonlah Dance with Wolves-nya Kevin Costner.
Academy of Motion Picture Art and Sciences (AMPAS—Akademi Seni dan Pengetahuan
Perfilman AS) menganugerahi tujuh Oscar dari 12 nominasi untuk film itu. Dua di
antaranya untuk kategori film dan sutradara (Kevin Costner) terbaik. Film ini
sudah ditayangkan beberapa kali teve swasta kita, dan bakal diputar kembali
oleh Indosiar pada 25 April (Sabtu malam Minggu) nanti.
Harian Analisa, Minggu, 19 April 1998 |
Pada 1860 Abraham Lincoln (lahir 12 Februari 1809) terpilih
menjadi presiden AS ke-16. Pada 20 Desember-nya, South Carolina dan enam negara
bagian di Selatan menceraikan diri dan membentuk Konfederasi Negara-Negara
Amerika. Pasalnya, ketujuh negara bagian ini tak setuju atas sikap Presiden
Lincoln yang menentang keras diperluasnya perbudakan ke territories di
bagian Barat. Pemisahan diri ini menimbulkan kekisruhan dan berujung pada
perang saudara (12 April 1861-9 April 1865).
Perang saudara kian sengit. Terlebih tatkala Presiden Lincoln
memaklumkan Proklamasi Emansipasi yang memerdekakan budak-budak di
negara-negara bagian Selatan, 1 Januari 1863. Sayang, keteguhan sikap Presiden
Lincoln menuai nahas. Ia tewas pada 15 April 1865, sehari sesudah ditembak di
Washington D.C. saat mengunjungi teater.
Diskriminasi ras/warna kulit itu berlangsung ratusan tahun hingga
pergolakan sosial marak pada 1960-an. Tak kurang, Presiden John F. Kennedy (29
Mei 1917) menjadi korban pembunuhan pada 22 November 1963. Pendeta Marthin
Luther King Junior, pemimpin perjuangan hak-hak sipil dan pemenang Nobel
Perdamaian, pun turut menjadi korban pembunuhan di Memphis, Tennesse, 4 April
1968.
Akan tetapi, selepas pergolakan tersebut, yang mencapai titik
senshtif secara moral pada 1950-an, kesederhanaan dan kepolosan mitos Western
malah raib. Televisi mulai menanggalkan kisah-kisah Western dan menyerahkannya
ke bioskop. Apalagi pemasangan iklan semakin aktif membidik kelompok pemirsa
muda yang emoh menonton film-film Western bergaya kolot. Padahal, pada 1955 film-film seperti Gunsmoke, Cheyenne, dan Life and Legend of Wyatt Earp sedang getol-getolnya melakukan pemutaran perdana.
Pada 1960-an, empat di antara lima film paling top di teve adalah
yang bercorak Western. Sebagai contoh, Gunsmoke mampu bertahan
selama dua dasawarsa dan Bonanza 14 tahun. Konon, tontonan
nostalgia ini difokuskan pada masa AS memiliki suatu moralitas yang tak
diragukan.
Entahlah. Sekarang terasa agaknya kalau teve sudah menggusur
film-film Western bertema buram, bersamaan dengan hadirnya drama keluarga
maupun serial komedi-keluarga. Singkat omong: film Western tradisional di teve
telah di-dor oleh pertimbangan-pertimbangan demografis dan
komersial.
Film-film eksyen layar lebar atau serial semisal NYPD Blue, Silk
Stalking, Land’s End, Pasific Drive, jelas mewarisi genre Western,
di mana orang baik (terutama polisi) tetap saja diperbolehkan men-dor penjahat.
Bercermin pada film koboi—film Western pertama dibuat pada 17
Desember 1903, berjudul The Great Train Robbery—kita akan
mengetahui bahwa akan selalu ada manusia-manusia berwatak keras dan karenanya
menyenangi jalan yang keras. Bahkan, Alfred Hitcock, pencipta Trio Detektif,
punya pandangan bahwa kejahatan berliang di dalam hati manusia dan karenanya
punya potensi untuk biadab. Jadi, bagi yang anti-film koboi, haraplah jangan
terlalu.
Toh dulu, kita juga punya film koboi versi komedi
Nya Abbas Acup (Malang, 22 April 1932), mantan asisten H. Usmar Ismail.
Tercatat Bing Slamet membintangi Koboi Cengeng (1974), dan Koboi
Sutra Ungu (1982) yang lebih merupakan parodi atau ilusi terhadap
bintang-bintang Hollywood, seperti ditokohkan Olan Delong (Alain Delon) dan
Charles Brondong (Charles Bronson), sekaligus menjadi ekspresi kritik Nya Abbas
Acup terhadap kehidupan sosial di masyarakat Indonesia.
Dan, astaga! Saya pernah kepingin menjadi koboi. Tapi, apa daya,
saya tak bisa menunggang kuda. Aha, lalu: Welcome to the Malboro
Country.
Maaf, Anda jangan salah sangka. ABDI PURMONO
CATATAN
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan dimuat di harian Analisa, Medan, Minggu, 19 April 1998, berjudul sama dengan judul naskah aslinya.
CATATAN
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan dimuat di harian Analisa, Medan, Minggu, 19 April 1998, berjudul sama dengan judul naskah aslinya.
0 Komentar