Akhmad Zainuri Foto: ABDI PURMONO |
"Karena tempaan hidup yang keras, Zainuri terlatih menjadi orang yang gigih."
Fina Trias sedang tekun di depan sebuah komputer. Jari-jari tangan dara berusia 24 tahun ini lincah meraba-raba tuts pada papan ketik yang ditempeli huruf braille beralfabet A-Z dan angka 0-9 yang terbuat dari kertas mika warna biru. Tuts braille itu akan bersuara sesuai dengan abjad dan angka yang ditekan. "Alat ini sangat membantu kami, meski jumlahnya baru satu," kata Fina kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Fina adalah seorang dari 105 penghuni Panti Rehabilitasi Sosial Cacat Netra Malang Budi Mulya di kawasan Sukun, Kota Malang. Gadis asal Ponorogo itu menderita low vision alias kondisi lemah penglihatan yang tidak dapat dibantu dengan menggunakan kacamata biasa.
Alat itu bernama Braillevoice, yang diciptakan oleh Akhmad Zainuri, lulusan Jurusan Elektronika Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang. Tiga tahun yang lalu, lajang kelahiran 20 Januari, 25 tahun silam, itu sengaja mendatangi Panti Budi Mulya untuk mengamati kegiatan belajar-mengajar di sana. Ia melihat, kaum tunanetra masih kesulitan mengikuti kegiatan belajar-mengajar dan sangat bergantung pada huruf braille.
Begitu pula untuk menulis huruf braille, mereka memerlukan reglet (semacam cetakan huruf braille) dan pencoblos mirip paku untuk menulis. Alat ini menjadi tumpuan para instruktur untuk menyalin materi pelajaran. Padahal penerjemahan huruf latin menjadi huruf braille memerlukan kertas khusus dengan ketebalan tertentu.
Karena itu, para guru harus mengirit penggunaan kertas dengan memakai kertas bekas. Maklum, kertas khusus untuk braille susah didapatkan di pasar. "Mereka belajar dengan metode yang masih konvensional dan masih harus dibimbing oleh instruktur," kata Zainuri kepada Tempo.
Sepulang dari Panti Budi Mulya, Zainuri bertekad membuat alat bantu baru bagi para tunanetra. Gagasannya adalah mengubah papan braille dengan cetak timbul huruf braille yang berfungsi mengenalkan huruf menjadi media pembelajaran elektronik yang bisa dioperasikan secara otomatis sehingga memudahkan kaum tunanetra belajar mandiri.
Braille ia ciptakan setelah melakukan serangkaian penelitian selama tiga bulan, dengan modal Rp 800 ribu (Rp 500 ribu dari Universitas Brawijaya dan Rp 300 ribu dari kantong sendiri). Setelah jadi, ia menghibahkan Braillevoice untuk Panti Budi Mulya.
Dengan Braillevoice ciptaannya ini, Zainuri meraih sejumlah gelar juara dan penghargaan, antara lain juara pertama dalam pemilihan Youth National Science and Technology Award yang diadakan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, dan penghargaan Pemuda Andalan Nusantara dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga pada 14 Juli lalu.
Sebelum membuat Braillevoice, Zainuri pernah membuat Arabic Braillevoice untuk membantu penyandang tunanetra dalam belajar aksara Arab atau huruf Hijaiyah. Prinsip kerjanya sama dengan Braillevoice yang dipakai di Panti Budi Mulya. Arabic Braillevoice ini sampai sekarang terus dikembangkan untuk memenuhi aspirasi para tunanetra yang menginginkan tak cuma dibuatkan huruf Hijaiyah, tapi juga huruf Arab yang bisa ditulis sambung ; misalnya berbunyi abata dan babibu, sebagaimana kerja alat bantu belajar membaca Al-Quran.
Zainuri dan beberapa temannya juga pernah membuat alat untuk mendeteksi jemaah haji yang tersesat. Diberi nama Muhajji Finder, alat ini berbasis teknologi GPS atau global positioning system. Alat ini bekerja dengan mencari koordinat posisi yang diterima dari satelit, yang kemudian dikirim ke server melalui SMS pada telepon seluler. Muhajji Finder kemudian melakukan tracking dengan software Google Earth. Dengan Muhajji Finder, Zainuri dan kawan-kawan meraih gelar juara pertama dan juara umum pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XXI di Semarang.
Dari hasil kreativitasnya ini, Zaenuri meraih 19 prestasi berupa gelar juara dan penghargaan dalam kurun 2005-2008. Sebelum kuliah (1998-2003) pun ia telah mengoleksi 30 prestasi dari berbagai lomba di sekolah dan di luar sekolah. "Saya ingin beraktivitas positif demi masa depan saya dan keluarga saya," kata Zaenuri.
Kreativitas yang dimiliki Zainuri mulai tampak sedari ia masih kecil. Saat kelas dua sekolah dasar, Zaenuri sudah bisa memperbaiki radio, membuat lampu, dan merakit mobil-mobilan untuk mainan. Menjelang masuk sekolah menengah pertama, Zainuri juga menjadi loper koran. Uang dari menjual koran ini ia belikan komponen listrik, juga untuk biaya sekolah. Untuk bisa mengirit, selama sekolah dan kuliah Zainuri juga mengandalkan buku pelajaran hasil fotokopi atau meminjam dari teman.
Berderet prestasi yang diraih Zaenuri bukan datang tiba-tiba. Zaenuri terlahir dari keluarga sederhana. Ia kini tinggal bersama kedua orang tua dan dua adiknya di sebuah rumah berukuran 8 x 11 meter di pojok jalan sempit di kawasan Tlogomas, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Tanah yang ditempati keluarga Zaenuri itu sebagian dibeli dari uang hadiah kejuaraan yang diraih Zainuri. "Ayah saya hanya bekerja sebagai penjual tahu goreng, jadi saya harus membantunya" ujar Zaenuri.
Karena tempaan hidup yang keras itu, Zainuri dan saudara-saudaranya terlatih menjadi orang yang gigih. Kakaknya bekerja di Surabaya sebagai teknisi komputer. Adik perempuannya kuliah di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya. Sedangkan si bungsu baru diterima di Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya. "Saya dan adik-adik saya bisa kuliah lewat beasiswa. Ini untuk mengurangi beban orang tua," ujarnya. ABDI PURMONO
Mencari Investor
Braillevoice dibuat dengan memanfaatkan keyboard komputer. Keyboard itu dimodifikasi dengan ditempeli cetak timbul huruf dan angka braille yang terbuat dari kertas mika. Huruf dan angka dicetak dengan cara ditatah satu per satu dari A sampai Z dan 0-9.
Keyboard dimodifikasi dengan menambahkan micro-controller, voice memory, headphone, dilengkapi dengan pengatur laju kecepatan dan pengatur volume suara. Zainuri juga menambahkan tempat baterai--empat buah baterai--sebagai sumber daya, selain bisa menggunakan listrik.
Micro-controller berfungsi mengatur cara kerja alat, termasuk suara dan waktu. Voice memory untuk menyimpan suara huruf dan angka. Sedangkan headphone untuk mendengarkan, juga untuk mencegah timbulnya berisik saat dipakai belajar bersama. Headphone dapat digantikan dengan pranala alat bantu dengar lainnya.
Kelebihannya, selain dapat meraba layaknya menggunakan papan braille konvensional, siswa tunanetra dapat mengenali huruf dan angka dari bunyi yang dihasilkan. Seluruh bunyi huruf A-Z dan angka 0-9 merupakan rekaman suara Zainuri sendiri.
Ia bertekad mengembangkan Braillevoice menjadi komputer braille yang makin canggih dan terhubung dengan Internet, tapi tetap berbiaya murah agar terjangkau oleh kaum tunanetra. Di Indonesia memang belum tersedia fasilitas Internet khusus bagi tunanetra.
Kini Zainuri berharap ada donatur atau investor yang bersedia membantunya memproduksi Braillevoice secara massal supaya Indonesia tidak bergantung pada alat sejenis dari luar negeri. ABDI PURMONO
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/08/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20090808.173311.id.html
0 Komentar