Kesemek jadi ikon buah tropis Jawa Timur. Foto dan Naskah: ABDI PURMONO
|
MALANG, Rabu, 24 Juni 2009
MISDIARNO sibuk memilih dan memilah kesemek berwarna oranye seukuran bola bisbol. Buah bernama ilmiah Diospyros kaki L. ini disusun rapi ke dalam kotak-kotak plastik besar. Setelah ditimbang, kesemek seberat 420 kilogram siap dikirim ke sebuah toko buah besar di Kota Malang.
“Kalau warnanya masih kekuningan atau oranye atau jingga begini, berarti dagingnya masih mengkal sehingga belum enak dimakan karena rasa sepatnya masih cukup kuat,” kata Misdiarno kepada saya, akhir pekan lalu.
Misdiarno, 40 tahun, warga Dusun Junggo, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Aslinya ia seorang petani apel, tapi juga dikenal sebagai pedagang pengumpul tunggal buah kesemek sejak sepuluh tahun silam. Pengetahuannya tentang kesemek setara dengan pengetahuannya tentang apel.
Kesemek dipanen di musim kemarau, April-Juli. Dalam sepekan ia dua kali mengirim kesemek ke Surabaya; rata-rata sekali kirim 1,5 ton atau 3 ton dalam sepekan. Dari Surabaya diekspor ke Singapura. “Eksportirnya memang orang Surabaya,” kata dia.
Singapura telah menjadi negara tujuan ekspor kesemek asal Junggo sejak 1983. Volume ekspor buah kesemek asal Junggo berkisar antara 30-40 ton per musim. Di pasar Singapura, kesemek asal Junggo bersaing ketat dengan kesemek dari Malaysia, Jepang, dan Israel.
Selain dari Junggo, pasar Singapura juga menerima kesemek dari daerah lain di Jawa yakni Garut, Jawa Barat, dan Magetan, Jawa Tengah. Dulu, kesemek dari dataran tinggi Brastagi di Sumatera Utara juga sempat rutin dikirim Singapura.
Tapi, Misdiarno menukas, berdasarkan keterangan dari eksportir di Surabaya, kesemek asal Junggo lebih disukai konsumen Singapura dibandingkan dengan kesemek dari Garut dan Magetan karena rasanya lebih manis, renyah, kandungan air banyak, buah berukuran besar (170-210 gram per buah atau 5-6 buah per kilogram), dan lunak jika sudah matang. Kematangan buah ditandai dengan warna merah-jingga yang menggugah selera.
“Eksportir di Surabaya memberi tahu bahwa kesemek dari sini memang termasuk yang terbaik di Asia, makanya konsumen di Singapura pun tetap setia, apalagi kesemek Junggo ini ditanam secara organik,” ujar Misdiarno, bangga.
Harga kesemek di tingkat petani berkisar antara Rp 3 ribu sampai Rp 3.500 kilogram. Sedangkan harga kualitas super untuk ekspor Rp 5 ribu sampai Rp 7 ribu per kilogram.
Namun, Misdiarno melanjutkan, hingga saat ini eksportir masih kekurangan pasokan untuk memenuhi permintaan ekspor. Konsumen menghendaki kesemek yang memenuhi persyaratan mutu, antara lain, rasa sepat atau kelatnya hilang sama sekali, manis, tekstur buah cukup keras, belum terlalu matang dengan penampilan buah menarik.
Persyaratan itu ada pada kesemek Junggo. Meski memiliki banyak keunggulan, tapi ternyata tak banyak petani yang sudi menanam kesemek. Hanya ada sekitar 20 petani di Junggo yang memiliki pohon kesemek.
“Kesemek itu sudah ada sejak zaman Belanda. Umumnya memang ditanam sebagai batas sawah atau tegalan. Artinya belum ada yang benar-benar serius menanam kesemek besar-besaran. Kalau seluruh lahan tanamnya dihitung-hitung, ya, enggak sampai 3 hektare luasnya,” kata Miskan.
Kurang berminatnya petani menanam kesemek karena kesemek kurang diterima pasar lokal. Konsumen tidak menyukai rasa sepat atau kelat pada kesemek. Selain itu, susah sekali menanam kesemek. Kesemek tumbuh baik pada ketinggian antara 1.000 sampai 1.500meter dengan curah hujan tinggi.
Bila kesemek diperbanyak dari tunas akar akan berproduksi pada umur 8-10 tahun. Sedangkan bila diperbanyak dari bibit hasil sambung dapat berproduksi lebih cepat pada umur 5-6 tahun. Kesemek berbuah setahun sekali. Beda dengan apel yang dapat berbuah pada usia 2-3 tahun dan dapat dipanen dua kali dalam setahun.
“Makanya banyak petani yang menjadikan menanam kesemek sebagai kegiatan selingan, selain bertanam sayur-sayuran dan apel. Kesemek itu angel pol (sangat susah) ditanam, tapi sekali hidup, kita enggak usah repot-repot mengurusnya dan tak usah keluar banyak biaya seperti apel; nanti tumbuh sendiri sampai besar,” Miskan memastikan sulitnya menanam kesemek, sambil menunjuk 20 kantong plastik polybag hitam berisi bibit kesemek.
“Saya mbibit dari tunas akarnya sebanyak 20 kantong, tapi yang hidup tinggal sembilan, 11 lagi mati. Dari yang sembilan itu terancam mati tiga bibit. Begitulah susahnya menanam kesemek. Sudah susah tumbuhnya, berbuahnya pun lama”
Kendati demikian, menurut Miskan, petani lain ogah meninggalkan kesemek karena menjadi nilai lebih bagi diri mereka sendiri sebagai petani kesemek berkualitas terbaik, serta termasuk dari segelintir petani di Indonesia yang tetap setia membudidayakan buah yang berasal dari Cina dan Jepang itu. Kesetiaan ini juga untuk menguatkan citra Junggo yang baru diresmikan sebagai salah desa wisata andalan di Jawa Timur.
Selain itu, harga kesemek stabil dan cenderung naik walau panennya setahun sekali. Miskan sendiri harus tetap setia pada kesemek karena kesemek yang ia miliki merupakan warisan orangtuanya. Ia tak ingin dicap sebagai pewaris yang durhaka karena mengkhianati amanat orangtuanya.
“Kebanyakan petani di sini mewarisi kesemek dari orangtuanya, bukan penanam pertama. Amanat orang tua harus dipatuhi dan dijaga,” Miskan memberi alasan untuk tetap setia pada kesemek.
Oh, kesemek, ditinggal sayang, dilupakan jangan. ABDI PURMONO
CATATAN:
Artikel yang sudah diedit redaksi ditampilkan di Koran Tempo Edisi Jawa Timur, Selasa, 30 Juni 2009, dengan judul Setia kepada Kesemek Warisan.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/30/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20090630.169580.id.html
1 Komentar
Makasih banyak ya Jilbab Segi Empat Terbaru dan Grosir Jilbab Murah serta Agar Online Shop Ramai Pembeli dan Cara Pasang Iklan di Tokopedia juga Cara Mengatasi Online Shop Sepi Pembeli kemudian ada juga Cara Meningkatkan Penjualan di Lazada dan Cara Mengatasi Jualan di Tokopedia Sepi
Balas