Edy Antoro Foto-foto: ABDI PURMONO |
TEMPO, 11/XXXVIII 04 Mei 2009
Dari sinder, Edy Antoro nekat membuka kebun apel. Wisata agronya dikunjungi 200 ribu orang.
JALAN selebar tiga meter ini nyaris tak pernah sepi. Di kiri dan kanan jalan yang dibalur paving block itu berdiri ribuan pohon apel. Di beberapa blok di kawasan perkebunan apel di Ngaglik, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur, seluas 8 hektare itu ada pohon lain: strawberry, jambu, dan jeruk.
Tahun lalu, kawasan wisata itu dikunjungi tidak kurang dari 200 ribu turis, baik lokal maupun asing. Mereka sangat menggemari wisata petik buah yang digelar pemiliknya: Edy Antoro.
Tak jauh dari situ berdiri hotel bintang empat Kusuma Agrowisata dan gedung Apple House. Di sana juga terdapat pabrik minuman. Tak hanya bisa mengikuti wisata petik buah, para pengunjung dapat melihat proses produksi pembuatan minuman atau dodol di pabrik. Edy Antoro memiliki pula beberapa perkebunan yang terpisah di seantero Batu. Belakangan, Edy juga masuk bisnis properti dengan membangun perumahan. Total jenderal, dia menguasai lahan seluas 90 hektare.
Kisah sukses Edy bisa dirunut sampai 1988. Ketika itu, ia sudah mendapatkan posisi yang lumayan di perusahaan perkebunan milik negara di PTP XXVI (kini dilebur menjadi PT Perkebunan Nasional XII). Pria kelahiran Surabaya, 27 Mei 1958, itu sudah menjadi sinder di Afdeling Kampung Malang, di perkebunan kopi di Kalisat/Jampit, Klabang, Bondowoso. Namun Edy merasa budaya kerja di perkebunan tidak pas di hatinya. Persaingan antarkaryawan juga tidak sehat.
Ia khawatir kondisi itu akan merusak grafik hidup yang sudah dibuatnya sejak muda. Semula ia ingin bekerja keras dan menunjukkan prestasi yang bagus. Ia bahkan berniat mengakhiri kariernya di sana dan pensiun pada usia 55 tahun. Tapi kondisi kantornya ternyata tak seindah yang dibayangkan semula. Ia memutuskan berhenti pada usia 30 tahun setelah menimbang-nimbang selama enam bulan. ”Kalau keadaan tidak berubah, saya bisa jadi sinder seumur hidup,” katanya. Ia cuma tiga tahun bekerja di sana.
Edy kemudian memutuskan ke Batu untuk mengelola dua hektare lahan yang ia beli seharga Rp 3.000 per meter persegi. Ia memboyong Susana Siulanawati, perempuan yang ia nikahi pada 24 Januari 1987, dan putra pertamanya, Gideon Andhika Satrio. Ia menyulap tanahnya yang berbatu-batu dan tidak subur menjadi kebun apel dengan 3.200 pohon. Sebagian modal berasal dari bantuan mertua ditambah pinjaman bank. Seingat Edy, ia menghabiskan Rp 100 juta untuk modal awal.
Pada mulanya, Edy begitu optimistis bisa meraih sukses. Tapi ia sudah ”kena batunya” pada panen pertama, Agustus 1990. Ketika itu, ia yakin bisa menjual apel dengan harga yang bagus di Surabaya. Optimisme Edy merujuk pada harga tengkulak. Dari petani, tengkulak membeli sekilo apel Rp 1.900 dan menjualnya ke toko-toko buah di Surabaya Rp 2.500. Nyatanya, apel Edy malah ditawar lebih murah. Dari 400 kilo yang dibawanya, ia hanya bisa menjual 30 kilo. ”Saya tidak bisa lupa,” katanya.
Tapi Edy tak mau menyerah kepada para tengkulak. Maka terlintaslah di kepalanya untuk membuka wisata petik buah pada tahun itu juga di Ngaglik. Dengan membayar tiket masuk Rp 2.500, pengunjung bisa makan apel sebanyak-banyaknya. ”Ongkos itu lebih mahal dibanding harga pasar, namun mereka mendapatkan pengalaman baru.”
Sejak itu, usaha Edy berjalan bak mobil formula satu. Dengan pinjaman bank, ia membangun hotel Kusuma Agrowisata dengan 24 kamar. Lima tahun kemudian, pada 1995, Kusuma sudah memiliki 150 kamar dan menjadi hotel bintang lima. Ia juga melengkapi fasilitas agrowisata dengan membangun rumah kaca untuk tanaman hias serta mengembangkan perumahan Villa Kusuma Estate.
Di pengujung 1990-an, ia mencari nilai tambah dengan mendirikan pabrik sari buah. Ia juga membuat berbagai produk dari buah, seperti dodol dan brem. Kini usaha Edy berkembang luar biasa di bawah kendali induk usaha PT Kusuma Agrowisata. Omzet Edy sudah lebih dari Rp 80 miliar setahun. Penerima Upakarti pada 2006 itu kini juga bisa memuaskan hobinya bermain bola dengan membangun stadion sepak bola. Ia pun mendirikan klub sepak bola yang beranggotakan 200 pemain.
Edy juga tak mau maju sendiri dengan ikut mengembangkan pertanian di sekitar perkebunannya. Ketua Gabungan Kelompok Tani Kota Batu Mochamad Toha mengungkapkan, beberapa kelompok tani sudah menjalin kerja sama dengan Kusuma untuk bisa mendapatkan sentuhan-sentuhan teknologi pertanian. ”Kami sering berdiskusi soal teknologi dan ilmu bisnis dengan Pak Edy,” katanya. Dengan berbagi, ia berharap bisa maju bersama-sama. MTQ, ABDI PURMONO (Batu)
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/05/04/EB/mbm.20090504.EB130234.id.html
1 Komentar
aku kenal dekat dgn beliau.. Beliau sgt low profile..
Balas