FOTO: Abdi Purmono |
Camilan dange terlanjur identik sebagai kudapan khas Kota Palu meski dange juga dapat ditemukan di daerah lain di Sulawesi Tengah dan daerah lain di Pulau Sulawesi dengan nama berbeda.
HASUDUNGAN
bersama dengan Ochan dan Ucu mendatangi seorang penjual dange di Pantai Taman Ria, Kota Palu, Sulawesi
Tengah. Waktu mendekati pukul 23.00 Indonesia bagian tengah, Minggu, 6 Mei
2018. Mungkin saat yang tepat untuk menikmati kuliner khas
tersebut.
Tiga
sekawan itu masih ceria. Mereka tekun memperhatikan Fatimah membuatkan dua
porsi dange pesanan Ochan. Ochan senyum-senyum menyaksikan
Ucu rajin bertanya kepada sang penjual. Sedangkan Hasudungan terus saja
memotret. Ucu dan Hasudungan menghentikan aksi setelah Ochan membayar Rp 10
ribu untuk dange yang dipesannya.
Fatimah
mengatakan kudapan berbahan baku utama sagu itu sebenarnya bukan kudapan khas
Kota Palu. Dange bisa juga ditemukan di Kabupaten Donggala,
tempat asal Fatimah, yang berjarak satu jam berkendaraan dari Palu. “Tapi di
sini kan sudah telanjur dianggap sebagai makanan khas Palu,” kata Fatimah.
Pernyataan
Fatimah diamini Reny Septiani, mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Tadulako.
Gadis
yang juga aktivis konservasi hutan mangrove ini
mengatakan di beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah juga ada kudapan
yang sama seperti dange. Hanya, nama
sebutannya berbeda, seperti tawaro, tavaro, hinole, dan tabaro. Di Palu biasa disebut dengan nama tabaro dange.
“Kata tabaro dari bahasa suku Kaili, artinya sagu. Di
Makassar juga ada dange,” kata Reny,
23 tahun.
Para
pedagang mulai menjual tabaro dange di
Pantai Taman Ria biasanya pukul 17.00 sampai 23.00 Wita. Pada Sabtu malam dan
Minggu bisa sampai tengah malam.
Bahan
baku utama dange adalah sagu yang dicampur gula merah dan
parutan kelapa. “Kalau varian lain mungkin sebutannya pancake,” ujar Reny.
Sagu
gampang didapat di Palu dan daerah lain di Sulawesi Tengah, bahkan di banyak
daerah lain di Pulau Sulawesi serta kawasan Indonesia Timur lainnya.
Pembuatan dange masih tradisional. Adonan sagu dicampur
parutan kelapa, dipanggang menggunakan belanga yang diletakkan di atas tungku.
Belanga dan tungku dibuat dari tanah liat.
Lihat videonya: Jajanan 2: Dange Enak Dilupakan Jangan.
Lihat videonya: Jajanan 2: Dange Enak Dilupakan Jangan.
Sumber
panas berasal dari pembakaran kayu. Kayu dipakai sebagai bahan bakar karena
dipercaya bisa membuat dange terasa
lebih enak. Hal ini juga yang diakui Fatimah. Di Palu, dange disantap dengan tambahan isi gula merah.
Ada juga rasa ikan yang pedas. Ya, pilihan isi disesuaikan dengan selera pembeli.
Seluruh
proses pembuatan dange sederhana
dan dilakukan terbuka, sehingga pembeli bisa langsung menyaksikannya. Jangan
khawatir, para penjual pasti ramah melayani dan sabar menjelaskannya bila
ditanya.
Anda
yang mengaku pencinta kuliner sangat patut memasukkan dange dalam daftar kuliner buruan bila
mengunjungi Palu. Di waktu puasa Ramadan begini, penjualan dange meningkat seturut banyaknya warga kota yang ngabuburit di Taman Ria dan sepanjang Jalan
Cumi-Cumi. ABDI PURMONO (Palu)
Catatan:
Tulisan yang Anda baca ini merupakan naskah asli buatan saya yang kemudian saya kirim ke kantor redaksi Tempo di Jakarta dan kemudian menjadi tulisan yang berjudul Menikmati Semilir Pantai dan Legitnya Dange, Kuliner Khas Dange. Redaksi Tempo hanya mengubah judul asli dan sedikit mengubah paragraf awal.
2 Komentar
Penasaran banget pengen mencoba. Kapan kapan yuuukk.
Balas@Rach Alida Bahaweres: lhaaaa adanya di Sulaawesi sana. patut kamu coba membuatnya. Terima kasih.
Balas