Naskah ini disusun bersama oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Kedua organisasi profesi jurnalis ini mengusulkan tanggal 23 September 1999 sebagai pengganti Hari Pers Nasional 9 Februari. Pelaksanaan HPN lebih mirip sebagai perayaan hari ulang tahun PWI.
Sekilas Hari Pers
Nasional 9 Februari
SETIAP
tahun peringatan Hari Pers Nasional digelar pada 9 Februari. Sebagian besar
publik mungkin menerimanya tanpa pertanyaan dan tidak mempedulikan asal muasal
dari penetapan tanggal tersebut. Itu merupakan tanggal lahirnya Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), organisasi yang oleh pemerintah Orde Baru (1967-1998)
ditetapkan sebagai satu-satunya wadah bagi jurnalis Indonesia.
Gagasan
awal soal Hari Pers Nasional baru muncul pada kongres ke-16 PWI, 4-7 Desember
1978, di Padang. Salah satu keputusan kongres adalah mengusulkan kepada
pemerintah agar menetapkan 9 Februari, tanggal lahir PWI, sebagai Hari Pers Nasional.
Setelah tujuh tahun terbitlah Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang
menetapkan tanggal 9 Februari itu sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Keputusan
tentang HPN adalah buah lobi Harmoko, mantan ketua PWI, yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Penerangan, kepada Presiden Soeharto. Setahun sebelum keluarnya
keputusan Presiden soal HPN, Harmoko juga mengeluarkan Peraturan Menteri
Penerangan Nomor 2 Tahun 1984 yang menyatakan PWI sebagai satu-satunya
organisasi wartawan yang diakui pemerintah.
Pertanyaan
mengenai penetapan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional sudah cukup lama
muncul di komunitas pers. Pertanyaan itu kian kencang setelah rezim Orde Baru
berakhir pada 1998. Era kejatuhan Soeharto itu diikuti demokratisasi politik dan
bermunculannya organisasi wartawan baru. Dengan situasi yang berubah, maka
pertanyaan soal 9 Februari sebagai hari Pers Nasional menjadi kian mengemuka.
Ada
sejumlah kritik terhadap PWI di masa Orde Baru. Salah satunya adalah sikapnya
yang lebih menjadi alat untuk mengontrol pers yang kritis. Selain itu, dari
aspek kesejarahan, PWI bukan satu-satunya organisasi wartawan yang pernah ada
di Republik ini. Pada masa penjajahan tercatat ada sejumlah organisasi wartawan
yang berdiri. Yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB),
berdiri pada 1914 di Surakarta. Selain itu juga ada Sarekat Journalists Asia
yang lahir pada 1925, Perkumpulan Kaoem Journalists pada 1931, dan Persatoean
Djurnalis Indonesia yang dideklarasikan pada 1940. PWI sendiri lahir 1946.
Penetapan
hari lahir satu organisasi wartawan sebagai pers nasional juga menjadi “batu
kerikil” sendiri dalam pelaksanaannya. Sebab, sejumlah organisasi wartawan yang
memiliki visi tak sama dengan PWI cenderung tak ingin terlibat dalam peringatan
HPN. Selama ini yang secara terbuka menyatakan tak terlibat adalah Aliansi
Jurnalis Independen (AJI). Organisasi jurnalis yang juga terlihat enggan
terlibat jauh dalam peringatan HPN adalah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI).
Sejumlah
fakta itulah yang membuat upaya rintisan untuk menemukan HPN yang baru menjadi
mendesak. Upaya rintisan awal untuk mencari tanggal HPN yang baru digelar 22
Juli 2010. Saat itu AJI menyelenggarakan workshop
dengan mengundang wartawan dan sejumlah sejarawan, seperti Dr Asvi Warman Adam
(sejarawan LIPI), Suryadi (peneliti Universiteit Leiden, Belanda), dan Taufik
Rahzen (penulis buku Seratus Tahun Jejak
Pers Indonesia) untuk membahas masalah ini. Rintisan serupa kembali
dilakukan tahun 2017. Kali ini kegiatannya dilakukan oleh AJI dan Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) berupa seminar dengan tema “Mengkaji Ulang
Hari Pers Nasional” di Hall Dewan Pers, Jakarta, 16 Februari 2017.
Menurut
Ketua Umum AJI Suwarjono, seminar itu merupakan upaya untuk mengakhiri “pro dan
kontra” soal penetapan HPN. Ketua IJTI Yadi Hendriana berharap ada tonggak baru
di dalam perumusan tanggal baru untuk HPN. Ketua PWI Margiono, dalam seminar
itu, menyampaikan bahwa ia tak mempersoalkan pengubahan tanggal asal
kegiatannya yang dapat memberikan manfaat bagi pers. Ketua Dewan Pers Yosep Adi
Prasetyo, saat membuka seminar itu, mendukung inisiatif bersama tersebut. Ia
mengatakan peluang mengubah HPN sangat besar. Sebab, dasar hukum Keputusan
Presiden Nomor 5 Tahun 1985 tentang penetapan Hari Pers Nasional sudah tidak
berlaku lagi.
Tulisan
ini adalah rangkuman hasil diskusi organisasi jurnalis, serta rekomendasi dari
seminar 16 Februari 2017. Bahan kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan
kajian dan pertimbangan bagi Dewan Pers untuk mendorong adanya perubahan Hari
Pers Nasional yang selama ini diperingati tiap 9 Februari. Harapannya,
penetapan tanggal baru hari pers itu agar bisa diterima dan dirayakan semua
komunitas pers Indonesia.
Aspek Hukum Perubahan
HPN
Salah
satu dasar hukum yang menjadi rujukan keluarnya Surat Keputusan Presiden Nomor
5 tahun 1985 tentang Penetapan HPN adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara tahun 1966 Nomor 40,
Tambahan Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 2815), yang kemudian diubah dengan
Undang-undang Nomor 21 tahun 1982 (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3235).
Perubahan
regulasi cukup besar terjadi setelah Soeharto jatuh, yang kemudian menjadi awal
lahirnya era reformasi. Salah satu yang juga berubah adalah regulasi tentang
pers, dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Perubahan
ini diusulkan masyarakat pers karena menilai UU Nomor 21 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman. Undang-Undang Pers 1982 memberikan banyak pembatasan dan
tak memberi ruang bagi tumbuhnya kemerdekaan pers.
Salah
satu perubahan ketentuan penting dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999
adalah dicabutnya ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), instrumen
yang dipakai pemerintahan Orde baru untuk mengontrol pers. Dengan adanya
ketentuan itu, maka undang-undang yang mengatur hal yang sama sebelumnya
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari
sisi substansi, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 memuat sejumlah prinsip
dasar perlindungan kebebasan berekspresi dan hak jurnalis untuk menyebarluaskan
informasi. Undang-Undang Pers berusaha menyeimbangkan jaminan kebebasan pers
dengan tuntutan atas profesionalisme, serta tanggung jawab pers atas
kepentingan publik. Prinsip yang hendak ditegakkan Undang-Undang Pers sejalan
dengan Konstitusi (Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen) dan Pasal
19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan
sejumlah riset dan diskusi yang dilakukan sebelumnya, ada sejumlah alternatif
sebagai pengganti HPN 9 Februari. Pertama, 7 Desember. Ini merujuk pada hari
meninggalnya Tirto Adhi Soerjo, pendiri pers pribumi, Medan Prijaji, yang terbit tahun 1907. Tirto juga sudah ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 9 November 2006. Kedua, 23
September 1999, tanggal berlakunya Undang Undang Pers.
Usulan Hari Pers
Nasional Baru
Dengan
sejumlah pertimbangan, kami mengusulkan 23 September sebagai Hari Pers Nasional
untuk menggantikan 9 Februari. Kami menilai pengesahan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers merupakan tonggak terpenting dalam sejarah kemerdekaan
pers Indonesia. Undang-Undang Pers 1999 termasuk salah satu produk reformasi
hukum yang memenuhi standar demokrasi, baik dari sisi proses pembahasan maupun
substansinya.
Undang-Undang
Pers lahir melalui proses pembahasan yang demokratis. Inisiatif untuk
merumuskan rancangan undang-undang ini tak hanya dari “dari atas” (pemerintah
atau Dewan Perwakilan Rakyat), tapi juga datang “dari bawah” (masyarakat,
khususnya kalangan jurnalis, pegiat kebebasan berekspresi, dan kalangan
akademisi). Proses pembahasan di DPR pun berlangsung di tengah gairah
demokratisasi yang menyala-nyala, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan atau
stakeholders kemerdekaan pers
(pemerintah, DPR, jurnalis, dan berbagai kelompok masyarakat sipil). Walhasil,
pengesahan Undang-Undang Pers 1999 bisa disebut sebagai salah satu capaian
terpenting di awal-awal era Reformasi.
Pada
masa Orde Baru, pers Indonesia dikendalikan secara ketat melalui berbagai
aturan yang diterbitkan Departemen Penerangan. Di atas kertas, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1982 memang menjamin kemerdekaan pers dengan menyatakan bahwa
pers nasional tidak dikenakan pembredelan. Tapi, dalam prakteknya, sejumlah
aturan pelaksanaan undang-undang tersebut sering menjadi alat pemerintah untuk
mengontrol dan memberangus pers.
Di
masa Orde Baru, siapa pun yang hendak menerbitkan surat kabar harus mengantongi
Surat Izin Terbit dari Departemen Penerangan—belakangan berubah nama menjadi
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)—dan Surat Izin Cetak dari Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Untuk mendapat kedua surat izin
tersebut, calon penerbit terlebih dahulu harus memperoleh setumpuk surat
rekomendasi, termasuk surat dari pejabat sipil dan militer daerah, surat
rekomendasi dari organisasi wartawan, serikat penerbit surat kabar, surat
dukungan permodalan dari bank, sampai surat rekomendasi dari percetakan.
Selama
puluhan tahun, SIT/SIUPP dan SIC ibarat “nyawa” bagi perusahaan pers yang
direstui pemerintah. Sebaliknya, lewat kedua surat izin itu pula, penguasa Orde
Baru bisa mencabut nyawa surat kabar yang dianggap tidak patuh atau membahayakan
kepentingan mereka. Di luar dugaan banyak orang, pada 1999, pemerintahan
transisi yang dipimpin Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie segera memberi angin
segar bagi kemerdekaan pers lewat Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah.
Di
masa lalu kedua tokoh ini tak lepas dari sejarah gelap pers di Indonesia.
Habibie pernah berada di pusaran kontroversi pemberedelan tiga media pada 21
Juni 1994 (majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik) gara-gara pemberitaan pembelian 39 kapal perang bekas
Jerman. Sedangkan Yunus Yosfiah kerap dikait-kaitkan dengan peristiwa
terbunuhnya lima jurnalis asing di Balibo, Timor-Timur, pada 1975.
Tak
lama setelah dilantik sebagai anggota Kabinet Reformasi pada 23 Mei 1998, Yunus
mencabut Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/1984 tentang SIUPP. Yunus
juga mengizinkan semua media yang SIUPP-nya dicabut semasa Orde Baru untuk
terbit kembali. Ia juga menjanjikan akan mengusulkan revisi Undang-Undang Pokok
Pers ke DPR. Kebijakan “reformis” itu tak terlepas dari dorongan kalangan
jurnalis dan pegiat kebebasan informasi kala itu.
Dua
hari setelah Yunus diangkat sebagai Menteri Penerangan, pengurus AJI, Persatuan
Wartawan Indonesia, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan sejumlah tokoh pers
senior menemui Yunus di kantornya. Mereka kembali menyampaikan tuntutan tentang
jaminan kemerdekaan pers, serta mengusulkan jaminan tersebut dimasukkan dalam
amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Sepekan
kemudian, sejumlah tokoh aktivis dan tokoh pers senior berdemonstrasi di depan
Departemen Penerangan. Mereka menyampaikan tuntutan yang lebih rinci dan
komprehensif tentang jaminan kemerdekaan pers. Ketika menerima perwakilan
pengunjuk rasa, Yunus menyatakan persetujuannya atas 10 tuntutan mereka.
Sepekan kemudian, Yunus memenuhi janjinya dengan menerbitkan Peraturan Menteri
Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/1998 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang mencabut Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/1984
tentang SIUPP yang diteken Harmoko.
Pada
Juli 1998, Yunus menggandeng sejumlah wartawan senior untuk menyusun draf rancangan
undang-undang tentang pers yang akan diusulkan pemerintah kepada DPR. Ini
merupakan terobosan dalam perumusan rancangan undang-undang, karena pemerintah
langsung melibatkan stakeholders
terpenting kebebasan pers sejak awal. Meski demikian, prosesnya bukan mulus
tanpa perdebatan.
Hingga
perubahan keenam draf RUU Pers, tim perumus dari pemerintah masih mengusulkan
sejumlah pasal kontroversial. Pasal 6 draf tersebut misalnya menyatakan, “Pers
nasional wajib menegakkan kebenaran, keadilan, dan bertaqwa kepada Tuhan yang
Maha Esa”. Adapun Pasal 8 menyatakan, “Penerbitan pers yang bertentangan dengan
Konstitusi dan atau berdasarkan Komunisme, Marxisme-Leninisme harus dilarang.”
Selain
itu ada 13 pasal yang bisa mengirimkan wartawan ke penjara. Salah satunya pasal
yang menyatakan bila pengusaha menggunakan pers untuk kepentingan pribadi atau
golongan yang menyebabkan penyelewengan peranan pers, mereka diancam “pidana
penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar”. Setelah
melewati perdebatan alot, kedua pasal-pasal kontroversial hilang pada draf ke-8
RUU Pers versi pemerintah.
Di
samping melibatkan kalangan wartawan serta akademisi di bidang hukum dan media
nasional, di akhir perumusan draf RUU Pers, Departemen Penerangan juga
berkonsultasi dengan UNESCO. Lembaga di bawah naungan PBB itu menunjuk mitra
mereka, Article 19, untuk memberikan asistensi kepada pemerintah Indonesia.
Dalam proses konsultasi intensif selama dua pekan, tim Article 19 mengevaluasi
pasal demi pasal RUU Pers versi pemerintah dan menyelaraskannya dengan standar
dan konvensi internasional di bidang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Seiring
dengan perumusan RUU Pers versi pemerintah, di luar gedung Departemen
Penerangan sekelompok ahli dan praktisi media yang terhimpun dalam Masyarakat
Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) juga menyiapkan draf RUU Pers. Penyiapan
draf alternatif ini merupakan langkah antisipasi bila Departemen Penerangan
malah merumuskan RUU yang bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers. Di
samping menggelar berbagai diskusi dan seminar publik, MPPI juga membuka jalur
lobi ke Komisi I DPR yang membidangi urusan pers. MPPI kemudian mengirimkan
draf RUU versi mereka ke DPR.
Pada
Agustus 1999, DPR mulai membahas draf RUU Pers. Selama sebelas hari, Komisi I
DPR mempelajari dan membandingkan tiga draf RUU: versi DPR, versi pemerintah,
dan versi MPPI. Karena sebelumnya telah beberapa kali berlangsung pertemuan dan
diskusi, tiga draf di meja anggota DPR memiliki banyak kesamaan. Menteri Yunus
dua kali menghadiri rapat pembahasan RUU Pers di DPR, yakni tanggal 26 dan 27
Agustus 1999.
Yunus
kembali menegaskan komitmen pemerintahan Reformasi untuk membuka keran
kemerdekaan pers. Yang menarik, ketika DPR meminta pemerintah menghadirkan “tim
ahli”, Departemen Penerangan menunjuk tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja
(mantan Redaktur Pelaksana Harian Indonesia
Raya yang kelak menjadi ketua Dewan Pers pertama di era Reformasi), serta
Sabam Leo Batubara (Ketua SPS, yang kemudian menjadi anggota Dewan Pers). Kedua
tokoh ini sejak awal terlibat dalam pembahasan RUU Pers versi pemerintah, versi
DPR, dan versi MPPI.
Akhirnya,
pada 13 September 1999, rapat paripurna DPR menyetujui RUU Pers menjadi
Undang-Undang Pers. Sepuluh hari kemudian, pada 23 September 1999, Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie menandatangani dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers. Sejak tanggal itulah berlaku satu undang-undang yang paling
menjamin kebebasan pers dalam sejarah Indonesia modern. Atmakusumah, dalam
kolom di majalah D&R, menyebut
kelahiran Undang-Undang Pers sebagai ujung dari “Perjalanan 255 tahun yang
melelahkan.”
Secara
substansial, Undang-Undang Pers 1999 mengandung sejumlah prinsip dasar
perlindungan atas kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk mengumpulkan serta
menyebarluaskan informasi. Prinsip dasar dalam Undang-Undang Pers sejalan
dengan konstitusi (Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen) dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 19). Undang-Undang Pers baru telah
berusaha menyeimbangkan jaminan kebebasan pers dengan tuntutan atas profesionalitas
serta tanggung jawab pers atas kepentingan publik. Dengan kata lain,
Undang-Undang Pers pada prinsipnya menginginkan pers yang merdeka, profesional,
dan bertanggung jawab kepada publik.
Undang-Undang
Pers baru menjamin kebebasan pers dengan menghapuskan sistem perizinan yang
bisa dipakai untuk mengendalikan pers; menghilangkan wewenang pemerintah untuk
melarang dan menyensor pemberitaan; serta menghilangkan hambatan dalam
kerja-kerja jurnalistik dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan
informasi. Undang-Undang Pers baru juga menjamin kebebasan jurnalis untuk
membentuk atau bergabung dalam sebuah organisasi berdasarkan pilihan pribadi
mereka. Memperkuat jaminan atas kemerdekaan pers, untuk pertama kalinya
Undang-Undang Pers mencantumkan ketentuan pidana, yakni hukuman penjara dan
denda bagi siapa pun yang menghalang-halangi kemerdekaan pers.
Di
samping memberi jaminan atas kebebasan pers, Undang-Undang Pers 1999 juga
mewajibkan jurnalis bekerja secara profesional antara lain dengan mewajibkan
kepatuhan pada kode etik; meralat pemberitaan yang keliru; melayani hak jawab
dan hak koreksi; serta mematuhi kesepakatan dengan narasumber tentang informasi
berstatus on the record, embargo, background, atau off the record. Pada saat yang sama, UndangUndang Pers mengamanatkan
pembentukan Dewan Pers yang independen sebagai sarana bagi masyarakat untuk
memastikan pelaksanaan kemerdekaan pers yang sehat dan profesional.
Undang-Undang Pers pun mencantumkan pidana berupa denda bagi perusahaan pers
yang melanggar ketentuan undang-undang.
Kini,
Undang-Undang Pers 1999 telah berlaku selama 17 tahun. Selama itu pula, sebagai
sebuah mahakarya atau masterpiece,
Undang-Undang Pers telah menunjukkan manfaatnya bagi perlindungan kemerdekaan
pers di Indonesia. Memang, dengan kehadiran Undang-Undang Pers, kehidupan pers
di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari ancaman.
Jurnalis
di banyak tempat masih kerap mengalami kekerasan dari berbagai pihak, baik dari
anggota masyarakat maupun dari aparat negara. Sejumlah jurnalis diseret ke
pengadilan pidana karena karya jurnalistiknya. Ada pula perusahaan media
digugat secara perdata oleh pihak yang merasa terganggu dengan kebebasan pers.
Pada saat yang sama, pengaduan tentang kurang profesionalnya wartawan juga
masih mengalir ke Dewan Pers.
Tapi,
semua masalah tersebut bukan bersumber pada kelemahan Undang-Undang Pers. Semua
itu lebih berkaitan dengan masalah penerapan kebebasan pers dalam tataran
praktis. Pada banyak kasus, Undang-Undang Pers lebih sering menunjukkan manfaat
dalam melindungi kebebasan pers serta memastikan hak publik untuk memperoleh
dan menyebarluaskan informasi.
Mempertimbangkan
proses pembahasan Undang-Undang Pers yang sangat demokratis; substansi Undang-Undang
Pers yang selaras dengan konstitusi negara dan standar internasional; serta
manfaat Undang-Undang Pers dalam menjamin kemerdekaan pers dan hak publik atas
informasi, maka kami mengajukan momentum pemberlakuan Undang-Undang Pers tanggal
23 September 1999 sebagai pengganti HPN 9 Februari. ***
Catatan kaki oleh pemilik blog:
1. Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) lahir di Solo, 9 Februari 1946. Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) lahir di Bogor, 7 Agustus 1994. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
lahir di Jakarta, 20 Agustus 1998.
2. Jauh sebelum Menteri
Penerangan Harmoko menerbitkan dan menandatangani Peraturan Menteri Penerangan
Nomor 2 Tahun 1984 yang menyatakan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan
yang diakui pemerintah, Menteri Penerangan Mashuri menerbitkan dan
menandatangani Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 47/Kep/Menpen/1975
tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Penerbit Surat Kabar pada 20 Mei 1975.
(Data itu bersumber dari buku Sistem Pers Indonesia karya T. Atmadi,
Penerbit PT Gunung Agung, Jakarta, 1985, serta catatan kaki halaman 64 buku Semangat Sirnagalih: 20 Tahun Aliansi
Jurnalis Independen yang diterbitkan AJI pada 2014).
Keistimewaan PWI sebagai organisasi tunggal profesi
wartawan berakhir setelah Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah mencabut Keputusan
Menteri Penerangan bertanggal 20 Mei 1975 itu.
3.
Sesuai
urutan sejarah lahir dan perubahannya, maka seharusnya penulisan UU pers sebagai salah satu dasar penetapan Hari Pers Nasional sebagaimana tertera dalam naskah di atas
adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara tahun 1966 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 2815), yang kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 2822), dan kemudian diubah
lagi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana
Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun
1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3235).
4.
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP) ditentukan dalam Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Kep/Menpen/1984 tanggal
31 Oktober 1984. Dengan peraturan Menteri Penerangan Harmoko mencabut Peraturan
Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/1966 tentang Ketentuan-ketentuan
Perusahaan Pers, serta Peraturan Menteri Penerangan Nomor 03/Per/Menpen/1969
tentang Lembaga Surat Izin Terbit dalam Masa Peralihan bagi Penerbitan Pers
yang Bersifat Umum—SIT dicabut dan diganti SIUPP.
Sebulan kemudian, pada
30 November 1984, Menteri Penerangan Harmoko menandatangani Surat Keputusan Nomor
214A/Kep/Menpen/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk mendapatkan SIUPP.
5.
Kewajiban memiliki Surat Izin Terbit
(SIT) ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 (UU pers
pertama). Ketentuan mengenai SIT dalam UU Pokok Pers diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Penerangan Nomor 03/Per/Menpen/1969, tanggal 27 Mei 1969.
Selain SIT, diberlakukan
Surat Izin Cetak (SIC) sejak pecahnya Gerakan 30 September 1965. SIC
dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Namun SIC dihapus sejak 3 Mei 1977.
Berbekal SIC Pelaksana
Khusus Kopkamtibda berhak penuh memanggil wartawan yang dinilai bersalah atau
yang dianggap perlu dimintai keterangan. Nomor Izin Cetak harus dicantumkan
pada setiap penerbitan pers seperti halnya Nomor Izin Terbit yang dikeluarkan
Menteri Penerangan.
Ketika SIC masih
berlaku, penindakan terhadap pers pada tahap pertama dilakukan dengan mencabut
SIC-nya. Tahap berikutnya, baru SIT-lah yang dicabut.
Untuk keterangan
lebih lengkap bisa dibaca sub-bab “Garis Besar Kebijaksanaan Pemerintahan
terhadap Pers”, halaman 185-187, dalam buku Beberapa
Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
Januari 2002. ABDI PURMONO
0 Komentar