Majalah
PANJI MASYARAKAT Nomor 12 Tahun IV, 12 Juli 2000
GKPI menggelar sinode istimewa untuk menyelesaikan konflik internal. Proses kaderisasi dan regenerasi pendeta pun terganggu.
S.M.
Gurning rada kecewa terhadap anaknya. Ketua Urusan Pengabaran Injil Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Pematang Siantar ini ingin anaknya menjadi
pendeta. Si anak menolak. Pasalnya, wibawa pendeta di Siantar sedang anjlok
menyusul perpecahan dan konflik internal GKPI. Gurning pun pasrah.
“Saya
tak boleh memaksakan kehendak. Alasan anak saya betul. Wibawa pendeta anjlok
karena perpecahan di gereja,” kata Gurning. “Ini dapat mempengaruhi proses
kaderisasi dan regenerasi di kalangan pendeta.”
Konflik
di lingkungan GKPI sebenarnya sudah berlangsung kurang lebih lima tahun
terakhir, terutama menyangkut pemilihan bishop dan sekjennya. Tapi secara
terbuka baru muncul pada sinode ke-12 di Medan (1996) dan mencapai puncaknya
pada sinode ke-13 di Kisaran dan Pematang Siantar (1998). Sebagai jalan keluar, pada
1999 ditandatangani piagam perdamaian dan keutuhan. Berdasarkan piagam ini pula
kepengurusan GKPI hasil sinode Kisaran dan Pematang Siantar membubarkan diri.
Namun
tak dinyana, Panjaitan dan Hutagalung tiba-tiba tampil selaku bishop dan sekjen
GKPI. Kedua orang ini bahkan memberhentikan semua anggota majelis pusat yang
dipilih dan dikukuhkan Sinode Am XIII (periode 1998-2003). Setengah dari mereka
dipilih dan diangkat menjadi anggota MP untuk periode 1999-2000. Sisanya
dipecat atas dasar ketidaksetiaan dan tidak mengakui keabsahan Panjaitan
sebagai bishop dan Hutagalung sebagai sekjen.
Menurut
T.M. Hutauruk, salah seorang jemaat GKPI Sei Agul, Medan, para warga awam GKPI
juga sudah cukup letih, bosan, bahkan muak dengan konflik berkepanjangan. Untuk
itulah Gurning dan Hutauruk beserta kawan-kawannya mendesak diselenggarakan
acara istimewa untuk menyelesaikan perpecahan. Lalu diadakanlah sinode istimewa
akhir Juni lalu di Pematang Siantar. Acara ini dibuka Dirjen Bimas Kristen
Protestan P. Siahaan.
Pada
perhelatan yang diikuti sekitar 428 orang itu (terdiri atas kalangan pendeta,
majelis pusat, guru jemaat, peserta utusan, peninjau, serta undangan utusan
dari gereja tetangga), terjadi perdebatan seru. Hutauruk, misalnya, melihat
bahwa cara penyelesaian damai dan konstitusional adalah dengan cara menolak
kepemimpinan Panjaitan dan Hutagalung, sekaligus memilih penggantinya dari
kalangan pendeta yang mempunyai track record yang bagus dan meyakinkan.
Panjaitan
enggan menanggapi seputar kepemimpinannya yang kontroversial itu. namun, secara
implisit ia membenarkan adanya konflik di tubuh GKPI. “Untuk itulah sinode ini
dilaksanakan. Yang lalu biarlah berlalu,” katanya. “Sekarang kami ingin
berbenah menuju harapan yang lebih baik sehingga GKPI bisa tampil berperan dengan
paradigma baru. Kita tak ingin mengambinghitamkan siapa-siapa dalam persoalan
tiga tahun ini. Tapi waktulah yang kurang bersahabat sehingga masa lalu harus
kita tinggalkan.”
Sementara
itu, peserta dari kalangan nonpendeta juga menuntut agar mereka diberi hak
untuk menentukan siapa calon yang akan duduk di pimpinan pusat. “Sebenarnya
yang dipilih nanti pimpinan GKPI atau pimpinan para pendeta,” kata salah
seorang peserta dengan agak kesal. Namun, Panjaitan bersikukuh, memang ada
beberapa kalangan nonpendeta yang mengenal pendeta secara baik, namun itu hanya
dua sampai lima pendeta saja yang mereka kenal. “Jadi yang mengetahui dan
mengenal betul siapa pimpinan yang cocok adalah kalangan pendeta.”
Salah
seorang tokoh pendiri GKPI, Apul Panggabean, mengharapkan para peserta sinode
mengingat dan mengutamakan mukadimah pendirian GKPI dan menjadikan sinode kali
ini sebagai sinode yang kristiani. Menurut dia, pendirian GKPI dilatarbelakangi
keinginan beberapa orang pembaru untuk mengubah paradigma “gereja menjadi milik
pribadi atau golongan” menjadi “gereja milik Tuhan”. Untuk itu ia bersama teman
dan mahasiswa rela melakukan long march selama 10 hari dari Medan ke
kantor pusat HKBP Paeraja, Tarutung, supaya para pemimpin gereja sadar bahwa
gereja adalah milik Tuhan.
Setelah
perdebatan yang panjang, Manurung dan Hutagalung akhirnya terpilih menjadi
bishop dan sekjen GKPI periode 2000-2005. Terpilih pula anggota majelis pusat.
Manurung tak banyak memberikan komentar. Hanya saja, sebelum penutupan sinode,
ia berpesan kepada pimpinan pusat terpilih untuk saling menjaga jangan timbul
lagi kegoncangan atau kekacauan seperti pada masa lalu. Horas, bah! ■ NASRULLAH
ALI-FAUZI. LAPORAN: ABDI PURMONO (PEMATANG SIANTAR)
CATATAN:
Bishop GKPI Periode 1998-2000 Pendeta CW Panjaitan
Sekretaris Jenderal GKPI Periode 1998-2000 Pendeta SP Hutagalung
Bishop GKPI Periode 2000-2005 Pendeta GOP Manurung
Sekretaris Jenderal GKPI Periode 2000-2005 Pendeta SP Hutagalung
0 Komentar