Foto-foto: ABDI PURMONO |
Tulisan panjang ini dimuat hampir satu
halaman penuh di harian Waspada Medan
edisi Jumat, 5 Januari 2001.
Naskah asli yang dikirim ke redaksi Waspada disalin dengan mesin ketik butut—hadiah
dari orangtua saat masuk kelas 1 SMA Negeri 11 Medan. Fotonya pun dibuat dengan kamera manual atau kamera analog merek Vivitar berharga Rp 600 ribu, yang tentu saja jadi kamera jadul di era kamera digital sekarang.
Tulisan panjang nan sederhana, mungkin banyak
data yang tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang. Sudilah Anda, pembaca,
untuk mengoreksi kelemahan dalam artikel ini, sekaligus berbagi informasi
terkini SMKG/LTL. Terima kasih.
Badung, Bali, 15 Juli 2013
-------------------------------------
Badung, Bali, 15 Juli 2013
-------------------------------------
MUNGKIN tahun 1990 menjadi tahun sial bagi
warga Kuala Besar, Secanggang, Langkat. Betapa tidak, satu-satunya bangunan
sekolah dasar negeri di desa yang berada di delta Selat Malaka itu ambruk
karena dihantam gelombang pasang air laut. Sepuluh tahun berselang, toh gedung pengganti sekolah dasar yang
lama kini juga dikhawatirkan roboh karena genangan air laut.
Alhasil, menurut Apandi, 340 kepala keluarga
yang menghuni desa tersebut terpaksa meninggikan tiang rumah agar terhindar
dari gerogotan air laut. Itu pun setelah menyingkir dari bibir laut sejauh
lebih kurang 80 meter. Maklum, luas pantai menciut karena proses abrasi.
Apandi mengungkapkan, semula hutan bakau di
sekitar desanya masih rimbun, pendapatan warganya terbilang lumayan. Ikan,
udang, kerang, kepiting, misalnya, masih gampang diperoleh sehingga ikut
menambah penghasilan.
“Tapi, sekarang pendapatan warga di sini
menurun. Selain rusaknya hutan bakau, paluh-paluh yang ditutup oleh pengusaha
tambak membuat kami bertambah susah mencari makan,” tutur pria 52 tahun ini,
yang menjadi Kepala Desa Kuala Besar sejak 1997.
Cerita murung Apandi itu cuma satu misal dari
dampak kerusakan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut,
disingkat SMKG/LTL. Memang bukan cerita yang mengejutkan karena sudah biasa
terjadi bila hutan bakau rusak parah. Contoh tak sedap lainnya yakni
tenggelamnya Pulau Tapak Kuda pada 1985. Pulau ini merupakan pulau terdekat
yang berada di luar kawasan SMKG/LTL.
Namun, sesungguhnya, kerusakan hutan bakau
(mangrove) di kawasan itu adalah saksi kejahiliahan dan keserakahan segelintir
manusia di Sumatera Utara.
Dulu luasnya 85 ribu hektare, tapi dewasa ini tinggal 31.173 hektare. Itu pun merupakan hasi perkiraan paling optimistis dengan mengabaikan kualitas hutan bakau. Soalnya, di beberapa Daerah Tingkat II, ada kawasan hutan bakau yang sudah sekarat, bahkan hampir tidak ditumbuhi bakau.
Perambahan hutan bakau di kawasan itu dimulai
sejak 1980-an dan kian meruyak di era 1990-an seiring dengan melonjaknya harga
udang di pasar internasional. Sedangkan upaya pencegahannya boleh boleh
dibilang memble. Harap dimaklumi,
tenaga pengawas yang ada kini cuma seorang jagawana, B. Sinurat, yang dibantu
Azhar, seorang relawan lingkungan hidup setempat. Fasilitas kerja yang amat
tidak memadai dan gaji yang minim, alangkah tidak sebanding dengan tugas berat
yang mereka pikul.
Perambahan terjadi di sebelah utara Desa
Karang Gading, Secanggang, Langkat, berupa perkebunan kelapa sawit seluas 1.200
hektare dan tambak udang 685 hektare; 250 hektare tambak udang di sekitar
Tangkahan dan Sungai Sipuncung, serta 296 hektare kebun kelapa sawit di Desa
Pematang Cengal.
Hingga periode 1997-1998 sedikitnya terdapat
51 perambah, baik atas nama pribadi maupun badan usaha, dengan luas rambahan
mencapai 3.932 hektare dari seluruh luas Karang Gading, yakni 6.245 hektare.
Untuk Langkat Timur Laut belum dapat ditaksir luas kawasan yang telah dirambah.
Para perambah kebanyakan datang dari Medan, Lubuk Pakam, Binjai, dan Stabat.
Beberapa perambah antara lain M.J.
Simanjuntak (500 hektare), David Napitupulu (500 hektare), Waspada Bangun (400
hektare), Marihot Harahap (240 hektare), KUD Mina Telaga Gading (200 hektare),
Vasit Tarigan (180 hektare), Hutagalung (100 hektare), Lintang Siahaan (100
hektare), PT Eka Jayasindo (50 hektare), CV Segar Wangi (17 hektare), dan
Akurang (7 hektare).
Tapi, usaha-usaha untuk mengkonversi lahan
suaka menjadi pertambakan dan perkebunan
agaknya masih akan terus berlangsung. Berdasarkan pengamatan penulis bersama
tim dari Care International Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup, Yayasan KIPPAS (Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera) Medan, dan
beberapa wartawan dari Jakarta dan Medan, 20-21 Oktober 2000, terdapat ribuan
hektare hutan bakau yang sudah gundul dan ditumbuhi semak belukar, yang berjarak
tak sampai 50 meter dari tepi Sungai Karang Gading. Di sana ditemukan pula
bantaran tanah berupa bendungan selebar empat meter yang panjangnya konon
mencapai 15 kilometer.
Kabarnya bendungan itu untuk melindungi areal
perkebunan kelapa sawit milik PT Pernas, PT Polimuda, maupun ratusan hektare
yang dijarah masyarakat untuk membuat tambak udang. Jangankan yang sudah botak,
di beberapa lahan yang masih tergolong hijau oleh bakau pun sudah
dikapling-kapling dengan cara memasang papan nama milik sejumlah badan usaha
dan organisasi kemasyarakatan, seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia
(HNSI). Malah, beberapa nelayan menjelaskan bahwa sebelumnya ada papan nama
berlabel Badan Peradilan Militer—bukti foto ada pada penulis.
Arkian, pencurian kayu bakau juga menjadi
ancaman serius. Biasanya pencuri kayu bakau, yang kebanyakan dari warga
setempat, beraksi di bagian hutan bakau yang masih rapat dan di saat malam
hari. Ada pula yang nekat mencuri kayu bakau, termasuk juga kayu api-api (Avecienna marina), secara
terang-terangan pada sore hari. Beberapa warga terlihat mengangkut kayu bakau
dengan sampan tanpa rasa takut.
“Lihatlah, mereka enak saja mengambil
kayu-kayu itu. Kalau dilarang, mereka justru membalas dengan parang sama
kelewang. Atau alasan ini zaman reformasilah. Belum lagi yang cukong-cukong
yang punya beking kuat. Kami ini apalah, kan
jadi serba salah,” ujar B. Sinurat dalam logat Batak nan kentara. Dia
menambahkan, sebelum terjadi perambahan, tinggi rata-rata pohon bakau di
kawasan itu mencapai 20 meter dan kini tak lebih dari lima meter.
Pencurian kayu bakau semakin merajalela
menyusul kehadiran ratusan dapur arang, yang menyebar di hampir semua kecamatan
di Kabupaten Langkat, terutama Kecamatan Gebang.
Sedikitnya terdapat 363 unit dapur umum, yang
setiap dapurnya diperkirakan menghabiskan 2.000 batang kayu bakau, dengan
kapasitas produksi 5-15 ton per bulan. Ditaksir, setiap bulannya semua dapur
arang itu mampu memproduksi hingga 27.936 ton, untuk selanjutnya diekspor ke
negara tujuan utama seperti Jepang, Taiwan, Emirat Arab, dan Kanada.
Saban tahunnya ekspor arang bakau melalui
Pelabuhan Belawan berkisar 400 ribu ton. Padahal, Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan dan Perkebunan (Kanwil Dephutbun) Sumatera Utara sudah melarang
dapur-dapur arang itu beroperasi. Selain diolah menjadi arang, sebagian kayu
bakau dijual ke toko panglong.
Perburuan juga mengganggu kelestarian
SMKG/LTL. Umumnya perburuan terjadi di dalam kawasan yang jauh dari pengawasan.
Sasarannya terutama monyet dan berbagai jenis burung, baik yang endemik seperti
bangau ular (Ardea purpurea) maupun
burung migran seperti elang tutut (Haliaectus
leucogaster).
Ancaman lain yakni pencemaran sungai.
Beberapa orang warga mengaku, limbah Pabrik Gula Sei Semayang milik PTPN II
biasanya mengotori Sungai Karang Gading sekali dalam setiap enam bulan, plus
tercemar pestisida yang lazim dipakai di lahan pertanian dan pertambakan.
Begitu pula dengan banyaknya pemasangan ambai (jaring yang dipasang pada
tiang-tiang yang ditancap ke dasar sungai), baik di batang atau di muara
sungai.
Beban yang harus ditanggung SMKG/LTL masih
ditambah lagi dengan padatnya permukiman penduduk, yang disadari atau tidak,
berdampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem.
Resettlement atau transmigrasi pernah diupayakan untuk mengantisipasi lonjakan jumlah penduduk di sekitar kawasan. Tapi, hingga kini permukiman penduduk di sepanjang aliran sungai (DAS) Karang Gading justru semakin bertambah, terlebih setelah masuknya para pendatang.
Resettlement atau transmigrasi pernah diupayakan untuk mengantisipasi lonjakan jumlah penduduk di sekitar kawasan. Tapi, hingga kini permukiman penduduk di sepanjang aliran sungai (DAS) Karang Gading justru semakin bertambah, terlebih setelah masuknya para pendatang.
Namun, boleh jadi, pangkal perusakan hutan
bakau di kawasan konservasi itu tak lain lantaran ketidakjelasan pelbagai
kebijakan pemerintah. Pergulatan kepentingan antarinstansi pemerintah turut
berperan di sini. Misalnya, Kanwil Departemen Pertanian membolehkan pembukaan
perkebunan kelapa sawit dan tambak di dalam kawasan dengan direstui Pemerintah
Daerah Langkat. Alasannya, intensifikasi lahan.
Kebijakan pemerintah yang tumpah tindih
relevan dengan loyonya perangkat hukum sebagaimana disorot Irham Buana
Nasution. Menurut Direktur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Medan ini,
peraturan-peraturan organik yang ada belum semuanya mengakomodasi sanksi-sanksi
hukum secara tegas bagi pelanggarnya.
Maka, tak heran bila aksi pelanggar kawasan
terlarang itu aman-aman saja. Semenjak dikukuhkan sebagai hutan suaka sampai
sekarang, baru satu kasus yang diadili di Pengadilan Negeri Stabat. Adalah
Tengku Rahman yang dihukum akibat menggarap lahan di Karang Gading seluas lima
hektare. Persidangannya digelar mulai 10 November 1994 hingga vonis 9 Maret
1995. Itu pun dengan vonis ringan, yakni empat bulan penjara ditambah delapan
bulan masa percobaan, serta mengganti ongkos perkara Rp 5 ribu!
Yang menyulitkan lagi, yaitu adanya sejumlah
aparat keamanan dan pemerintah setempat yang ditengarai bersekongkol menggarap kawasan
SMKG/LTL. Selain karena pihak yang berkompeten tidak kompak, kehancuran kedua
kawasan itu juga terjadi karena ketidaktahuan masyarakat mengenai batas
kawasan. Ada tanda pembatas yang hilang dan ada pula yang sengaja dihilangkan.
Plus tidak jelasnya penentuan batas tambak inti rakyat, seperti kasus
Selotong-Karang Gading, karena surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan
Camat Labuhan Deli pada 1985.
Hal senada diakui Insinyur Darori.
Menurutnya, hubungan antarinstansi terkait yang tergabung dalam tim
inventarisasi hutan bakau bentukan Gubernur Sumatera Utara pada 1999 memang
terkesan tidak akur. Sejumlah laporan pelanggaran di atas kawasan itu nyaris
tak pernah digubris.
Kepala Kanwil Dephutbun Sumut ini
mencontohkan, pihaknya bersama Kanwil Ditjen Bea dan Cukai di Belawan pernah
menangkap 22 peti kemas berisi arang bakau senilai Rp 37 miliar lebih, yang
siap diekspor pada Juli 1999. Namun, barang bukti itu lenyap. “Kami merasa,
ternyata dukungan kepada kami terlalu minim. Malah kesannya keberadaan kami
semakin disepelekan,” kata Darori.
Memang ada Keputusan Dirjen Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam No. 129/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 31 Desember 1996
tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman
Buru dan Hutan Lindung. Beleid ini memberi acuan kebijaksanaan, strategi, dan
arahan pengelolaan suaka margasatwa. Tapi masih sangat lamban dijalankan,
sedangkan kerusakan semakin meluas.
“Jadi, jangan salahkan kami sajalah bila ngambil kayu-kayu (bakau) itu buat
masak. Kan masih ada yang mencuri
banyak-banyak dan dibeking tentara. Kalau mau tangkap ya mereka duluanlah.
Terutama bos-bos tambak yang menutup paluh-paluh itu yang bikin kami kesulitan
mendapat ikan, udang, dan kepiting,” ketus seorang nelayan dalam aksen Melayu
tulen, sambil meneruskan menjemur jaring.
SUAKA Margasatwa Karang Gading dan Langkat
Timur Laut atau disingkat SMKG/LTL membentang di dalam empat kecamatan, yakni
Tanjungpura dan Secanggang di Kabupaten Langkat, Labuhan Deli dan Hamparan
Perak di Kabupaten Deli Serdang.
Pulau-pulau terdekat, tapi berada di luar kawasan, adalah Pulau Tapak Kuda, Pulau Jaring Alus, dan Pulau Kuala Besar. Pada awal 1930-an, kawasan ini terdiri dari dua wilayah, yakni Karang Gading dan Langkat Timur Laut, yang dipisahkan oleh Sungai Karang Gading.
Pulau-pulau terdekat, tapi berada di luar kawasan, adalah Pulau Tapak Kuda, Pulau Jaring Alus, dan Pulau Kuala Besar. Pada awal 1930-an, kawasan ini terdiri dari dua wilayah, yakni Karang Gading dan Langkat Timur Laut, yang dipisahkan oleh Sungai Karang Gading.
Sebelum ditetapkan sebagai suaka margasatwa,
hutan di Langkat Timur Laut ditetapkan sebagai hutan produksi sesuai
Zelfbestuur Besluit (ZB) 148 tanggal 6 Agustus 1932 seluas 9.250 hektare, yang
disahkan oleh Gubernur Pesisir Timur Pulau Perca pada 24 September 1932. Lalu
Karang Gading dengan ZB 138 tanggal 8 Agustus 1935 seluas 6.245 hektare. Kedua
sertifikat ini kemudian diperkuat oleh pemerintah dengan dikeluarkannya
Keputusan Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um-11/1980 tanggal 5 November 1980
untuk dijadikan kawasan suaka margasatwa seluas 15.495 hektare.
Penataan batas kawasan dilakukan pada 1934,
dengan berita acara tanggal 14 Juni dan 3 Juli 1934. Pada 1984, sebagian batas
yang bersebelahan dengan daratan direkonstruksi oleh Balai Inventarisasi dan
Perpetaan Hutan Wilayah I sepanjang 50 kilometer. Letak astronomis kawasan itu
terbentang antara 98 derajat 30’-98 derajat 42’ Bujur Timur dan 3 derajat 51
30”-3 derajat 59 45” Lintang Utara.
SMKG/LTL bisa dicapai melalui darat dan laut.
Dari darat melewati rute Medan-Stabat-Secanggang sepanjang kurang lebih 70
kilometer, dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Bisa pula melalui rute
Medan-Tanjungpura-Pematang Sentang sejauh 90 kilometer atau sekitar tiga jam
perjalanan. Atau dua jam dengan menggunakan bot dari Belawan.
Kawasan itu tidak memiliki keliaran (wilderness) yang tinggi. Nelayan gampang
dijumpai di seluruh kawasan. Kapal-kapal motor kebanyakan digunakan untuk
angkutan sungai. Kampung-kampung yang berada di dalam dan sekitar kawasan
sebagian besar dihuni komunitas Melayu, Sunda, Banten, dan Banjar. Jumlahnya
sekitar 87.162 jiwa, yang tersebar di 27 desa di empat kecamatan. Dari jumlah
jiwa tersebut, 11.615 orang bekerja sebagai petani, nelayan 2.033 orang,
PNS/TNI/Polri (1.036), pedagang 2.056 orang, dan lain-lain sebanyak 10.490
orang.
Karena kawasan ini termasuk dalam ekosistem
hutan pantai, maka vegetasinya didominasi jenis bakau putih/hitam (Hizophora apiculata), langgadai (Bruquiera parviflora), butabuta (Excoecaria sp), nyirih (Xyloxcarpus granatum), dan nipah (Nipa fructican). Sedangkan jenis satwa
yang banyak dijumpai adalah kera (Macaca
fascilcularis), lutung (Presbytis
cristata), dan raja udang (Alcedo
athis). Selain itu terdapat pulang elang laut, ular, ikan, serta beberapa
jenis mamalia. Dan tuntong (Batagur baska)
menjadi satwa endemik yang dilindungi dengan SK Mentan No. 327/Kpts/Um/1978
karena keberadaan dan penyebarannya belum diketahui.
KERUSAKAN SMKG/LTL hanya satu contoh betapa
pemerintah belum serius menangani kerusakan lingkungan hidup.
Padahal, di era 1980-an Indonesia menjadi pemilik hutan bakau terluas dengan keanekaragaman (biodiversity) terbesar, yang mencapai 25 persen dari total luas hutan bakau di dunia. Dulu hutan bakau Indonesia diperkirakan seluas 12,9 juta hektare, dengan perhitungan garis pantai sepanjang sekitar 18 ribu kilometer.
Padahal, di era 1980-an Indonesia menjadi pemilik hutan bakau terluas dengan keanekaragaman (biodiversity) terbesar, yang mencapai 25 persen dari total luas hutan bakau di dunia. Dulu hutan bakau Indonesia diperkirakan seluas 12,9 juta hektare, dengan perhitungan garis pantai sepanjang sekitar 18 ribu kilometer.
Tapi, setelah banyak dikonversi menjadi
kawasan wisata (resor), realestat, pertambakan, dan dibabat untuk kepentingan
industri pulp, kini hutan bakau
Indonesia terancam punah. Menurut Departemen Kehutanan, Indonesia memiliki 4,25
juta hektare hutan bakau, yang lalu menciut menjadi 2,5 juta hektare atau 60
persen dari luas semula, yang tersebar di Irian Jaya (58%), Sumatera (19%),
Kalimantan (16%), dan sisanya di pulau-pulau lain.
Kerusakan terparah dialami hutan bakau di
sepanjang pantai Pulau Jawa. Di Jawa Barat, misalnya, pada 1980 hutan bakaunya
seluas 28,6 ribu hektare, 14 tahun kemudian berkurang menjadi 5,7 hektare.
Dalam kurun waktu yang sama, hutan mangrove di Jawa Tengah tinggal 1.000
hektare dari luas 13,5 ribu hektare. Kondisi hutan bakau di Jawa Timur pun
senasib: tinggal 500 hektare. Padahal pada 1980 luasnya 7,75 ribu hektare. Di
Surabaya, akibat reklamasi pantai, luas hutan mangrove tinggal 8,2 kilometer persegi
dari 28,4 kilometer persegi yang pernah dilaporkan tumbuh di sepanjang garis
pantai.
Kehancuran hutan bakau memang kian meluas di
pesisir Nusantara. Semisal di pantai timur Lampung, dari luas 17 ribu hektare,
90% sudah hancur akibat pesatnya pembangunan. Kerusakan serupa juga diderita
kawasan hutan bakau di Pulau Bintuni dan Taman Nasional Lorentz di Irian Jaya.
Ketamakan manusia terhadap hutan bakau pun
sudah lama dirasakan gugusan pulau di Kepulauan Seribu. Pada 1994, misalnya,
setidaknya enam pulau—Air Kecil, Ubi Besar, Ubi Kecil, Dapur, Payung Kecil, dan
Gosong Pabelokan—diketahui hilang alias tenggelam. Ini terjadi selain karena
hutan bakau dibabati, juga akibat pengerukan pasir dan karang laut secara
besar-besaran di wilayah pantai oleh para invenstor swasta.
Begitu pula dengan 150 kilometer persegi
kawasan hutan bakau Pantai Indah Kapuk yang luluh-lantak karena pembangunan
realestat. Padahal, pihak pengusaha sudah diwajibkan menyisakan 1.000 meter
persegi lahan bakau sebagai sabuk hijau (green
belt).
Andai kegunaannya betul-betul disadari,
mungkin takkan ada lagi orang yang tega merusak hutan bakau. Secara ekologis,
pohon bakau—juga api-api—memiliki fungsi melindungi pantai dari proses abrasi,
menjaga permukiman penduduk dari gerogotan air laut, serta menyerap bahan-bahan
pencemar laut. Limbah, baik berupa logam berat maupun pestisida, akan ditelah
oleh tanaman itu karena mangrove telah diprogram secara genetis untuk melakukan
resistensi terhadap kandungan logam di jaringan tubuhnya.
Ekosistem mangrove juga penghasil bahan
organik yang produktif sehingga menjadikannya sebagai sumber bahan makanan bagi
semua organisme di sekitarnya. Predator tak suka hidup di situ karenanya hutan
bakau dapat menjadi rumah yang aman bagi biota laut. Seumpama ikan, hewan ini
akan menjadikan mangrove sebagai tempat memijah, bertelur, dan membesarkan
anaknya. Pun sangat membantu pembentukan daratan. Pendek cakap, hutan bakau
sangat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Tapi, kenyataan di Indonesia tak semolek
dalam andaian. Gemerincing fulus jauh
lebih memikat ketimbang kerelaan mewariskan hutan bakau nan hijau dan eksotis
bagi generasi pelanjut.
Kalau menengok perambahan hutan bakau yang nyaris tak terkendali, rasanya memang tak elok bagi Indonesia sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang meratifikasi Konvensi Ramsar pada 1991.
Kalau menengok perambahan hutan bakau yang nyaris tak terkendali, rasanya memang tak elok bagi Indonesia sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang meratifikasi Konvensi Ramsar pada 1991.
Konvensi Ramsar mengharuskan Indonesia
melindungi segenap lahan basah—termasuk di dalamnya hutan bakau—seluas 38 juta
hektare lebih atau 21 persen dari luas daratan yang dimilikinya dan telah
menjadikan Indonesia sebagai pemilik lahan basah terluas di Asia.
Jadi, jangan sampai kebanggaan itu menjadi
percuma!
Lokasi, Luas, dan Kondisi Hutan Bakau di Sumatera
Utara
Kabupaten
|
Hutan Register
|
Hutan Rakyat
(Nonregister)
|
Jumlah
|
Baik
|
Rusak
|
Langkat
|
24.810
|
10.190
|
35.000
|
10.000
|
25.000
|
Deli
Serdang
|
11.800
|
8.200
|
20.000
|
5.603
|
14.697
|
Asahan
|
11.870
|
2.253
|
14.123
|
1.500
|
12.623
|
Labuhan
Batu
|
1.700
|
--
|
1.700
|
1.200
|
500
|
Tapanuli
Selatan
|
2.900
|
--
|
2.900
|
2.700
|
200
|
Tapanuli
Tengah
|
--
|
1.800
|
1.800
|
1.570
|
230
|
Nias
|
--
|
9.570
|
9.570
|
8.600
|
970
|
Jumlah
|
53.080
|
32.013
|
85.093
|
31.173
|
54.220
|
Sumber: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara.
2 Komentar
tulisan yang bagus mas abel.
Balasngeri emang kalo bakau dah habis.. pantai ilang, pulau tenggelam, manusia/peradaban pun lenyap
Terima kasih, Yu. kasihan lihat org2 yg tinggal di pesisir, dan lbh kasihan lg anak2nya. mereka yg bakal mewarisi dampak dari kerusakan kampung mereka akibat keserakahan org2 dewasa.
Balas