Lucky Adrianda Zainal Foto: ABDI PURMONO |
Kisah tentang Lucky Acub Zainal. Sebagian kelakuan bengalnya dipengaruhi oleh kematian sang ibu.
RUANG tamu rumah itu sangat artistik. Jendela-jendela besar tanpa terali dan sejumlah perabotan antik tertata apik. Di atas meja di tengah ruangan terlihat sebuah buku tebal warna biru berjudul Kamus Narkoba.
Tiada berapa lama, sang pemilik buku muncul. Langkahnya pelan dan berhati-hati. Sebatang tongkat warna cokelat tua sepanjang setengah meter dipegang erat dengan tangan kiri. Ia duduk dan bersandar di sofa biru yang teronggok di pojok.
Dia adalah Lucky Acub Zainal. Penampilannya masih nyentrik, dengan anting dari emas putih yang menggantung di telinga kiri. Ia mengusap rambut yang kian memutih.
Senyumnya mekar, tampangnya lega. Kedua bola mata itu masih celik, tapi tak lagi mampu mendelik ekspresif sejak ia mengalami kebutaan total pada 2006.
"Opo kabare? Kalau kamu nggak ngomong, aku nggak tahu di mana kamu duduk," kata Lucky. Ia tetap saja hangat kepada siapa pun.
Tubuh Lucky memang tak sesegar dan selincah dulu. Tapi, ia langsung menegakkan tubuh dan bersemangat ketika diajak ngomong sepak bola dan bernostalgia. Volume suaranya mengencang tapi terkendali.
Pengalaman selama hampir 20 tahun menjadi pecandu narkotik ia manfaatkan untuk memberi testimoni sekaligus mengampanyekan bahaya narkotik pada para "abege" di sekolah-sekolah.
"Mereka aset bangsa yang bisa hancur karena narkoba sehingga mereka harus diberi tahu dan diingatkan tentang bahaya dan dampak narkoba. Mereka jangan mencontoh perilaku saya dulu," Lucky menjelaskan alasan dirinya sudi terlibat dalam gerakan antinarkotik.
Perkenalan Lucky dengan narkotik didahului dengan kegemaran menenggak minuman keras setamat dari sekolah menengah atas pada 1981. Sebagian kelakuan bengalnya dipengaruhi oleh peristiwa kematian sang ibu kandung. Putra keempat dari tujuh bersaudara—tiga saudara lagi dari ibu tiri—ini mengaku paling dekat dengan ibu kandungnya.
"Saya menjadi sangat depresi dan frustrasi setelah Mami meninggal. Saya lari dari kenyataan ke minuman keras dan narkoba," kata pria kelahiran Malang, 9 Desember 1960, ini.
Lucky mulai berjuang membebaskan diri dari jerat narkotik sejak 1998 dan benar-benar bersih pada 2000. Sembilan belas kali Lucky masuk panti rehabilitasi. Sungguh perjuangan yang sangat berat.
Pujian patut diberikan kepada Novi. Lucky menikahi Novi menjadi istri kedua pada 9 Mei 1996. Istri pertama sudah dicerai. Novi ikut membentengi Lucky dari rayuan para bandar sabu dan heroin. Kegarangan Novi menciutkan mereka.
Novi memberikan dua anak: Ramadhea Adrianda Zainal, 12 tahun, dan Kiranaya Adrinea Zainal, 7 tahun. Dari istri pertama, Lucky memiliki Aditya, 18 tahun, dan Marcilla, 17 tahun.
Namun, rupanya Tuhan terus menguji Lucky. Masa-masa bahagia bisa hidup tanpa narkotik hanya bertahan kurang dari empat tahun. Badai besar dalam hidupnya datang lagi pada kurun 2004-2006.
Pada 2004, dokter memastikan Lucky menderita penyakit gawat, Hepatitis C. Belasan kali ia masuk-keluar rumah sakit di Malang. Kesehatan Lucky dalam pengawasan ketat dokter. Pada Agustus 2005, kesehatannya dinyatakan membaik.
Tapi, pada Ramadan 1426 Hijriah atau November 2005, Lucky mengalami gangguan pada mata kiri. Ia divonis kena glaukoma dan tambah terpukul setelah dokter memberi tahu bahwa ia juga menderita migrain.
Cobaan berat datang bertubi-tubi. Pada Maret 2006, dokter memastikan mata kanannya terserang virus CMV (cytomegalovirus) yang bisa menyebabkan kebutaan. Astaga! Lucky limbung dan tak berdaya.
Ia merasa kembali ke titik nol. Hampir seluruh harta dan kebanggaan dirinya kandas. Segala dosa yang pernah ia perbuat bermunculan. Merenungi dosa-dosa membuat dirinya menyesal seumur hidup dan merasa tiada berguna.
Untuk berangkat berobat saja, misalnya, ia harus menunggu keluarga atau mengandalkan kerelaan teman-teman. Penderitaan semakin terasa berat ketika bapaknya langsung anfal dan masuk rumah sakit setelah mengetahui Lucky buta karena narkotik.
Sang ayah, Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Acub Zainal, adalah bekas Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih pada 1969-1973, Gubernur Irian Jaya 1973-1975, dan bekas Ketua Liga Sepak Bola Utama atau Galatama.
"Kalau saya lagi merasa down, saya obati dengan 'wiridan' dan membaca doa-doa istigfar (pengampunan). Alhamdulillah, saya sekarang juga sudah bisa lebih rajin salat dibanding dulu. Astagfirullah, kalau saya ingat masa lalu," kata pemilik nama asli Lucky Adrianda Zainal ini.
Lucky adalah mantan pemilik klub elite Arema Malang. Arema berjulukan Singo Edan, yang mengandung makna keberanian dan pantang menyerah. Maka, tepat dan pantaslah jika Lucky terus berusaha menyembuhkan dirinya lewat pengobatan alternatif. Memang, tidak menydmbuhkan kedua matanya, tapi justru membetot migrain dari kepala.
"Semua cobaan yang saya alami itu datangnya dari Allah. Jika Allah sudah berkehendak, apa saja bisa terjadi pada diri saya. Saya terus berdoa kepada Allah semoga diberi kesembuhan. Saya sudah berusaha, maka saya menunggu datangnya keajaiban itu."
Segala hal yang ia alami bagai mimpi yang teramat panjang, sukar untuk terbangun. Tapi ia harus bangkit dari titik nol untuk menyalakan semangat hidup. Ia percaya Tuhan sedang mengarahkan dirinya untuk bertobat, senantiasa berbuat baik, banyak bersyukur, serta pantang mengeluh.
Carpe diem! Raihlah kesempatan! Ya, Lucky ingin hidupnya penuh makna dan memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan. Ia terobsesi mendirikan sebuah rumah sakit khusus bagi pecandu narkotik dan obat-obatan berbahaya. ABDI PURMONO
CATATAN:
Artikel aslinya panjang. Oleh redaksi Koran Tempo dipecah jadi dua tulisan dalam satu halaman Olahraga edisi Minggu, 21 September 2008. Karena kepanjangan, maka untuk blog saya pecah jadi dua tulisan yang terpisah.
Artikel ini tulisan utama, artikel berikutnya berjudul Asa pada Sebatang Harmonika.
0 Komentar